-- Marhalim Zaini
HARI ini, banyak orang seperti keranjingan mall. Pusat perbelanjaan modern abad ke-21 itu, yang tumbuh menjamur di kota-kota, tampaknya telah demikian memikat hasrat banyak orang untuk mengunjunginya. Tidak hanya pada hari libur, tapi hampir setiap saat mall senantiasa ramai. Meskipun mall adalah sebuah pasar, tapi mereka yang datang ke mall tidak semata bertujuan melakukan transaksi jual-beli. Sebab rupanya, konsep jual-beli yang dimiliki oleh pasar alamiah telah dilampaui oleh konsep pasar yang dikembangkan mall. Sebuah konsep hiperkomoditi, yang mengembangkan ekstrimitas pasar, yang menyediakan “apa saja” yang dibutuhkan oleh manusia modern. Maka mall telah berkembang menjadi pusat pembentukan gaya hidup. Mall, menurut Yasraf A Piliang (2004), telah mengkonsentrasikan dan merasionalisasikan waktu dan aktivitas masyarakat, sehingga menjadi pusat aktivitas sosial dan akulturasi, tempat pembentukan citra dan eksistensi diri, sumber pengetahuan, informasi, tata nilai, dan moral.
Maka, orang betah berlama-lama di mall. Dua anak saya yang masih balita, langsung bersorak-sorai kegirangan begitu saya menyebut kata mall di telinga mereka. Analisa saya, yang membuat mereka girang adalah suasana mall yang ramai dan meriah, selain yang pasti mall adalah “syurga” mainan bagi anak-anak. Pelajar di beberapa SMA di Pekanbaru, tempat saya pernah memberi workshop kepenulisan dan teater misalnya, kerap saya temui nongkrong alias hang out di kafé mall, beberapa yang lain saya temui sedang shopping, yang lain lagi sedang asyik bermain game. Tentu, tak ketinggalan berbagai ragam status sosial telah demikian melebur dalam hiruk-pikuk keramaian mall dengan membawa “kepentingan”-nya masing-masing.
Artinya, setiap orang yang datang ke mall, sedang mendekatkan diri mereka dengan simbol-simbol sosial yang terkait (langsung atau tidak langsung) dengan dirinya. Simbol-simbol yang kemudian menghadirkan makna tersendiri bagi tiap orang. Sebab, makna dari suatu simbol, menurut Herbert Blumer dalam Symbolic Interactionisme, Perspective and Methode (1969), muncul setelah adanya interaksi antara seseorang dengan simbol tersebut. Bagi anak saya yang balita itu, beragam permainan yang tersedia di mall, adalah simbol yang bermakna baginya sehingga menimbulkan reaksi kegirangan dalam diri mereka. Para remaja, menemukan simbol-simbol permaknaan diri mereka di mall, dengan kafé sebagai “ruang publik” modern bagi representasi dunia pergaulan mereka, misalnya. Atau, gaya hidup shopping mall, tampak sedang memanjakan siapa saja untuk setiap saat disuguhi simbol-simbol (seperti merk sepatu, fashion, tas, alat-alat kesehatan, barang-barang elektronik, jenis makanan, dan lain-lain) untuk “kepentingan” pemenuhan hasrat berbelanja mereka.
Interaksi-interaksi yang melahirkan makna yang dimaksud Blumer itu menunjukan sebuah premis bahwa manusia melakukan berbagai hal (termasuk berbagai aktivitas mereka di mall, misalnya) atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Artinya, bukan “hal” itu yang membuat orang bereaksi, akan tetapi “makna”. Makna apakah yang ditimbulkan dari “hal” semacam merk sebuah produk HP, misalnya? Apakah seseorang membeli HP karena sekadar fungsinya sebagai alat komunikasi atau sesungguhnya ia sedang membeli sebuah “makna” tertentu dari merk HP sebagai simbol untuk kemudian menunjukkan status sosial, atau untuk masuk ke dalam persaingan “gaya hidup” modern. Maka, Blumer, hendak menunjukkan premis yang lain, bahwa “makna” dimodifikasi melalui sebuah proses penafsiran yang dilakukan oleh seseorang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang sedang dihadapi.
