Wednesday, November 02, 2011

[Teraju] Masih Adakah Gagasan Melayu Raya

-- Teguh Setiawan

Secara politik, gagasan Melayu Raya telah musnah ketika Soekarno mendengungkan Ganyang Malaysia.

KETIKA 1879 Parlemen Hawaii di Honolulu membahas kemungkinan penyatuan Dunia Melayu-Polinesia, penduduk Melayu di Semenanjung Malaya hanya terbengong-bengong mendengar kata politik. Sepuluh tahun kemudian, ketika Apolinaro Mabini mendeklarasi kan Federation Malaya, orang Malaysia sama sekali belum menyadari hak-hak politiknya.

Mabini bukan orang pertama yang mendeklarasikan penyatuan Melayu. Sebelumnya, Jose Rizal—pahlawan kemerdekaan Filipina—mengemukakan gagasan Melayu Raya. Ia mencetuskan Revolusi Filipina dalam novel Noli Me Tangere dan mengidamkan masyarakat Melayu di Asia Tenggara bersatu mengusir penjajah Spanyol, Inggris, dan Belanda.

Seruan Rizal menerpa dinding tebal kolonialisme; tidak didengar orang Melayu di Semenanjung Malaysia atau di wilayah lain di Asia Tenggara, sampai dia menemui ajalnya di depan regu tembak Spanyol. Ketidakpedulian masyarakat Melayu terhadap seruan Rizal kerap menjadi subjek bahasan menarik.

Salah satunya, Rizal bukan Melayu. Ia lahir dari keluarga Tionghoa-Mestizo. Nama keluarganya adalah Lam-co, yang diubah menjadi Mercado (pasar)—untuk mengidentifikasi leluhur mereka yang pedagang. Rizal penganut Katolik meski aktif menyerang para rahib Ordo Dominikan di Filipina yang menguasai Hacienda.

Di sisi lain, Melayu—di semenanjung atau kawasan lain di Asia Tenggara, termasuk di Filipina—mengidentifikasi diri dengan Islam. Rizal dianggap tidak bisa mengidentifikasi diri dengan Melayu karena bukan Islam. Penghargaan orang Melayu terhadap Rizal relatif baru muncul belakangan dengan pemberian sejumlah gelar; Kebanggaan Ras Melayu, Tokoh Besar Malaya, dan masih banyak lagi.

Gagasan Rizal tentang Melayu Raya tetap hidup sampai dekade ketiga abad ke-20. Wenceslao Q Vinsons, seorang mahasiswa Filipina, mendengungkan kembali Melayu Raya pada 1932. Pada saat yang sama, di Hindia-Belanda, Mohamad Yamin juga mengemukakan obsesi Melayu Raya atau Indonesia Raya.


Dunia Melayu
Yang dimaksud Dunia Melayu bukanlah wilayah di kedua sisi Selat Malaka, Sarawak, Brunei, dan Sabah. Dunia Me la yu, secara etnografis dan historiografis, men cakup Indonesia minus NTT, Maluku, dan Pa pua, Malaysia keseluruhan, Pattani di Thailand bagian selatan, Filipina, ba gi an selatan Vietnam, dan Kamboja—atau bekas Kerajaan Champa, dan Sri Lanka. Secara etnografis, Melayu terbagi menjadi dua: proto (tua) dan deutro (muda). Di Indonesia, proto Melayu mencakup suku-suku Dayak, Minahasa, Toraja, Nias, dan Batak. Di Malaysia terdapat Orang Asli atau Semai.

Di Filipina, kristenisasi oleh Spanyol membuat orang Melayu di Luzon—salah satu pulau terbesar di Filipina—mele paskan diri dari identifikasi masyarakat besarnya. Di Mindanao, penolakan terhadap kris tenisasi melahirkan masyarakat—yang oleh Spanyol disebut Moro dengan beragam subetnisnya, salah satunya Tausug, serta sejumlah penduduk asli Mindanao non-Muslim yang disebut Lumad.

Irwan Setiawan, dalam Dunia Melayu dalam Dialektika Kebudayaan Nusantara, membagi Melayu yang terikat kepada adat dan Islam ke dalam dua kelompok besar: Melayu sinkretis dan sintetis. Orang Jawa, Madura, dan Sunda adalah Melayu sinkretis. Mereka merasa seolah bukan bagian Melayu, kendati secara etnografik dekat dengan Melayu.

Di luar Jawa dan Madura, terdapat Melayu sintetis. Mereka tidak hanya terdapat di Sumatra dan Kalimantan, tetapi juga sampai ke Semenanjung Malaya atau Malaysia. Meski polarisasi ini tidak selamanya benar, fakta memperlihatkan itulah yang memisahkan dunia Melayu saat ini.

Malaysia seolah representasi Melayu sintetis. Indonesia, akibat dominasi Jawa di dalam pemerintahan, memperlihatkan sosoknya sebagai Melayu sinkretis. Malay sia menggunakan nilai-nilai Islam dalam pembangunan sistem politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Indonesia mengikuti kehendak budaya sinkretisme, pluralistis, inklusif, dan liberal.

Sebagai Melayu sinkretis, Jawa relatif sendirian, sedangkan Melayu sintetis tersebar mulai ujung Pulau Sumatra, Semenanjung Malaysia, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian Pulau Mindanao di Filipina, serta dari Cochin China—domain Kerajaan Champa—sampai Pattani, wilayah buffer bagi Siam.

Melayu Raya
Perbedaan budaya melahirkan orientasi politik yang berbeda pula. Lebih dari 40 tahun setelah Mabini dan Rizal mendengungkan Federasi Melayu, Abdul Ha di Hassan—seorang guru sejarah dari Sultan Idris Training College for Malay Teachers—mengemukakan gagasan serupa. Seperti Rizal dan Mabini, Hassan menggunakan pendekatan etnografi dan historiografi, serta peran kolonial memecah belah dunia Melayu.

Menurut Hassan, Hindia-Belanda yang dimaksud adalah Pulau Jawa dan sebagian Suamtra—Borneo, Malaya jajahan Inggris, plus Singapura di dalamnya, serta Kalimantan Utara adalah tanahtanah yang dipersatukan oleh kerajaan besar, Sriwijaya dan Majapahit. Belanda dan Inggris memisahkan wilayah ini, menurut kepentingan masing-masing, melalui Traktat London 1824.

Dalam traktat disebutkan, Belanda me nye rahkan semua yang dimilikinya di wi layah India, benteng di Malaka, tidak mem buka kantor di Semenanjung Melayu, me narik diri dari Singapura. Inggris meminta akses perdagangan ke Kepulauan Ma luku, terutama Ambon, Banda, dan Ternate.

Inggris juga menyerahkan pariknya di Bengkulu dan seluruh kepemilikan atas Pulau Sumatra kepada Belanda, serta tidak mendirikan perwakilan atau membuat perjanjian dengan penguasa lokal.

Inggris juga tidak mendirikan kantorkantor perwakilan di Karimun, Batam, Bintan, Lingin, dan pulau-pulau yang di sebelah selatan Singapura atau membuat perjanjian dengan penguasa lokal. Intinya, Traktat London membagi Tanah Melayu menjadi dua dengan batas ala mi nya Selat Malaka. Sedangkan, di Ka limantan, Inggris relatif mempertahankan penguasaannya di Serawak, Sabah yang disewa dari Kesultanan Sulu.

Inggris relatif tidak tertarik menjarah tanah-tanah kesultanan Melayu di sepanjang pantai utara Kalimantan, yang membuat Kesultanan Sambas, Mempawah, dan Pontianak, relatif menikmati kemerdekaannya pada awal abad ke-19. Namun, setelah orang Hakka masuk ke Sam bas, Mempawah, dan Pontianak untuk menambang emas, Belanda menginvasi ketiganya dan mendirikan pos-pos dagang.

Pada saat bersamaan, di Pulau Jawa, Syarikat Islam menebar benih nasionalisme di kalangan anggotanya. Sebagai akibat politik etis Belanda, kalangan terdidik juga mulai menyuarakan nasionalisme. Bentuk yang paling nyata adalah Sumpah Pemuda 1928.

Di Semenanjung Malaya, Melayu Raya yang disuarakan Abdul Hadi Hassan relatif diterima hanya sebagai gagasan, tidak menjadi semangat yang menggerakkan masyarakatnya untuk membentuk gerakan politik terorganisasi sampai sebelum Perang Dunia II.

Tidak sulit memahami semua ini. Konsep Ketuanan Melayu atau hegemoni Melayu sama sekali tidak relevan karena saat itu etnis Melayu bukan mayoritas. Cina dan India, yang berjumlah lebih dari setengah penduduk Semenanjung Malaya, mengidentifikasi diri sebagai non-Melayu.

Namun, fakta lain menunjukkan, gagasan kebangsaan Melayu telah ada di Malaysia sejak 1900, yaitu ketika sekelompok sarjana Islam asal Malaysia mempublikasikan artikel-artikel yang menyuarakan nasionalisme. Sedangkan, gerakan terorganisasi kebangsaan Melayu sebenarnya telah ada sejak 1938 atau ketika Ibrahim Yaacob mendirikan Kesatuan Melayu Muda tahun 1938.

Ketika Jepang menginvasi Asia, pewaris gagasan Melayu Raya—di Indonesia atau di Malaysia—menyambut Saudara Tua, demikian Jepang menyebut dirinya, sebagai kekuatan yang akan mempersatukan tanah-tanah Melayu. Pemimpinpemimpin Melayu, mulai dari Buya Hamka, Soekarno, sampai yang berada di Semenanjung Malaya, mendukung Jepang.

