JAKARTA (MI): Kelahiran perundang-undangan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), yakni UU No 19/2002 lebih disebabkan kebutuhan Indonesia untuk menyesuaikan diri dengan perdagangan dan ekonomi global. Hal ini berakibat rezim HaKI yang ada tak bisa melindungi kekayaan budaya masyarakat.
Hal itu dikemukakan Agus Sardjono dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar tetap dalam Ilmu Hukum Keperdataan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) di Balai Sidang, UI, Depok, Jawa Barat, kemarin.
Menurutnya, penyusunan dan pemberlakuan perundangan-undangan HaKI di Indonesia merupakan tindakan transplantasi hukum asing berdasarkan konvensi Bern, konvensi Paris, dan lainnya ke dalam hukum nasional. "Transplantasi hukum HaKI ke dalam sistem hukum Indonesia, jika tidak cocok, bisa merusak sistem hukum Indonesia secara keseluruhan," terangnya.
Ia mengungkapkan, Rezim WTO dan Trade Related to Intellectual Properties (TRIPS) berbeda dengan konsepsi masyarakat tradisional di banyak negara, karena rezim intellectual property rights (IPR atau rezim HKI) selalu berusaha membuat kepemilikan pribadi terjadi atas berbagai penemuan atau kekayaan masyarakat lokal, sementara masyarakat lokal yang memiliki kekayaan budaya yang tak terhingga lebih banyak menganut konsepsi kepemilikan komunal atau sosial. "Itu berakibat rezim HaKI yang ada ini tak bisa melindungi kekayaan budaya masyarakat tersebut," ungkapnya.
Tradisional dan Barat
Pandangan masyarakat yang berbeda, yang muncul berkenaan rezim HAKI, pada hakikatnya mencerminkan perbedaan pandangan antara masyarakat tradisional dan masyarakat Barat. "Masyarakat Barat melihat dari sudut pandang teori pembangunan yang memandang sumber daya yang ada di muka bumi ini sebagai sesuatu yang dapat dieksploitasi. Sebaliknya masyarakat tradisional memandang manusia hanyalah merupakan kustodian atau perantara dari sumber daya yang terdapat di bumi ini," ungkapnya.
Guna menjembatani dua kepentingan itu, Agus dalam penelitiannya mencoba melihat sejumlah peluang yang bisa dikembangkan dalam bidang ini. Ia mengusulkan adanya benefit sharing (pembagian kegunaan), yang dibedakan dengan konsep profit sharing (pembagian keuntungan keuangan) yang melulu masalah uang.
Dengan benefit sharing, ia mengusulkan para peneliti asing atau perusahaan besar (apakah itu lokal ataupun asing) yang hendak memanfaatkan kekayaan masyarakat tradisional harus mengikat perjanjian agar masyarakat pun mendapat keuntungan dari kekayaan tradisional tersebut. (Eri/H-1)
Sumber: Media Indonesia, Kamis, 28 Februari 2008
No comments:
Post a Comment