Saturday, June 04, 2011

Perlu Ada Dialog Peradaban

-- Imron Nasri

KHALED M. Abou El Fadl, guru besar hukum Islam di University of California at Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat, mengatakan secara sejarah, dunia Islam tak mengerti dengan baik dunia Barat. Barat juga tak tahu tentang Islam. “Secara historis, citra Islam di Barat jauh lebih buruk daripada citra Barat di negara-negara Islam,” ujar Khaled. Pandangan semacam itu memang sering muncul. Dunia Barat selalu mencitrakan Islam sebagai sebuah ajaran yang menoleransi kekerasan, mengecap orang-orang Islam sebagai fundamentalis, radikal, dan semacamnya. Pencitraan semacam itu memang sudah berjalan cukup lama.

Namun, sebenarnya kesan keras, radikal, fundamentalis itu, penyebabnya adalah negara-negara Barat itu juga. Berbagai peristiwa yang kita lihat adalah karena sikap negara-negara Barat yang selalu memancing upaya munculnya sikap-sikap keras seperti itu. Ironisnya, pandangan semacam itu terjadi juga di Tanah Air, di mana mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Adanya usulan, beberapa waktu yang lalu tentang pembubaran ormas Islam yang dipandang menganut garis keras, menunjukkan ada semacam ketakutan, yang kadang-kadang kurang beralasan, terhadap kiprah dan kegiatan yang dilakukan ormas-ormas Islam itu. Mengapa ormas Islam yang dipandang sebagai "garis keras" melakukan tindakan seperti itu. Itu karena sikap dan tindakan pihak-pihak yang berwenang tidak pernah tegas.

Terlepas dari apakah memang ada unsur kesengajaan dari pihak-pihak tertentu yang ingin menyudutkan Islam. Tapi memang sejak lama Islam selalu dibenturkan dengan Barat. Kalau berbicara tentang persoalan antara Timur dan Barat, dalam hal ini yang dimaksud adalah Islam dan Barat, memang sering terjadi perbedaan pendapat.

Clash civilitation itu sering dimaknai sebagai benturan budaya semata. Karena bisa saja munculnya karena persoalan ekonomi. Pendekatan kita sering masih memakai pola lama, pendekatan politik menyangkut tentang kuasa dan menguasai. Kita berpikiran anti-Amerika, itu adalah cara berpikir orang politik. Bukan cara berpikir agama, yang membawa misi dakwah. Meskipun dilakukan oleh orang beragama, akan melahirkan pemikiran-pemikiran yang penuh dikotomi, yang melahirkan siapa lawan siapa kawan. Padahal, kalau kita berpikir agama tidak begitu. Agama bisa masuk kepada siapa saja, termasuk mendakwahi musuh-musuh kita, bukan mencari kekuasaan. Tetapi kalau orang agama berpikiran politis ya seperti itu, yang ada hanya musuh. Siapa saja yang tidak sama kepentingannya dengan kita, apalagi berlawanan dianggap musuh. Apalagi kalau musuh itu adalah sebuah negara.

Islamopobia

Di tengah upaya melakukan dialog-dialog peradaban, di Indonesia justru muncul sikap ketakutan terhadap Islam. Walaupun itu dilakukan sebagian kecil masyarakat, memunculkan dampak yang cukup serius dalam tatanan masyarakat. Munculnya peraturan–peraturan daerah (perda) di beberapa tempat yang berbau Islam, oleh sebagian masyarakat dipersoalkan. Muncullah Islamopobia.

Munculnya sikap Islamopobia ini karena semakin antipatinya penganut Islamopobia terhadap Islam. Sehingga mereka selalu membuat berbagai macam cara untuk memfitnah umat Islam dan berusaha menjerumuskannya dengan isu-isu yang menyesatkan. Opini dunia, seolah-olah umat Islam itu kejam, membunuh orang yang tidak berdosa, termasuk melakukan pengeboman di pusat-pusat keramaian.

Melihat fenomena seperti itu, seharusnya umat Islam, terutama tokoh-tokoh Islam di Indonesia segera mengambil inisiatif sebagai mediator atau fasilitator untuk mempertemukan mereka yang terlibat konflik untuk bisa terbuka apa sebenarnya yang mereka inginkan. Kalau kita melihat sejarah peradaban Islam klasik sampai peradaban Islam modern, itu penuh dengan dialog dan dialognya dari berbagai macam segmen kehidupan. Bukan hanya bidang politik, ekonomi dan militer saja, tetapi juga ada dialog kebudayaan dan itu telah berhasil dilakukan umat Islam pada zaman peradaban klasik.

Menurut Bambang Cipto, upaya penyelesaiannya adalah dengan dialog yang menampilkan kedua pihak. Sehingga masing-masing bisa memahami eksistensinya sekalipun sangat sulit untuk damai. Minimal bisa mengurangi konflik yang panjang. Karena, menurut dia, konflik antara Islam garis keras dan Islamopobi secara politik merugikan umat Islam, khususnya umat Islam di Indonesia. Masalahnya, menurut Bambang Cipto, memang media massa baik yang ada di Indonesia dan media asing sering menyoroti hal-hal yang dramatis seperti itu, yakni konflik Islamopobia dengan Islam garis keras. “Ini sangat merugikan umat Islam secara politis. Karena beritanya tidak seimbang dan diskriminatif dan ini tampaknya sudah menjadi bulan-bulanan media,” ujarnya. Selain itu, menurut Bambang Cipto, persoalan itu menjadi rumit karena umat Islam lemah dalam koordinasi. Umat Islam kurang mampu mengimbanginya, karena tokoh Islam berjalan sendiri-sendiri dan berkomentar sendiri, sehingga muncul kesan umat Islam terpecah-pecah. Sehingga kekuatan non-Islam mudah melumpuhkannya. Bahkan media menggiring Islam sebagai gerakan radikal, di mana konflik semakin meluas tidak hanya di bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi bahkan militer.

Khaled sependapat dengan apa yang dikatakan Bambang Cipto bahwa media juga memperkuat stereotip tentang Islam. Ketika ada orang tertentu yang berteriak Allahu Akbar sebelum melakukan perusakan, segera disebarkan oleh media. Untuk itu, menurut Khaled, perlu banyak orang muslim yang bisa menjelaskan Islam kepada Barat. "Satu suara untuk mengatasi mispersepsi ini tak cukup. Kalau saya yang memberi penjelasan, mereka bilang saya hanya mewakili diri sendiri," kata Khaled.

Cuma, Khaled mengatakan cukup susah mendapatkan buku-buku tentang Islam yang benar-benar mewakili Islam. "Dalam tiga tahun terakhir, hanya tiga buku Islam yang ditulis orang Islam. Lima puluh buku lainnya ditulis oleh nonmuslim. Hal ini tentu memunculkan masalah baru, mengapa bukan orang Islam sendiri yang menjelaskan agamanya? Pertanyaan ini wajar muncul. Karena, kata Khaled, warga AS sedang memerlukan kenyamanan psikologis pascaserangan 11 September.

Imron Nasri, Peminat masalah sosial, politik, dan keagamaan

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 4 Juni 2011

No comments: