-- Inno Jemabut/Ellen Piri/Faisal Rachman/Stevani Elisabeth/Danang J Murdono
PEROMBAKAN Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif boleh jadi menunjukkan tekad pemerintah untuk lebih menggerakkan sektor ekonomi kreatif. Sektor ini digadang-gadang bisa menopang perekonomian negeri. Bisakah?
Mengembangkan sektor ekonomi kreatif gampang-gampang susah. Pemerintah membutuhkan dana Rp 10 triliun untuk mengembangkan sektor ekonomi kreatif.
Sektor ekonomi kreatif di dunia saat ini tumbuh dengan pesat seperti tercermin dari nilai ekonomi kreatif global yang diperkirakan dengan tingkat pertumbuhan 5 persen per tahun akan berkembang dari US$ 2,2 triliun pada Januari 2000 menjadi US$ 6,1 triliun pada 2020.
Di Indonesia, industri kreatif didefinisikan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan, serta bakat individu. Pemanfaatan untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi serta daya cipta individu tersebut. Fokus pemerintah terhadap industri kreatif baru dimulai tahun 2006.
Sedikitnya terdapat 15 subsektor ekonomi kreatif, yakni periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain; fashion; video, film dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan peranti lunak; televisi dan radio; serta riset dan pengembangan.
Kurang Dilirik
Industri fashion muslim sebagai bagian dari sektor ekonomi kreatif belum banyak dilirik termasuk oleh pemerintah maupun kalangan perbankan. Dukungan pemerintah saat ini diakui masih belum maksimal kalau tak bisa dikatakan minim.
“Bujet yang digelontorkan besar, tapi masih sebatas untuk meningkatkan capacity building (meningkatkan kemampuan untuk mencipta kreasi-red). Padahal, yang dibutuhkan lebih dari itu,” kata Ketua Umum Asosiasi Industri Kreatif Islami Indonesia, Eka Shanty kepada SH, Jumat (4/11).
Industri fashion muslim, kata dia, lebih membutuhkan dukungan terutama untuk keberlangsungan bahan baku (material) dan dukungan dari aturan-aturan yang memihak industri. “Banyak material yang bagus justru diekspor ke luar negeri seperti Thailand. Ironisnya kita justru harus ambil lagi dari Thailand,” tuturnya.
Karena itu, dia meminta pemeritah membangun kembali industri tekstil di Indonesia. Pemerintah juga diharapkan bisa membangun klaster-klaster industri pendukung fashion di berbagai daerah. “Insentif dari peraturan itu yang kami tunggu,” serunya.
Deputi Menko Perekonomian bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawadi mengatakan, banyak aturan yang dibutuhkan untuk mendukung industri kreatif seperti fashion muslim. Namun, masih banyak kendala yang harus dihadapi pemerintah seperti sinkronisasi aturan soal pengurangan pajak (tax deduction) sampai untuk industri pendukung fashion syariah.
“Di industri fashion muslim kan banyak juga industri pendukungnya seperti industri kosmetik. Harusnya mereka bisa mendapatkan pengurangan pajak karena mengusahakan bahan baku lokal. Tapi ya itu, permenkeu (peraturan menteri keuangan–red) belum bisa keluar,” tuturnya.
Untuk pembiayaan sendiri, lanjutnya, selama ini banyak pengusaha fashion dan desainer yang harus mengandalkan kemampuannya sendiri lantaran banyak perbankan syariah yang belum mempercayai industri fashion muslim. Industri fashion yang senapas dengan filosofi perbankan syariah justru belum mendapat tempat. ”Mereka beralasan fashion itu gampang out of date,” katanya.
Untungnya belakangan, melihat potensinya yang besar sudah ada beberapa bank syariah yang mau membiayai pengusaha fashion. Hal ini menurutnya tak terlepas juga dari usaha pelaku pasar yang meminta dukungan pemerintah untuk mengatasi pembiayaan.
Selain tidak dilirik, sektor kreatif juga diadang sejumlah kendala pembiayaan terutama dari perbankan yang kadang rumit dan terkesan menutup diri dari sektor ekonomi kreatif. Selain itu, soal hak cipta yang terkait dengan maraknya pembajakan karya serta perlunya peningkatan kemampuan sumber daya manusia.
Ketua Umum DPP Himpunan Pengusaha Putra Indonesia (HIPPI) Yockie M Hutagalung kepada SH mengatakan, yang dibutuhkan pelaku ekonomi kreatif saat ini adalah kebijakan pemerintah yang konsisten.
Sebagai contoh, kebijakan menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Namun, dalam kenyataannya untuk mendapatkan KUR, tidak saja dengan cara yang cukup sulit, tetapi juga bunganya masih terlalu besar. Bunga KUR yang mencapai 22 persen per tahun lebih tinggi dari bunga bank biasanya.
Idealnya, pelaku ekonomi kreatif menjadi pengusaha primer, sebagaimana halnya dengan nelayan, petani, dan peternak. Karena itu, bunga KUR bagi pengusaha primer tidak boleh lebih dari 5 persen per tahun.
Lain lagi menurut Ketua Umum Kerukunan Usaha Kecil Menengah Indonesia (KUKMI) Azwir Dainy Tara. Ia mengatakan bunga pinjaman bagi pelaku ekonomi kreatif kita kalah jauh dari yang diterapkan di negara-negara lain. Di China bunga bank untuk pelaku UMKM hanya 2 persen.
Pelaku ekonomi kreatif, secara umum adalah kelas menengah ke bawah. Karena itu, tidak masuk akal jika kepada mereka dibebankan bunga bank lebih besar, sementara pengusaha besar selain mendapat bunga pinjaman lebih rendah, juga sejumlah fasilitas istimewa lainnya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Rully Chaerul Azwar mengharapkan hasil ekonomi kreatif dapat mewakili kreativitas masyarakat. Dampaknya, tidak saja mengangkat kreativitas masyarakat setempat ke dunia yang lebih luas, tetapi juga ada efek ekonomi.
Anggota Komisi VI DPR Erick Satrya Wardana mengatakan seharusnya dengan adanya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif maka kreativitas masyarakat ke depan lebih dihargai lagi. “Orang kreatif di Indonesia banyak, tetapi perlindungan terhadap hasil kreasi sangat minim,” kata Erick.
Pembajakan hak cipta sangat tinggi di Indonesia, tak terkecuali hak cipta seni. Kondisi ini tak bisa dibiarkan mengingat hak cipta adalah aset negara. Karena itu, pemerintah berkewajiban mem-back up, tidak saja mencari keuntungan dari pajak penjualan barang. “Tugas negara memfasilitasi agar imajinasi kreatif yang melahirkan ekonomi kreatif terus tumbuh dan berkembang,” ujarnya.
Pemerintah juga perlu membantu promosi dan pendanaan dengan cara mudah dan efektif. Banyak ekonomi kreatif, seperti yang dikerjakan pelaku UMKM tidak maksimal berkembang karena masalah pendanaan dan promosi.
Tidak banyak bank yang percaya pada pelaku ekonomi kreatif dengan alasan tidak memiliki hak cipta. “Artinya kalau hak cipta dibenahi, mereka memiliki peluang untuk berkembang lebih maju,” ujarnya.
Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian, Euis Saedah mengemukakan, hingga saat ini, belum ada batasan-batasan dari ekonomi kreatif.
Definisi ekonomi kreatif masih terlalu luas sehingga mencakup semua aspek kegiatan ekonomi, bahkan terfokus pada kegiatan perdagangan. Bahkan, pemerintah pernah menerbitkan Inpres Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif. Program dan perumusan ekonomi kreatif dibikin sejak 2008.
Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Binalattas) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Abdul Wahab Bangkona kepada SH seusai membuka workshop “Harmonisasi dan Penguatan Peraturan Daerah Bidang Pelatihan dan Produktivitas” di Surabaya, Kamis (3/11) malam mengatakan, Balai Latihan Kerja (BLK) sebenarnya bisa digunakan untuk mengakselerasi pertumbuhan jumlah pelaku ekonomi kreatif di Tanah Air.
”Dulu, BLK-BLK tertentu memang biasa digunakan untuk melatih siswa mengembangkan ekonomi kreatif seperti mengolah logam dan kayu menjadi ukiran bernilai seni tinggi serta menenun kain. Nah, kini program tersebut akan kami galakkan lagi. Pelatihan bidang kewirausahaan akan diarahkan ke ekonomi kreatif,” katanya.
Hanya saja, lanjut Abdul Wahab, upaya ini bukan tanpa kendala. ”BLK selama ini kekurangan tenaga instruktur, termasuk instruktur untuk ekonomi kreatif,” tuturnya.
Komik “Si Hebring”
Salah satu perusahaan BUMN yang mampu mengembangkan ekonomi kreatif kreasi anak bangsa adalah PT Telekomunikasi Indonesia. Perusahaan ini menjadi salah satu trendsetter melalui Indigo Fellowship yang meluncurkan komik digital.
Langkah Telkom ini menjadi salah satu bentuk dukungan berkelanjutan bagi industri kreatif di Tanah Air. Telkom meluncurkan satu konten baru dan unik bagi pelanggan Telkom Speedy berupa komik Si Hebring versi cetak dan digital.
Komik Hebring menjadi salah hasil karya anak bangsa yang lahir di tengah gempuran komik asing serta demam superhero yang melanda masyarakat di Indonesia. Harus diakui, karya anak bangsa terlahir dari pemikiran-pemikiran yang juga brilian. Di sinilah ide dan kreativitas bisa dituangkan dengan penuh totalitas sehingga berkualitas dan pada akhirnya dapat dikomersialkan.
Sebagai penyedia layanan jasa internet cepat di Indonesia, Telkom menyadari internet yang sudah menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat membutuhkan banyak konten yang sehat, positif, dan aman dikonsumsi semua usia. Oleh karena itu, kehadiran komik digital Si Hebring ini cukup menjadi oase bagi masyarakat pencinta internet maupun komik.
Tokoh Hebring digambarkan sebagai superhero yang berasal dari Tasikmalaya dan merupakan bagian dari kehidupan di masyarakat dengan berbagai konflik yang umum terjadi. Komik Si Hebring dikemas secara kocak dan mudah dipahami, bersahabat, mudah dicintai dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Keberhasilan PT Telekomunikasi Indonesia dalam menciptakan Komik Hebring setidaknya menggambarkan kian marak kaum muda yang terjun dalam bisnis teknologi, media dan telekomunikasi (TIK), di mana melalui ide kreatifnya, menjadi pengusaha berbasis TIK (Teknoprenuer).
Nilai pasar industri kreatif berbasis TIK ini sulit dihitung. Namun, jika dilihat dari tiga sektor yang mendominasi pasar, yakni musik, game, dan SMS Premium, nilainya cukup menggiurkan hingga Rp 8,96 triliun.
Pemerintah dan operator telekomunikasi pun mulai menyadari potensi besar yang belum tergarap maksimal ini. Akan tetapi, permodalan dan akses ke pasar selalu menjadi kendala yang dihadapi para teknoprenuer atau perusahaan start up.
Direktur Teknologi Informasi Telkom Indra Utoyo mengungkapkan, perusahaan start up yang telah diinkubasi melalui program Indigo sebanyak 25 di mana sekitar lima inovasi telah berhasil dikomersialkan.
Dalam memberikan bantuan dana yang dianggap sebagai modal benih (seed capital) berjumlah sekitar Rp 50-500 juta. Selain itu ada bantuan dalam bentuk natura misalnya pemberian training, coaching, dan fasilitas infrastruktur produksi dan distribusi.
Presiden Direktur Bakrie Telecom Anindya N Bakrie mengungkapkan, pihaknya menyiapkan dana Rp 100 miliar untuk membina sekitar 20-30 perusahaan start up melalui Nusantara Incubation Fund.
“Kreativitas teknologi di Indonesia luar biasa. Sayang, ide dan kreativitas itu tidak bisa dijaminkan untuk mendapatkan pinjaman dana lewat perbankan. Inilah alasan diluncurkannya Nusantara Incubation Fund,” katanya.
Praktisi telematika Andy Zain menuturkan, problem mendasar yang menghambat para teknoprenuer adalah tidak ada dana, salah memilih pasar, serta tidak bisa me-monetize produk.
Praktisi konten Gunarto mengungkapkan, dana yang dianggarkan oleh modal ventura milik para operator masih kecil untuk mengembangkan para teknoprenuer. ”Di bisnis ini banyak anomali. Kadang ide saja sudah dihargai mahal, sedangkan yang sudah eksis malah kembang kempis mempertahankan bisnis,” katanya.
Ia menambahkan, terjadi banyak ironi di dunia kreatif Indonesia di mana para kreator karena tidak sabar mengembangkan produknya berujung hanya menjadi tukang jahit alias membuat program sesuai pesanan dari pemodal besar.
”Umumnya para kreator tidak sabar dan senang dengan uang yang didapat sesaat, tetapi melupakan potensi keuntungan besar yang bisa diterima di masa depan. Di sinilah dibutuhkan para mentor untuk memberikan pengertian cara berbisnis yang benar,” ujarnya. (CR-27)
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 5 November 2011
No comments:
Post a Comment