-- Matdon
Bandung – Sejak kecil Guna diasuh ibunya, hidup berkecukupan dan dimanja. Ia tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik, riang, dan kecewa.
Guna adalah sebuah gambaran kekayaan, kemewahan sekaligus kemisksinan. Itu semua akibat ibunya yang melarang Guna keluar rumah, jangankan untuk pacaran, bergaul dengan tetangga pun tidak diperkenankan.
Guna diam di kamar, hanya botol-botol mainan yang setia menemaninya. Guna hanya bisa bicara pada botol, curhat pada botol dan pacaran dengan botol. Hingga suatu saat ia berontak dan membunuh ibunya. Itulah naskah teater
“Manusia Dalam Botol” yang dimainkan Laskar Panggung Bandung (LPB), Selasa dan Rabu (1-2 November 2011) di Sunan Ambu STSI Jl Buahbatu 212, Bandung.
Naskah ini merupakan naskah pertama yang dimainkan LPB pada 1996 lalu ketika LPB baru berdiri di bulan November. “Manusia Dalam Botol” merupakan karya sutradara Yusef Muldiyana. Laskar Panggung Bandung (LPB) kembali mementaskan naskah teater ini dengan para pemain yang berbeda.
Meski demikian, para aktor yang sebagian besar baru pertama kali manggung tak begitu mengecewakan, mereka menikmatinya dalam ekstase roh teater. Kenikmatan dalam sebuah teater adalah akting, tak akan pernah ada teater tanpa akting.
Ini seperti yang difatwakan LPB selama 15 tahun. Mempertahankan hidup sebuah kelompok teater selama 15 tahun bukanlah hal mudah, membutuhkan tenaga kuda dan semangat luar biasa, serta kesetian para aktornya dan segala tetek bengek manajemen yang baik.
Di Kota Bandung, dikenal Stusklub Teater Bandung (STB) yang usianya setengah abad lebih. Kemudian ada Teater Payung Hitam yang sudah belasan tahun, dan Teater Bell yang kini berusia 23 tahun. Selain itu, tentu saja ada nama Laskar Panggung Bandung (LPB).
Nama LPB selama beberapa tahun terakhir sangat produktif ketimbang kelompok teater lainnya di Bandung. LPB selalu melahirkan karya unik dan menarik. Gaya penyutradaraan Yusef Muldiyana mengingatkan kita pada almarhum Arifin C Noer. Itulah Yuef Muldiyana, darah sang guru kemudian membawa nama Yusef disebut-sebut sebagai "Neo Arifin C Noer".
Memang sepeninggal Arifin pada Mei 1995, dunia teater nasional sangat kehilangan tokoh sutradara yang "nakal" dalam pemanggungan peristiwa, jika disandingkan dengan Nano Riantiarno tentu gaya keduanya berbeda.
Sampai akhirnya lahir LPB pada 20 November 1995 dengan format gaya "Arifinisme", bukan meniru, tetapi memaknai jiwa naskah Arifin. Bahkan, selama lima belas tahun LPB berkiprah dalam dunia teater, ciri khas yang tidak dimiliki kelompok teater lainnya, di Bandung khususnya, selalu melekat pada LPB.
Gerakan Khas
Yusef Muldiyana, salah seorang pendirinya, sekaligus penulis skenario dan sutradara, menggiring LPB menjadi teater dengan tarian, nyanyian, dan gerakan yang khas. Selama itu pula Yusef dikenal publik teater nasional sebagai "Neo Arifin C Noer". LPB termasuk kelompok paling lama bertahan dan berkarya setelah STB dan AUL.
Nama LPB menunjukkan hasrat perjuangan dengan kesadaran bahwa perjuangan itu panjang, melelahkan, dan memerlukan ketekunan. Ini sejalan dengan petani yang gigih mengolah sawah dan hasilnya bisa berguna bagi siapa saja yang menikmati.
Sejak didirikan Yusef Muldiyana, Deddy Koral, dan Aendra H Medita, LPB terus-menerus berkarya ke arah situ. Para aktornya silih berganti datang dan pergi, sejak melakukan aksi teaterikal di jalanan saat lengser Presiden Soeharto 1998 hingga sekarang.
Matdon, pencinta seni.
Sumber: Sinar Harapan, Kamis, 3 November 2011
No comments:
Post a Comment