-- Mudji Sutrisno*
MULTIKULTURALISME meniscayakan perumusan strategi kebudayaan, dari bahasa budaya ke bahasa politik kebudayaan.
Yang dimaksud multikulturalisme adalah kajian yang berkembang dekade ini ketika kenyataan pluralisme kebudayaan, agama, dan identitas etnik dalam sistem politik demokrasi terbuka tidak mendapatkan ruang ekspresi toleransinya untuk tumbuh unik dan berbeda terutama ketika sistem politik negara hukum dengan ”equality before the law”, menisbikan identitas-identitas unik kultural keragaman.
Perumusan multikulturalisme di atas dibawa Will Kymlicka (Liberalism Community and Culture,1989),lalu ditajamkan dalam Multicultural Citizenship: A Liberalis theory of Minority Rights (1995). Bingkai kebudayaan ditaruh pada kesadaran tiap orang yang selalu berkepentinganuntukmerajuthidupyang baik dan mengusahakan jalan kebudayaan sebagai in leading a good life. Yang pertama,manusia mau mengusahakan hidup sejahtera dari ”dalam”, dari sistem kepercayaan atau ”beliefs about what gives value to life”.
Kebudayaan adalah ruang tempat manusia mau memberi makna pada hidupnya dari sistem nilai dan kepercayaannya. Yang kedua, karena de facto sering salah memaknai dan memberi arti, ia harus merdeka untuk mengkaji ulang dalam permaknaan itu. Itulah otonomi yang dimilikinya. Jadi, otonomi sebagai makhluk budaya merupakan a necessary contition of the good life (1995,hal 81–82).
Manusia adalah makhluk budaya di mana ruang kebudayaan merupakan rumahnya untuk mengembangkan kemanusiaannya. Mengapa? Pertama, karena kebudayaan merajut dan memberi struktur dunia, memberinya sistem nilai yang berharga untuk hidup, dan memberi apa yang bermakna bagi pilihan-pilihan hidup dan hidup itu sendiri.
Kedua, kebudayaan memberikan rasadankesadaranidentitasyangmemberinya nilai dengan sesama,perekat hidup bersama,serta ”menuntunnya” menuju hidup yang baik,sejahtera,dan manusiawi (1995,Ibid,hal 84–87). Masalahnya, pada saat berproses dari anggota atau warga kebudayaan dengan identitas kulturalnya menjadi ”warga negara”dengan identitas (citizenship) warga dalam sebuah negara, ruang hukum dan bahasa hukum kesetaraan tidak memberinya ruang budaya untuk hormati identitas kulturalnya karena dua prinsip hukum, pertama equality before the law atau kesetaraan di depan hukum.
Lalu,yang kedua ialah impartiality yang juga tidak pandang latar budaya identitas etniknya sebagai warga negara. Peta soal pertama dalam multikultural ini menyeruak untuk Kanada, Amerika Serikat,Australia, Spanyol, terutama terkait hak-hak kultural minoritas warga imigran yang sudah menjadi warga di negara-negara itu.
Pemecahannya adalah yang berhak memiliki hak-hak budaya bukannya sembarang minoritas,tetapi minoritas bangsa yang sudah sejak awal sejarahnya ikut membangun sistem bernegara dari warga bangsa menjadi warga negara seperti kaum Afro,Asia, Hispanik Anglo Amerika.
Ciri watak minoritas warga bangsa ini ada tiga, yaitu tinggal dalam teritori bersama dengan warga bangsa lain di negara yang sama, secara kelembagaan sudah terdaftar penuh sebagai warga negara, dan have societal cultures. Dalam ungkapan Kymlicka, ”A minority nation is logically no different from the majority nation.Both alike have societal cultures, are territorially concentrated, institutionally more or less complete, and have a strong sense of nationhood” (1995,hal 167).