Simbol Gaya Hidup Konsumerisme
Persoalan berikutnya yang segera muncul adalah, simbol-simbol yang kini hadir di sebuah panggung sosial bernama mall itu, benarkah tafsir atas maknanya telah dimodifikasi oleh (hanya) “seseorang” sebagai konsumen? Tentu, secara lebih luas, kita harus kemudian melihatnya bahwa ada kekuatan besar di baliknya yang memodifikasi simbol, berikut maknanya. Yakni, kekuatan besar yang terkait dengan budaya konsumerisme yang kemudian membentuk gaya hidup seseorang. Dalam diskursus kapitalisme mutakhir, perkembangan masyarakat post-industri juga disebut sebagai masyarakat konsumer. Menurut Yasraf (2004), ada tiga kekuatan (kekuasaan) yang beroperasi di belakang produksi dan konsumsi objek-objek estetik; yakni kekuasaan kapital, kekuasaan produser, dan kekuasaan media massa.
Tiga kekuasaan besar tersebut, kemudian menghadirkan simbol-simbol “estetik” baru lewat produk-produk hiburan, informasi, bahasa, makanan, dan sebagainya, yang kemudian melahirkan gaya nonton, gaya makan, gaya berbicara, gaya berpakaian, gaya rambut, gaya sepatu, dan lain-lain. Dan mall, sebagai sebuah ruang sosial yang pluralistik, yang heterogen, dan global, adalah tempat di mana berbagai simbol dari gaya hidup itu menemukan signifikansinya. Maka boleh dikata mall sendiri adalah simbol representatif dari gaya hidup yang disebut “modern” itu, yang konsumtif itu. Produk-produk konsumer itulah kemudian yang menjadi medium pembentukan personalitas, citra, untuk menemukan makna hidup.
Karena consumer culture menempatkan “konsumsi” sebagai faktor penting dalam mengubah nilai dan tatanan simbolis, maka kecenderungan yang semacam ini, menurut Featherstone (1990), yang membuat identitas dan subyektivitas seseorang mengalami transformasi. Proses transformasi itu terjadi misalnya ketika seseorang mulai mengekspresikan gaya hidupnya dengan kepemilikan objek-objek dan penggunaan benda-benda, dengan penekanan utamanya tidak pada nilai fungsionalnya, akan tetapi pada nilai-nilai simbolisnya. Kenapa begitu? Menurut Irwan Abdullah (2007), ada tiga cara yang bisa menjelaskan ini; (1) kelas sosial telah membedakan proses konsumsi di mana setiap kelas menunjukkan proses identifikasi dari nilai simbolis yang berbeda, (2) barang yang dikonsumsi kemudian menjadi wakil dari kehadiran, dan (3) konsumsi citra (image) di satu pihak telah menjadi proses konsumsi yang penting karena merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok.
Maka, di mall, proses transformasi itu lebih disebabkan oleh perebutan simbol-simbol sosial yang terus terjadi dalam proses konsumsi, dengan kecepatan tinggi, mengiringi kecepatan pasar global. Perebutan simbol-simbol sosial ini pada gilirannya justru menjadi semacam permainan yang diatur oleh sebuah sistem besar bernama kapitalisme. Sebuah permainan yang memperebutkan makna-makna dari nilai-nilai simbolis yang sesungguhnya “semu.” Betapa tidak, ketidakpuasan orang untuk memiliki benda/barang lebih dari satu dengan merek dan desain yang terus bergerak, misalnya, dapat menunjukkan yang “semu” itu. Dan jika kemudian memakai tiga cara Irwan di atas untuk melihat fenomena ini lebih jauh, maka proses identifikasi simbolis itu juga bisa jadi bernilai “semu.” Simbol-simbol dan citra (image) yang menjadi wakil dari kehadiran seseorang dari sebuah proses konsumsi, pun menjadi sebuah kehadiran yang “semu.”
Pembentukan Identitas Kultural
Tampaknya, kapitalisme paham betul bahwa melalui penguatan simbol-simbol dalam budaya konsumerisme, sebuah identitas kultural dapat dibentuk. Identitas yang ujung-ujungnya untuk mengukuhkan ekonomi kapitalisme itu sendiri agar dapat terus berputar. Bahwa melalui pembentukan gaya hidup konsumer-lah kemudian identitas kultural masyarakat modern itu terbentuk. Sebab, kita yakini bahwa kebudayaan itu merupakan sistem simbol, merupakan suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol (Geertz, 1973), yang ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu (Harris, 1968). Maka, agaknya, mengembalikan konsepsi manusia sebagai animal symbolicum dalam teorinya Ernst Cassirer (1987), dalam konteks ini menjadi niscaya.
Bahwa manusia-manusia yang datang ke mall itu, berasal dari berbagai identitas kultural mereka masing-masing, dengan membawa simbol-simbol “lokal” mereka masing-masing, adalah sebuah proses perebutan makna tersendiri. Di sana, sesungguhnya tengah terjadi tarik-menarik identitas simbol “lokal” dan simbol-simbol modern. Artinya, tidak juga sepenuhnya benar jika pemilik urban space semacam mall itu adalah masyarakat kelas menengah atas dengan identitas kultural kota yang berorientasi pada sifat-sifat yang lebih rasionalistik. Sebab, sebagai ruang terbuka yang bisa “melahap” siapa pun, mall tidak memilih orang, tapi berkomunikasi dengan bahasa konsumsi, barang dan uang. Maka, “orang kampung” pun kemudian menjadi “mangsa” paling dicari untuk menarik mereka ke dalam pusaran arus global kapitalisme. Dan bukti konkretnya, betapa ibu kota Jakarta misalnya, merasa demikian kewalahan membendung proses urbanisasi yang terus meningkat setiap tahunnya. Dan bukankah menjadi turut yakinlah kita bahwa pada tahun 2025, diprediksi 60,7 % masyarakat Indonesia akan berada di kota (Abdullah; 2004).
Justru pada perkembangannya, simbol-simbol lokal tradisional itu oleh kapitalisme direproduksi untuk menghadirkan ingatan kolektif orang atas masa lalu, atas kenangan-kenangan yang membangkitkan romantisme. Barang-barang lama yang “diberi” nilai antik, misalnya, adalah satu teknik reproduksi itu. Di sini, perebutan makna simbolik yang saya sebut di atas, telah berubah pola menjadi “permainan” simbolik yang seolah menunjukkan upaya kapitalisme untuk memberi ruang bagi yang tradisional untuk turut serta dalam pembentukan identitas kultural tersebut. Meskipun, kalau dilihat dengan lebih jeli, proses reproduksi lokalitas ini telah menempatkan “tradisi” sekedar menjadi barang, yang sudah pasti mengalami proses materialisasi. Upacara-upacara ritual tradisional misalnya, direproduksi untuk dikonsumsi sebagai “barang”, sebagai komoditi, yang menyebabkan terjadinya pendangkalan-pendangkalan nilai, mengalami proses desakralisasi. Dan jika dilihat dari kacamata eskploitasi budaya, kapitalisme sesungguhnya merupakan ancaman terhadap keutuhan dan keaslian budaya lokal beserta pilar-pilar identitas yang membangunnya (Piliang, 281).
Maka pembentukan identitas kultural yang seperti apakah yang terjadi dalam permainan simbolik semacam ini? Memang benar, jika identitas merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari kebudayaan, maka perubahan menjadi niscaya. Identitas budaya menurut Stuart Hall dalam bukunya Cultural Identity and Diaspora (1990) juga disebut sebagai identitas etnik, yang memang dapat dilihat dari dua sudut pandang: (1) identitas budaya sebagai sebuah wujud (identity as being) dan (2) identitas budaya sebagai proses menjadi (identity as becoming). Artinya, sebagai sebuah wujud, identitas itu memang tampak telah terbentuk, namun bentuk-bentuk itu kemudian tidak diam, tapi terus berubah dalam proses “menjadi.” Karena identitas menurut Jonathan Rutherford, adalah sebuah mata rantai yang menghubungkan nilai-nilai sosial budaya masa lalu dengan masa sekarang. Yang artinya, identitas tidak bersifat a-historis. Ada proses sejarah yang membentuknya dalam kurun waktu yang bertahap.
