Sunday, February 17, 2008

Mengembalikan Puisi pada Bunyi

-- Ilham Khoiri

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis
sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi
itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa
berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang
bertanya kenapa.

Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk
memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin
menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan
rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.

Duet Ari-Reda tampil dalam musikalisasi puisi di acara Puisi-puisi Cinta Sapardi Djoko Damono di Grha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (14/2). (Kompas/Yudhi Agung)

BAIT-BAIT puisi Pada Suatu Pagi karya Sapardi Djoko Damono itu dilantunkan dengan suara menyayat oleh penyanyi Reda Gaudiamo dalam iringan petikan gitar Ari Malibu yang sendu. Komposisi lagu yang dibuat Budiman Hakim itu mengundang penonton untuk menelusuri dunia puisi.

Ratusan penonton yang hadir di Graha Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Kamis (14/2) malam itu, tampak terhanyut. Larik-larik sajak yang liris, nada-nada yang mengalun pelan, serta dentingan gitar yang lembut-merayap seperti jalin-menjalin untuk menciptakan suasana yang sublim. Mudah saja membayangkan, seseorang tengah menangis pelan di sebuah lorong yang sepi pada suatu pagi yang gerimis.

Terlepas dari dukungan suasana Jakarta yang diguyur gerimis, duet Ari-Reda—kadang dibantu gitaris Jubing Kristianto—memang mengena. Mengena dalam arti mampu menerjemahkan kekuatan teks sastra dalam daya pukau suara (dari lagu dan musik). Lebih dari itu, musikalisasi itu turut membantu penonton untuk memvisualkan kata-kata.

Begitulah, malam pertunjukan ”Puisi-puisi Cinta Sapardi Djoko Damono” itu seperti menjadi ruang pembuktian kekuatan kata sebagai bunyi. Tak hanya melalui musikalisasi puisi Ari-Reda, yang populer sejak pertengahan tahun 1980-an, panggung itu juga diisi dengan deklamasi, paduan suara, teater, dan tari. Semuanya membawakan puisi-puisi Sapardi.

Ada penyair Jose Rizal Manua dan Ags Arya Dipayana serta artis Ine Febriyanti dan Cornelia Agatha yang mendeklamasikan puisi dengan cara masing-masing. Laboratorium Musik SMA 59 Jakarta dan Panduan Suara Gita Swara Nassa menyanyikan puisi dalam paduan suara. Anak-anak Teater Tanah Air menerjemahkan puisi Selamat Pagi Indonesia dalam lakon singkat yang bersemangat, sedangkan Teater Tetas menafsirkan puisi Ketika Berhenti di Sini dalam gerak tubuh.

Kenyal

Bagaimanakah wujud puisi-puisi Sapardi setelah diolah dalam pentas berbagai disiplin seni? Puisi-puisi itu bermetamorfosa dalam bentuk yang berbeda, kadang tak terduga. Itu mengentalkan kesan betapa kenyalnya sebuah puisi.

Puisi-puisi Sapardi luwes saja dimainkan dalam beragam bentuk seni pertunjukan, tanpa kehilangan daya puitiknya. Bahkan, saat dituangkan dalam saluran estetika yang berbeda, larik-larit kata itu malah menjelma sebagai kekuatan yang lain.

Saat dinyanyikan, misalnya, puisi-puisi itu seakan dikembalikan pada habitatnya sebagai bunyi. Rima dalam puisi membentuk nada dengaran yang harmonis. dengan dilagukan dalam iringan musik, puisi menjadi lebih hangat dan mudah dimengerti.

Pentas malam itu membuktikan bahwa puisi sebenarnya adalah bunyi yang direkam dalam teks. Puisi adalah kata-kata, dan kata-kata itu pertama-tama merupakan citra dengaran, bukan citra huruf. Suasana itu juga tercipta saat puisi dibacakan dengan tekanan emosi yang pas, atau diterjemahkan dalam tafsir gerak teatrikal yang bebas.

Akhirnya, pertunjukan berbagai cabang seni yang dibuat berdasarkan teks puisi Sapardi itu berhasil mengajak penonton untuk memasuki dunia puisi. Penonton seperti melayang dalam lorong yang sepi, menyelinap di bawah hujan, melihat akar pepohonan, jembatan, atau memandang ladang yang sunyi.

Pencapaian itu menjadi mungkin karena puisi-puisi Sapardi memang sangat merangsang imaji, khayalan visual. Ags Arya Dipayana, yang membuat banyak komposisi lagu berdasarkan puisi Sapardi, mengakui, puisi-puisi penyair itu sangat merangsang untuk melahirkan lagu. Imajinasi yang muncul dari puisi seperti menuntun nada-nada.

”Begitu membaca puisinya, saya langsung terbawa, menerawang jauh. Yang saya peroleh bukan makna atau pengertian, tetapi citra gambar dan citra dengar,” katanya.

Bagaimana tanggapan Sapardi sendiri menyaksikan puisi-puisinya dimainkan dalam lagu, teater, dan gerak tubuh? ”Saya senang banyak yang terlibat. Semua bentuk pentas itu kan sama-sama seni, hanya wahananya saja yang berbeda. Jadi, puisi saya hanya beralih wahana saja,” katanya.

Sumber: Kompas, Minggu, 17 Februari 2008

No comments: