Tuesday, February 26, 2008

Bahasa Ibu Harus Jadi Muatan Lokal

[JAKARTA] Bahasa ibu di sekolah-sekolah harus dijadikan sebagai bagian muatan lokal dalam kurikulum untuk melestarikan kekayaan budaya dari ancaman kepunahan. Di Indonesia ada 742 bahasa ibu, namun dari tahun ke tahun jumlahnya terus berkurang.

Bahasa ibu di Indonesia paling banyak yang punah.

"Berkurangnya bahasa ibu, antara lain sudah tidak ada penuturnya karena telah meninggal tanpa sempat menurunkan kemampuan bahasa tersebut kepada generasi berikut," ujar Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), Arief Rahman, pada peringatan "Hari Bahasa Ibu Internasional 2008", di Jakarta, Senin (25/2).

Hadir dalam acara tersebut, Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Dendy Sugono, Duta Besar Bangladesh Salma Khan, Duta Besar Sri Lanka Nanda Malla- waarachchi, serta per- wakilan dari India dan Pakistan.

Arief mengungkapkan, UNESCO sangat prihatin dengan ancaman kepunahan bahasa-bahasa ibu di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, paparnya, terjadi penurunan jumlah bahasa ibu, seperti di Papua dari 273 bahasa menjadi 271 bahasa, di Sumatera dari 52 bahasa kini 49 bahasa, dan di Sulawesi dari 116 bahasa turun menjadi 114 bahasa.

Dia mengingatkan, jika bahasa ibu punah maka punah pula budayanya. Hal yang lebih memprihatinkan, katanya, adalah kemampuan bertutur dalam bahasa ibu yang punah akan mempengaruhi kemampuan membaca dan berbicara. "Ketika bahasa ibu sudah tidak digunakan maka ancaman baru dihadapi masyarakat, yakni dalam waktu cepat atau lambat mereka akan kembali menjadi buta aksara," tuturnya.

UNESCO sangat prihatin dengan kebijakan dan perhatian yang tidak sungguh-sungguh untuk mengatasi kepunahan itu karena generasi mendatang tidak memiliki lagi bahasa ibu. Dia menambahkan, UNESCO menjadikan tahun 2008 sebagai "Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional" untuk membangkitkan kepedulian pemerintah dan masyarakat dunia melawan buta aksara. [W-12]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 26 Februari 2008

No comments: