Bandung, Kompas - Saat ini minat baca masyarakat di Indonesia masih rendah. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menumbuhkan minat baca melalui sastra. Tugas mengembangkan minat baca lewat sastra tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat.
Melalui program Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra bagi 1.800 guru di seluruh Indonesia, majalah Horison dan sekitar 90 sastrawan selama 10 tahun melatih dan mendidik guru menekuni dunia membaca, menulis, dan mengapresiasi sastra. Para sastrawan mendatangi pelajar di 200 sekolah di 120 kota di Indonesia dalam program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya.
Demikian diungkapkan penyair Taufiq Ismail, salah satu pendiri majalah Horison, di Universitas Padjadjaran Bandung, Kamis (31/1). ”Itu bukan tugas pemerintah saja, tetapi juga masyarakat,” katanya.
Hasil dari kegiatan itu antara lain makin banyak guru dan pelajar yang mengirimkan tulisan ke media-media lokal atau majalah Horison. Mereka juga bergabung dalam Sanggar Sastra di 30 kota.
”Untuk melaksanakan kegiatan tersebut, selama lima tahun kami didukung dana dari Ford Foundation, tetapi lima tahun terakhir didukung Departemen Pendidikan Nasional,” ujarnya.
Hawe Setiawan, Pemimpin Redaksi Majalah Sunda Cupumanik, Senin di Bandung, mengatakan, masyarakat perlu diperkenalkan pada bahan bacaan, baik berbahasa Indonesia maupun bahasa ibu. Dalam Konferensi Internasional Budaya Sunda tahun 2001 di Bandung, ia merekomendasikan agar pemerintah menyediakan perpustakaan dengan koleksi bacaan yang memadai sampai di tingkat kabupaten.
”Tak sekadar ada perpustakaan, perlu juga tindakan proaktif untuk mendorong minat baca, antara lain melalui pameran buku dan sayembara mengapresiasi bacaan,” kata Hawe.
Untuk membantu mengembangkan minat baca, Hawe mengatakan, selama ini pihak Cupumanik mengumpulkan belasan tokoh Sunda untuk membeli beberapa eksemplar Cupumanik guna dikirimkan ke berbagai sekolah dalam program Manglangganankeun (Membantu Pihak Lain Berlangganan). Ini dilakukan agar sekolah memiliki alternatif bacaan gratis sehingga tidak membebani biaya operasional sekolah. Hasilnya, antara lain, banyak guru dan pelajar mengirim carita pondok (cerita pendek), esai, dan puisi. (ynt)
Sumber: Kompas, Selasa, 5 Februari 2008
No comments:
Post a Comment