[JAKARTA] Keberadaan Sastra Sunda sebagai salah satu sastra etnik berada dalam posisi terancam punah. Ancaman itu tetapi dihadapi sastra-sastra etnik lainnya termasuk sastra berbahasa Indonesia. Pemerintah tidak memberikan perhatian serius.
Sastrawan Ajip Rosidi menyerahkan buku kepada Perwakilan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, M Husyein Umar pada peluncuran tiga bukunya di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (1/2). Ajip Rosidi meluncurkan tiga buku dengan judul Jejak Langkah Urang Sunda, Selamat Datang Telanjang, serta Hidup Tanpa Ijazah yang berisi tentang autobiografinya. (SP/Ignatius Liliek)
Jepitan atau ancaman itu kian terasa lantaran minimnya perhatian pemerintah terhadap dunia sastra. Perkembangan dunia sastra itu bukan hanya dari para sasatrawan saja, tetapi juga masyarakat pembacanya. Yang jelas, kedudukan sastra daerah seperti sedang menerima nasib dalam posisi marginal. Masyarakat pembaca inilah yang harus dibentuk. Dan, pembentuknya adalah pemerintah, baik pusat maupun daerah.
"Selama 70 tahun, saya berkarya di dunia sastra, tidak ada tuh yang namanya perhatian dari pemerintah. Itu juga terjadi di zaman sekarang ini. Kalau ini terus terjadi, maka akan mengancam dunia sastra kita," kata sastrawan asal Jawa Barat, Ajip Rosidi kepada SP di sela-sela diskusi dan peluncuran buku autobiografinya, Hidup Tanpa Ijazah Yang Terekam Dalam Kenangan di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, baru-baru ini.
Menurut Ajip, pemerintah tidak lagi memfasilitasi masyarakat untuk membaca karya sastra. Sebab, menjadi seorang sastrawan itu bukan hanya karena bakat alam, tetapi juga belajar di sekolah-sekolah. Di tempat itulah, masyarakat pembaca itu bisa belajar mengenai karya sastra.
Mengenai perkembangan Sastra Sunda, Ajip melihat ada perkembangan yang menggembirakan karena telah lahirnya beberapa sastrawan-sastrawan muda. Dia tidak mengharapkan lahirnya "Ajip-Ajip" baru dalam dunia Sastra Sunda.
"Saya ingin ada sastrawan Sunda dengan pribadi yang lain. Bukan sastrawan Sunda yang merupakan foto kopi dari saya. Harus lahir sastrawan Sunda yang mampu menunjukkan kualitas yang bagus," tegas dia.
Dari beberapa sastrawan Sunda yang ada saat ini, Ajip menyebut nama Godi Suwarna. Menurut dia, Godi akan menjadi sastrawan Sunda yang hebat. Dia bukan saja mampu menyulis novel dengan bagus, tetapi juga mampu menulis puisi berbahasa Sunda. Karya Godi dinilai cukup baik dari puisi-puisi berbahasa Indonesia lainnya.
Ajip tidak menilai berlebihan jika Godi berhasil menyabet tiga kali hadiah sastra Rancage. Setelah tahun 1993 meraih hadiah untuk karya kumpulan sajak Blues Kere Lauk, kemudian tahun 1996 untuk kumpulan cerita pendeknya Serta Sarwasatwa, pada tahun ini, Godi mendapat hadiah serupa untuk karya novel Sandekala. Ajip sendiri mengaku sudah membawa novel karya Godi yang isinya mengenai kejadian di tahun 1998 dengan latar belakang mitologi yang ada di sebuah daerah. "Karya itu sangat bagus," kata dia.
Ajip juga tidak menyangkal bahwa lahirnya sastrawan-sastrawan Sunda setelah dirinya mengalami tenggat waktu yang cukup jauh. "Menjadi seorang sastrawan tidaklah mudah. Selain bakat, juga harus ada latihan dan keberanian untuk mencari pengungkapan terhadap suatu kondisi yang otentik.
Saksi Sejarah
Ajip adalah salah satu saksi sejarah saat kesusastraan Sunda dengan memasuki era keemasannya yaitu saat awal zaman Orde Baru. Saat itu, dia membuat esai Situasi Sastra Sunda Masa Kini (Juli 1969). Esai itu dia buat untuk menyinggung persoalan booming-nya kesusasteraan Sunda.
Bahkan, pada tahun-tahun sebelumnya, jika tahun 1968 Ajip optimistis atas perkembangan Sastra Sunda, kini Ajip tidak dapat menyimpan keprihatinannya. Dia mengatakan, mungkin di Bandung hanya ada satu toko buku yang menjual buku berbahasa Sunda. [F-4]
Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 5 Februari 2008
No comments:
Post a Comment