-- Ari Kristianawati
GELAR pahlawan nasional—sesuai Pasal 25 Undang-Undang No.29 Tahun 2009 tentang Pemberian Gelar Pahlawan dan Tanda Jasa—diberikan kepada seseorang yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya memiliki peran dan jasa terhadap bangsa dan negara, di antaranya pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Mereka yang “dibaptis” menjadi pahlawan nasional harus memiliki semangat tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan dan setia melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya. Mereka harus pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara; pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Serta yang penting memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi dan/atau melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.
Kriteria, prosedur, dan proses verifikasi seseorang yang akan dianugerahi gelar pahlawan nasional pernah mendapat kritik dari masyarakat. Bahkan, beberapa komponen masyarakat sipil pernah melakukan judicial review terhadap Pasal 1 Angka 4, Pasal 25 dan Pasal 26 UU No.29 Tahun 2009 terkait dengan syarat umum dan khusus seseorang untuk diangkat sebagai pahlawan nasional. Beberapa pasal tersebut dianggap tidak memiliki ketegasan tentang apa yang dinamakan "dosa sosial" kandidat pahlawan nasional. Dosa sosial adalah serangkaian perbuatan masa lalu seseorang yang merugikan hak asasi dan kepentingan masyarakat melalui skema kebijakan kekuasaan yang tidak adil, opresif, dan korporatif. Di dalamnya ada perilaku penyimpangan kekuasaan, pelanggaran HAM, kemiskinan integritas.
Kriteria pahlawan nasional dalam diskursus politik bahasa sangat bersifat subjektif-politis. Membatasi figur kepahlawanan dalam tafsir interpretasi hegemonis kekuasaan. Kekuasaan yang berwatak teknokratis-militeristik-feodalistik secara otomatis akan memilih sosok calon pahlawan yang sesuai sudut pandang kekuasaan. Mereka yang berprofesi atau memiliki profil di luar kriteria hegemonis tersebut secara alamiah tidak akan terpilih dan tidak akan mendapat gelar pahlawan nasional, meskipun memiliki peran dan jasa yang signifikan bagi dinamika sosial kebangsaan. Tidak mengherankan dari 147 pahlawan nasional memiliki rekam jejak sebagai pejabat sipil-militer, tokoh organisasi formal kemasyarakatan, birokrat. Dari 147 pahlawan nasional hanya 34 beridentitas kelamin perempuan.
Di Indonesia tidak ada satu pun tokoh seniman yang dinobatkan menjadi pahlawan nasional. Seniman sendiri jika dikorelasikan dengan kriteria kepahlawanan nasional seharusnya bisa “dibaptis” menjadi pahlawan karena banyak seniman yang semasa hidupnya melahirkan karya besar yang bermanfaat bagi peningkatan harkat dan martabat bangsa. Taruhlah sosok Gesang. Gesang sang maestro keroncong merupakan seniman yang karyanya dikenal dan diapresiasi bangsa-bangsa di dunia. Melalui lagu Bengawan Solo, Gesang membawa harkat dan martabat bangsa dihormati oleh bangsa lain di dunia.
Syair dan ritmis lagu Bengawan Solo sejak tahun ‘40-an telah direproduksi dalam 14 bahasa dan menjadi soundtrack berbagai judul film karya para sineas lintas bangsa. Tahun 2000 lagu Bengawan Solo muncul dalam film In the Mood for Love/Fa Yeung Nin Wa besutan Wong Kar Wai (2000). Bahkan, sebuah film drama keluarga tahun 1947 karya sineas dari Inggris mengambil lagu Bengawan Solo yang diterjemahkan musical background.
