-- P Ari Subagyo*
”FAR from being a field reserved for analysis by specialists, languages lie at the heart of all social, economic and cultural life. That is the meaning of the slogan launched by UNESCO for the International Year of Languages: Languages matter!” ucap Dirjen UNESCO Koïchiro Matsuura dalam pesan khusus untuk International Mother Language Day 2008.
Sejak tahun 2000, PBB menetapkan tanggal 21 Februari sebagai International Mother Language Day atau Hari Bahasa Ibu Internasional. Penentuan itu dimaksudkan untuk mempromosikan penghargaan dan penggunaan bahasa-bahasa ibu, terutama yang tergolong bahasa-bahasa minoritas. Dalam selebrasi ke-9 tahun 2008 bahkan dicanangkan sebagai International Year of Languages atau Tahun Internasional Bahasa-bahasa dengan slogan Languages matter.
Ada tiga isu aktual yang perlu menjadi perhatian bersama, yaitu kepunahan bahasa-bahasa, penyelamatan bahasa-bahasa, dan pemanfaatan bahasa-bahasa untuk mengatasi aneka masalah global.
Kepunahan bahasa-bahasa
Menurut portal resmi UNESCO, hampir separuh dari 6.700-an bahasa di dunia terancam kepunahan (endangered languages). Disebutkan, 96 persen dari 6.700-an bahasa itu dituturkan hanya oleh empat persen populasi dunia. Jika penghuni bumi—menurut GeoHive dalam http//www. xist.org—per 16 Februari 2008 berjumlah 6.650.774.942 orang, berarti 6.432 bahasa dituturkan 266.030.998 orang, sedangkan 268 bahasa digunakan 6.384.743.944 orang. Sebuah ketimpangan besar yang sulit terbantah. Statistik itu juga menunjukkan telah terjadi dominasi bahasa dengan berbagai latar belakang dan motif. Dalam istilah Bjeljac-Babic (2000), saat ini arah menuju penghomogenan bahasa kian terasa.
Di negara-negara multietnis dan multilingual, kepunahan bahasa-bahasa ibu—identik bahasa-bahasa lokal etnis minoritas—lazimnya merupakan akibat sampingan kebijakan pembinaan bahasa nasional, terutama melalui pengajaran. Berlakulah adagium versi Bjeljac-Babic (2000): ”Kalau hendak mematikan sebuah bahasa, ajarkan bahasa lain”.
UNESCO mengemukakan fenomena ”dilema bahasa ibu”. Bahasa-bahasa ibu diakui telah memudahkan anak-anak belajar memahami dunia; tetapi jika harus diajarkan di sekolah, tidak ada tempat untuk semua bahasa ibu. Apalagi telah menjadi rahasia umum, masuknya bahasa tertentu dalam kurikulum lebih menyangkut pertimbangan ekonomis-politis.
Tentang akibat punahnya bahasa, Finnbogadottir (2004)—mantan Presiden Islandia yang menjadi Duta-Relawan UNESCO untuk Bahasa-bahasa—mengajukan alasan amat mengesankan, ”Everyone loses if one language is lost because then a nation and culture lose their memory, and so does the complex tapestry from which the world is woven and which makes the world an exciting place.”
Penyelamatan bahasa-bahasa
Penyelamatan bahasa-bahasa (saving languages) merupakan cara pandang baru terhadap fenomena kepunahan bahasa (language death) secara lebih optimistis. Grenoble dan Whaley (2003) menawarkan istilah revitalisasi bahasa (language revitalization).
UNESCO mengajukan tiga skenario penyelamatan bahasa-bahasa ibu. Pertama, mempromosikan pendidikan dengan bahasa ibu untuk meningkatkan mutu pendidikan. Skenario ini didasari asumsi, bahasa ibu—termasuk bahasa isyarat (sign language) bagi tunarungu—menjadikan hasil belajar lebih baik.
Dalam sudut pandang psikolinguistik, usaha UNESCO dapat diterima. Timothy B Jay (The Psychology of Language, 2003) menyatakan, bahasa ibu merupakan sarana ekspresi paling otentik, maka berpotensi membangkitkan kemampuan ekspresi anak-anak.
Kedua, mendorong pendidikan bilingual dan/atau multilingual di sekolah sebagai sarana menanamkan kesetaraan jender dan sosial sebagai bagian kunci masyarakat dengan beragam bahasa. Skenario ini sejalan dengan Deklarasi Universal UNESCO tentang Keragaman Budaya (2001).
Ketiga, mendorong bahasa-bahasa sebagai pusat pendidikan interkultural. Skenario ini dapat dijalankan keluarga atau komunitas basis, misalnya secara terprogram menciptakan ”kelas-kelas bahasa ibu” untuk anak-anak dan kaum muda.
Grenoble dan Whaley (2003) menyodorkan enam model/program revitalisasi bahasa, yaitu (1) total-immersion programs, (2) partial-immersion programs, (3) the local language as a second/”foreign” language, (4) community-based programs, (5) master-apprentice program, dan (6) language reclamation models.
Penyelamatan bahasa-bahasa lokal memiliki arti penting dalam strategi kebudayaan manusia. Eksistensi bahasa-bahasa lokal dapat menjaga harmoni global-lokal secara simbolik.
Pemanfaatan bahasa-bahasa
UNESCO berkeyakinan, bahasa-bahasa lokal bermanfaat untuk mengatasi berbagai masalah global demi mencapai enam tujuan education for all (EFA) serta Millennium Development Goals (MDGs) yang disetujui PBB tahun 2000.
Sebagai faktor dalam membangun integrasi sosial, bahasa-bahasa lokal secara efektif memainkan peran strategis dalam pemberantasan kemiskinan dan kelaparan (MDG 1). Sebagai pendukung keberaksaraan, pembelajaran, dan life skills, bahasa-bahasa lokal merupakan faktor esensial untuk mencapai pendidikan dasar universal (MDG 2). Perang melawan HIV/AIDS, malaria, dan penyakit-penyakit lain (MDG 6) harus ditempuh dengan bahasa-bahasa yang dimengerti masyarakat. Selain itu, usaha perlindungan pengetahuan asli serta untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat untuk menjamin environmental sustainability (MDG 7) secara intrinsik terkait bahasa-bahasa lokal-asli berbagai masyarakat.
Terlepas dari tiga isu aktual itu, International Year of Languages 2008 agaknya juga dimaksudkan sebagai ajakan untuk bersyukur. Umat manusia patut mensyukuri bahasa-bahasa beserta kemampuan berbahasa yang dimilikinya. Sebab, bahasa dan kemampuan berbahasa merupakan anugerah Ilahi yang membuat hakikat manusia menjadi utuh. Secara evolutif, kemampuan berbahasalah yang membedakan manusia dari ciptaan-ciptaan lain.
Hari Bahasa Ibu Internasional dan Tahun Internasional Bahasa-bahasa patut kita rayakan. Tidak dengan ingar-bingar pesta dan perhelatan, tetapi dengan menyelamatkan bahasa-bahasa, memanfaatkannya, serta merayakan kemanusiaan kita atas bahasa.
* P Ari Subagyo, Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 23 Februari 2008
No comments:
Post a Comment