Masyarakat Liminal dan Homogenisasi Budaya
Lalu, jika identitas dilihat sebagai proses “menjadi” mestinya kita harus pula sepakat bahwa tidak akan ada istilah “krisis identitas” itu, karena identitas itu belum selesai membentuk dirinya. Akan tetapi, ketika warisan kultural masa lalu yang dianggap stabil oleh masyarakat lokal, tiba-tiba harus digeser oleh pengaruh-pengaruh dari luar, maka identitas kemudian menjadi isu besar, yang berkonotasi dalam bebagai aspek kehidupan sosial-politik-budaya. Meskipun, pada kenyataan lain, perebutan identitas ini kadang tidak sepenuhnya dan lebih banyak tampak pada permukaan realitas sebagai sebuah perlawanan yang bersifat ideologis. Sebab, rupanya, diam-dam masyarakat kita memang cukup menikmati berada di wilayah antara (in between) ini, wilayah yang disebut oleh Victor Turner sebagai liminality dalam bukunya The Ritual Process, Structure and Anti-Structure (1966). Menurut Turner, dalam sebuah proses peralihan, posisi liminality berada di perbatasan, di antara preparation dan integration. Artinya, masyarakat yang liminal itu adalah masyarakat yang berada di wilayah antara tradisi dan modern, di antara pertanian dan industri. Sebuah posisi yang mestinya dapat dilalui dalam waktu yang singkat, sebuah wilayah transit.
Namun, pada kenyataannya, bukankah posisi liminal ini memberi sebentuk “identitas kultural” baru bagi masyarakat kita? Sebuah identitas abu-abu. Identitas yang bisa memberikan ruang yang bebas untuk bisa masuk ke mana pun. Inilah juga yang Turner sebut sebagai anti-structur itu. Posisi egaliter yang tak masuk dalam kategori struktur sosial mana pun, yang sesungguhnya secara tidak langsung dapat menandai adanya proses perjalanan menuju perubahan status seseorang dari satu komunitas ke komunitas yang lain. Apakah kemudian perubahan itu berhasil atau tidak, tampaknya tidak lagi menjadi penting. Yang pasti, berbagai upaya untuk menandai yang “abu-abu” ini sebagai identitas kini telah pun banyak dilakukan komunitas-komunitas di Indonesia yang selama ini termarjinalisasikan, semisal perjuangan kaum gay. Maka apakah mall, dengan konsep fetisisme komoditinya, juga sedang menggiring masyarakat ke arah pembentukan identitas yang liminal itu? Atau, justru mengarah pada homogenisasi budaya dalam konsep global culture?
Apa yang dimaksud sebagai homogenisasi di sini adalah bahwa ada kecenderungan proses penyeragaman budaya dalam bingkai imperialisme budaya. Sosok mall sebagai simbol industri kapitalis, tampak hadir sebagai tawaran penyeragaman konsumsi. Meskipun, kadang penyeragaman tersebut dikaburkan oleh konsep familiarisasi terhadap keanekaragaman kultural, yang seolah mall sedang memfasilitasi dan mengakomodasi berbagai kekayaan kultural yang ada di masyarakat. Namun pada kenyataannya, model dan strategi yang dipakai kapitalisme tidak dapat meyakinkan sebuah keanekaragaman akan bisa duduk berdampingan dalam sistem kapital. Maukah misalnya lembaga ekonomi global semacam IMF (International Monetary Fund) memahami kompleksitas relasi-relasi kultural tersebut? Justru, kesan yang kemudian muncul adalah lembaga tersebut memaksakan model budaya ekonomi yang seragam di berbagai tempat (Piliang, 2004).
Maka, proses pembentukan identitas kultural dalam permainan simbol-simbol sosial yang ditawarkan oleh kapitalisme hari ini, dapat dikatakan cenderung mengarah pada penyeragaman (homogenisasi). Meskipun, harus pula diakui bahwa sifat kebudayaan yang memang terbuka terhadap perubahan itu, dapat memberi jalan alternatif bagi terbentuknya identitas-identitas kultural baru, yang justru tidak diprediksi sebelumnya. Sebuah karakter identitas yang bisa jadi memang liminal, bisa jadi juga rasional sekaligus kadang bisa irasional. Bisa menjadi modern dan bisa juga menjadi tradisional pada saat-saat tertentu. Dan, mall, tetap saja menjadi sebuah ruang alternatif bagi proses “pematangan” sebuah identitas kultural dalam proses pembentukannya, yang terus bergerak.
Marhalim Zaini, sastrawan Riau, pemerhati sosial-budaya, sedang studi di Pascasarjana Antropologi UGM. Tinggal di Jogjakarta
Sumber: Riau Pos, Minggu, 26 Juni 2011
No comments:
Post a Comment