Minimnya tokoh seniman dalam daftar pahlawan nasional dan juga dari daftar usulan kandidat pahlawan nasional yang tercatat di Kementerian Sosial merupakan bentuk kegalatan intelektual bangsa. Bangsa ini tidak mampu menghasilkan koridor pemikiran yang cerdas, kritis, jernih, dan objektif tentang definisi dan peran fundamental kepahlawanan nasional. Kepahlawanan nasional menurut Antonio Gramsci dalam buku berjudul We and the Republican Concentration (L'Unità, 13 Oktober 1926) merupakan manusia baik secara individu atau kolektif yang berperan dalam membangun konstruksi keadilan dan kesetaraan dalam kontinum kekuasaan yang popular. Manusia tersebut tidak dibedakan atas dasar kategori struktural, tapi berdasarkan komitmen dalam tugas kemanusiaan. Jadi dalam postulat Gramsci, seniman termasuk sebagai sosok pahlawan nasional melalui kerja-kerja kebudayaan yang dilakukannya.
Seniman memiliki etos kelayakan disebut sebagai pahlawan nasional karena peran fungsionalnya dalam mendidik masyarakat melalui karya-karyanya. Milan Kundera, seorang sastrawan pembebasan, dalam esai sosialnya berjudul The Czech Deal (1967) mengatakan seniman adalah pahlawan yang menggerakkan semangat kolektif kebangsaan. Seniman layak disejajarkan dengan para pahlawan karena seniman andil dalam memengaruhi kesadaran sosial bagi masyarakat, seniman memiliki integritas dan independen dari syahwat politik kekuasaan.
Seniman sendiri andil dalam membesarkan tajuk kebesaran "citra" kebangsaan. Seniman membangun dimensi kesadaran rohaniah masyarakat akan dimensi nilai yang humanis dan egaliter. Indonesia memiliki banyak seniman yang berjasa dalam membangun tajuk kebesaran citra bangsa. Sosok pelukis legendaris Raden Saleh, misalnya, memiliki jasa yang besar mengenalkan narasi politik, ekologis, serta kemuliaan nilai keindonesiaan di mata dunia. Melalui lukisan-lukisan romantiknya, Raden Saleh mendapatkan penghargaan dari berbagai negara, di antaranya bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ksatria Orde Mahkota Prusia (R.K.P.), Ridder van de Witte Valk (R.W.V.), dll. Karya Raden Saleh tersimpan diberbagai museum berpengaruh di dunia seperti Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda, dan dipamerkan di museum bergengsi Louvre, Paris, Prancis.
Sayangnya sosok semacam Raden Saleh, Gesang, dan lainnya di negerinya sendiri hanya sekadar dikenang sebagai seniman. Bukan dikenang sebagai pahlawan yang menjaga kehormatan bangsa dan negara. Padahal, karya-karya seni (budaya) yang dilahirkan oleh Raden Saleh, Gesang, dan seniman besar Indonesia lainnya merupakan wujud pengabdian ikhlas terhadap bangsa. Seniman menjadi katarsis dari citra negatif bangsa akibat warisan propaganda kolonialisme dan postkolonialisme.
Seniman memang dianaktirikan dalam tafsir identitas sosiologis kepahlawanan nasional meskipun jasa para seniman jika diukur dalam logika akal sehat intelektualitas memiliki kelayakan jika dianugerahi sebagai gelar pahlawan nasional. Karya-karya seniman menjadi peneman pergerakan revolusi kemerdekaan hingga era pembaruan saat ini.
Seniman memiliki tapak-tapak kerja sosial yang turut menjaga harmoni dan soliditas sosial masyarakat. Sayangnya, bangsa dan pemerintah mengabaikan eksistensi mereka. Hal tersebut akhirnya yang boleh jadi membenarkan tesis Gabriel Marquez: "Bahwa bangsa yang tidak menghargai sastrawan dan seniman serta mengabaikan tanda-tanda peringatan kebajikan melalui karya seni dan sastra merupakan bangsa gagal memaknai jiwa kemanusiaan dan kemerdekaan."
Ari Kristianawati, Koordinator Kajian Seni Deliberatif Sragen
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 November 2011
No comments:
Post a Comment