Asumsi para pemimpin tidak keliru. Jepang mendepak Belanda dari Jawa dan wilayah-wilayah jajahannya di Indonesia, mengusir Inggris dari Semenanjung Melayu, dan mempersatukan semua wilayah. Jepang menjadikan pembentukan Melayu Raya menjadi sangat mungkin.

Sepanjang pendudukan Jepang, Ibrahim Yaacob dan Dr Burhanuddin Al-Hemy aktif menjalin kerja sama dengan Jepang. Soekarno dan Hatta juga melakukan hal serupa. Dalam perjalanan pulang dari Dalat, Vietnam—usai bertemu Marsekal Terauchi—Soekarno dan Hatta singgah di Bandara Taiping. Kedua nya bertemu Ibrahim Yaakob dan terlibat pembicaraan soal penyatuan Semenanjung Melayu dengan Indonesia yang akan diberi kemerdekaan oleh Jepang.

Keduanya bersalaman dan seolah telah tercapai kesepakatan. Padahal, keduanya menyimpan perbedaan. Yaacob tetap pada gagasan Melayu Raya karena menganggap semua suku di Nusantara—kecuali Papua, NTT, dan Ambon—rumpun Melayu. Soekarno lebih menyukai Indonesia Raya karena Melayu di Indonesia adalah salah satu etnis kecil, sama dengan Bugis, Batak, atau lainnya.

Sebagai konsep geopolitik, Indonesia Raya dan Melayu Raya relatif berbeda. In do nesia Raya versi Soekarno lebih merupakan Hindia-Belanda versi Van Heutz, plus Ambon dan Papua. Melayu Raya adalah wilayah jajahan Inggris di Asia Tenggara, Hindia-Belanda, dan Pattani.

Akhir Melayu Raya
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, pemimpin Indonesia menggunakan situasi vaccum power untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Di Malaysia, Ibrahim Yaacob tidak sempat melakukannya. Ia bahkan harus lari ke Jakarta ketika Inggris kembali ke Malaysia untuk berkuasa kembali. Yaacob menjadi buronan karena kerja samanya dengan Jepang.

Cita-citanya mati. Yaacob sepenuhnya bekerja untuk kemerdekaan Indonesia sampai akhir hayatnya. Ia melewati masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di Malaysia, Melayu terlibat masalah nya sendiri. Mereka harus menghadapi Partai Komunis Cina yang keluar hutan untuk mengambil alih kekuasaan setelah kekalahan Jepang.

Alih-alih berniat memerdekakan diri dari Inggris, Melayu justru dimanfaatkan sang penjajah untuk menghadapi Partai Komunis Malaysia. Padahal, Inggris meng gunakan Partai Komunis Malaysia sebagai kelompok perlawanan untuk meng ganggu Jepang di Semenanjung Malaya dan Singapura.

Sebagai gagasan, Melayu Raya tam paknya belum mati. Ini terlihat ketika Malaysia, Filipina, dan Indonesia mendi ri kan Mafilindo tahun 1963. Pemimpin ketiga negara meneken Deklarasi Manila dengan tekad menyatukan Filipina, Indonesia, dan Malaysia ke dalam satu negara Melayu.

Diosdado Macapagal, presiden Filipina saat itu, mengajak pemimpin ketiga negara mengenang para pemimpin yang memperjuangkan gagasan Melayu Raya, mulai dari Jose Rizal, Manuel Quezon, Wenceslao Vinzons, sampai Elpidio Quirino.

Seperti Ibrahim Yaacob, Macapagal juga harus mengakhiri mimpinya melihat Melayu Raya. Mafilindo gagal total setelah Soekarno menyebut Malaysia negeri bentukan imperialis Inggris. Tahun-tahun setelah Soekarno mengobarkan Dwikora, justru diwarnai slogan Ganyang Malaysia. Melayu Raya sebagai gagasan geo poli tik Melayu kembali sirna.

Namun, apakah gagasan Melayu Raya benar-benar musnah? Bergantung dari mana kita melihatnya. Melayu Raya sebagai gagasan penyatuan budaya bisa saja, tapi tidak sebagai penyatuan politik.

Namun, segalanya menjadi lebih sulit lagi karena Melayu di Semenanjung—berkat kegigihan mengatasi dominasi ekonomi Cina—relatif lebih maju dibanding saudara mereka di seberang (maksudnya Indonesia). Tidak ada lagi kesamaan sebangsa saudara serumpun yang terjajah. Yang ada adalah saudara serumpun yang dipisahkan oleh ketimpangan ekonomi.

Sumber: Republika, Rabu, 02 November 2011

No comments: