-- Miming Ismail*
DALAM konteks kebudayaan modern, kekayaan seni tradisi sering kali hanya menjadi etalase yang seakan telah melewati masa hidupnya. Seni dan budaya masa lalu hanya dilihat sebagai epos yang menjadi romansa hidup masa kini.
Karena itu akar dan habitusnya juga berangsur punah ditelan keganasan dan kelalaian memahami sebuah epos ruang dan waktu. Manusia pada zaman ini umumnya memandang semua anasir tradisi masa lalu sebagai artefak kebudayaan semata.Padahal, apa yang kita sebut sebagai tradisi sesungguhnya memiliki dimensi kosmogonis atau metafora yang mengungkapkan sisi kehidupan manusia dengan kerangka rasionalitasnya sendiri, sebagaimana dalam mitos dewadewi zaman Yunani Antik.
Perspektif yang melihat masa lalu hanyalah sebuah artefak mati itu berdasarkan pengandaian tentang masa kini yang seakan lepas dari tradisi masa lalu. Transformasi selalu dipandang sebagai upaya melampaui bahkan mengakhiri apa yang pernah ditoreh masa lalu,karena pembayangan akan masa kini yang selalu jadi hakim paling bijak atas masa lalu.
Akhirnya seluruh anasir budaya masa lalu selalu tinggal di ruang sana. Pertanyaan pun muncul, betulkah kekinian yang kita jalani tidak memiliki paralelisme dengan masa lalu? Adakah semua peninggalan masa lalu itu tidak relevan bahkan ”buruk”bagi masa kini? Dalam konteks inilah pekerjaan untuk mendudukkan tradisi masa lalu dan kini selalu sulit untuk dicari garis batasnya secara tegas, karena multiplisitas yang menyiratkan batas sekaligus ketidakmungkinan untuk merengkuhnya dalam kesatuan, terlebih dalam hempasan kondisi posmodernisme yang membentangkan fragmentasi ruang dan waktu.
Spirit masa lalu sebenarnya merupakan ”habitus” atau tempat tinggal paling primordial di mana manusia dan seluruh entitas budaya berekspresi. Dalam habitus itu pula manusia selalu riuh rendah dengan segala anasir budaya, kuasa, dan capaian keseniannya yang fantastis, sejak zaman Yunani,Romawi, fajar keemasan agama-agama hingga melahirkan epos baru yaitu modernitas.
Dalam kenyataan, tak dapat dimungkiri bahwa seluruh epos masa lalu tetap saja tinggal di masa kini. Sebuah hikayat panjang tidak selalu sinkron dengan asumsi dan pengandaian konseptual kita tentang kebudayaan. Karena di dalamnya juga terletak hasrat, imaji, bahkan kubangan nafsu-nafsu hewani yang secara beringas menancapkan ambisinya. Seluruh jalinan simbolik dan metaforis mengenai khasanah itu selalu memunculkan irama, decak kagum ironi, sekaligus fiksi tentang kejayaan suatu latar kebudayaan tertentu.
Wilayah estetis itu sangat terlihat ketika ekspresi kebudayaan mendapatkan medan artikulasi dan ekspresinya dalam kehidupan.Tetapi tentu saja di sana ada habitus, latar kosmogonis, dan kosmologis penanda adanya kehidupan budaya manusia yang elastis. Karena pengandaian yang organis tentang satu jenis hewan atau makhluk bernama manusia, yang dinilai lebih baik dari hewan-hewan lainnya. Tapi, bukankah yang berbau modernis juga mengandung sisi ganjil dalam riwayatnya? Representasi akal budi dan transendensi manusia secara konseptual dibayangkan juga memuat ilusi bahkan fiksasi.
Jadi tidak niscaya sempurna sebagai universum yang dibayangkan lebih baik dari epos masa lalu. Dalam situasi itulah sebenarnya Rhyhm Salad, sebagai wadah apresiasi tradisi dan ”klinik musik tidak hanya menempatkan seni musik sebagai instrumen dan teknik yang melahirkan lirik.Tapi lebih dari itu, ia juga modus dan ekspresi yang memiliki latar budaya, horizon pemahaman, akar, dan habitusnya dalam budaya atau tradisi Indonesia.