Minoritas warga bangsa tidak berlaku untuk pendatang baru akhirakhir ini karena mereka sudah meninggalkan negara asal dan masuk ke negara baru dengan konsekuensi harus mau adaptasi bersama kultur masyarakat negara barunya.Kymlicka berpendapat, meskipun kaum imigran punya hak untuk identitas budayanya dalam berbahasa asli,hak untuk tidak didiskriminasi,mereka tidak berhak mengklaim hak-hak nasional untuk berpemerintahan sendiri dan otonomi budayanya (1995,ibid.hal 170).
Di sini Kymlicka menyamakan komunitas budaya seseorang dengan komunitas nasional (bangsa), yakni tiap makhluk memperjuangkan dan mengusahakan untuk kesejahteraan hidupnya. Masalah pokok di sini adalah bagaimana konsensus menghormati hak-hak identitas kultural warga bangsa dalam hukum dan bahasa politik kewarganegaraan.
Peta kedua multikulturalisme ada pada tuntutan kebutuhan merancang bingkai teoretik atau semacam strategi kebudayaan yang menumbuhkan saling toleransi dan apresiasi serta saling memahami pluralisme budaya warga bangsa.
Peta ketiga persoalan multikulturalisme terletak pada paradoks antara memberikan seluas-luasnya pengembangan masing-masing identitas kultural warga dalam ”naturalisme”, yaitu ruang merdeka pengembangan pluralisme yang diandaikan ada pada kesadaran dewasa masing-masing warga.
Capaian ekstrem naturalisme adalah anarki dan chaos karena minimnya aturan bersama.Sisi lain adalah kulturalisme, yaitu dirancangnya titik-titik temu bersama secara kultural yang diangkat dan diresmikan menjadi hukum budaya, misalnya persatuan atau keika- an dalam kebanggaan nasional.
Namun,soal yang langsung muncul bersumber pada agama atau identitas kultural.Di sini pun muncul persoalan pelik dan rumit.Jalan keluarnya adalah politik vernekuler. Artinya,dalam hukum positif dirumuskan sekaligus hak asasi manusia universal dan hak minoritas atas kekhususan otonomi menghayati identitas kultural.
Relevansinya untuk NKRI
Pertama,teks yang sudah ada dalam sejarah kebinekaan identitas-identitas kultural dan menggumpalkan toleransi atas identitas kultural etnikagamis yang menjadi identitas bangsa yang satu (nation) dalam sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 merupakan bukti adanya nilai saling menghormati dalam bangsa yang plural.
Kedua, tatkala warga bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan sebagai negara yang berdaulat, terlihat bukti-bukti dokumen tertulis sejarah bagaimana pendiri bangsa ini mewujudkan tujuan hidup bersama dalam mukadimah konstitusi UUD 1945 dengan sila-sila perekat bangsa yaitu Pancasila.
Karena itu, we are on the right track dalam mewujudkan cita-cita sebagai bangsa dalam bernegara. Ketiga, komplikasi mulai muncul manakala formalisasi lima agama resmi yang secara hukum diakui ternyata melupakan religi ”Nusantara”, yaitu kepercayaan pada religiusitas identitas-identitas kultural etnik. Akibatnya dalam formalisasi hukum positif kenegaraan terasa timpang ketika yang resmi formal hanyalah Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha dan belakangan mencantumkan Konfucianisme sebagai bagian formalisasi religi itu.
Keempat, konteks relevansi yang menjadi pekerjaan rumah kita adalah kebutuhan perumusan strategi kebudayaan dari bahasa budaya ke bahasa politik kebudayaan. Hal ini perlu, mengingat nilai-nilai yang menjadi acuan telah meretakkan kebersamaan.
Materialisasi berupa ekonomisasi yang selalu mengutamakan keuntungan serta politisasi yang menafsirkan kebenaran absolut identitas kelompok sebagai satu-satunya yang paling benar tidak toleran lagi pada pluralisme. Pekerjaan rumah kita bersamakah?
* Mudji Sutrisno, Budayawan, tinggal di Jakarta.
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 3 Februari 2008
No comments:
Post a Comment