Tak heran dalam setiap tampilan dan pementasannya ia tidak hanya memperlihatkan decak kagum, tapi juga tegangan komposisi musikal,dialog,konflik,dan harmoni di mana arus pertukaran dialog berlangsung dalam silang tradisi dan budaya kontemporer. Seni tradisi baik yang lahir dari masa lalu maupun masa kini, sebenarnya lahir dan memiliki akar primordialnya dalam tradisi yang lekat dengan modus dan penghayatan kosmologis dan kosmogonis tertentu.
Meski kita boleh menyangsikan hal itu tidak terjadi di era seni modern, terutama musik yang terkesan lepas dari habitusnya, kecuali hanya menjadi instrumen dan teknik yang terus menerus direproduksi dalam rangka komoditas. Dalam bahasa filsuf sekaligus musikolog,Adorno,itu disebut sebagai tindakan mimesis atas mimesis (mimesis of mimesis) atau tiruan atas tiruan. Bukan sebaliknya karya yang orisinal (berdaya kultis/ mitis) dan revolusioner dalam penciptaan komposisi musikal, sebagaimana tampil dalam komposisi nada atonal dalam komposisi twelf tone atau dua belas nada dalam komposisi Schoenberg yang ia kagumi.
Lalu adakah keduanya mungkin di mediasi atau diintegrasikan sebagai sebuah jalinan komposisi yang harmonis, atau sebaliknya hanya akan bertabrakan satu sama lain, karena medan artikulasi dan ekspresinya yang sudah berbeda.Bukankah mustahil menciptakan karya yang orisinal di zaman ini? Kemungkinan itulah yang tengah diterobos Rhythm Salad.Setidaknya jalan tengah yang lebih menekankan integrasi ketimbang transformasi dalam merajut dan melihat sisi estetis dalam masyarakat terutama masyarakat Indonesia yang cenderung abai mempertahankan segala bentuk tradisi.
Kita semua mungkin memahami bahwa dalam kultur industri,semua hal yang berbau seni dan tradisi selalu bertukar tangkap dengan kepentingan kapitalisasi ekonomi atau komoditi serta budaya yang masif. Namun, bukankah semuanya memiliki bingkai dan struktur yang jelas berbasis pada tradisi. Bukankah kebudayaan secara holistis memiliki habitus dan akarnya dalam tradisi? Mengapa dalam situasi industri yang memungkinkan kapitalisasi atas seni,kekayaan tradisi tidak ikut berbunyi,bahkan cenderung punah. Setidaknya pertanyaan dan problem macam inilah yang kini sedang mendera seni dan tradisi negeri ini.
Karena gejala prapemahaman tentang rasionalitas dan seluruh capaian yang melulu dipandang lepas dari anasir dan tradisi, hingga abai mengembangkan dan mengintegrasikan tradisi dalam lanskap kehidupan industri serta keseharian masyarakat. Padahal kebudayaan sendiri memiliki cakupan yang luas, tidak hanya terkait instrumen dan barang peninggalan yang dibayangkan sebagai kaleng rombeng atau kepingan logam masa lalu.
Ironisnya di negeri ini semua tradisi seakan hanya menjadi pernik di ruang etalase yang megah, hanya dapat dipentaskan ketika massa bosan dengan rutinitas budaya pop yang penuh kebisingan hasrat dan nafsu-nafsu komoditas. Kemunculan Rhythm Salad sekurang kurangnya memberi gambaran betapa meretas jalan tradisi dan kebudayaan kontemporer akan terasa begitu pelik,meski oase yang ditawarkan sejatinya mampu membangun struktur industri dan proses integrasi antara tradisi dan khasanah kontemporer. (*)
* Miming Ismail, pegiat sastra dan filsafat pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Paramadina, Jakarta.
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 24 Februari 2008
No comments:
Post a Comment