Monday, November 14, 2011

[Teraju] Mengenang Kontribusi Cersil dalam Pembangunan Identitas Nasional

-- Teguh Setiawan

Cersil memberikan kontribusi bagi perkembangan salah satu identitas nasional, yaitu bahasa Indonesia.

BAKRIE MZ, pegawai pada salah satu instansi pemerintah di Jakarta Barat, masih menyimpan kenangan masa-masa akhir booming cerita silat (cersil) pada 1980-an. Ia bukan sekadar pembaca setia karya-karya Kho Ping Ho, Jin Yong, dan cersil terjemahan, melainkan juga pelaku bisnis penyewaan. "Orang tua saya mengubah bagian depan rumah menjadi taman bacaan yang diberi nama Surya Kencana," kenang Bakrie, kini berusia 47 tahun.

Setiap hari, menurut Bakrie, rumahnya tak pernah sepi pengunjung. Pelanggannya tidak hanya dari lingkungan sekitar rumah, tapi juga dari jauh. Penyewa berkantong tebal enggan membaca di tempat, tapi membawa bacaan sewaannya ke rumah.

Bakrie menikmati booming terakhir itu. Yang pasti, dia tidak sendiri. Rakiman, warga Grogol, Jakarta Barat, juga punya kenangan sama. Namun, keduanya tidak tahu berapa lama booming terakhir cersil terjadi. "Setahu saya sangat singkat. Sebab, tidak ada bisnis penyewaan saat itu yang bertahan lama," ujar Rakiman. "Bisnis penyewaan yang sempat bertahan lama terdapat di pinggiran Jakarta."

Kini, telah lebih dua dekade cersil, hampir mustahil menemukan remaja dan orang dewasa menghabiskan waktu membaca buku-buku cerita silat. Beberapa penerbit masih mencoba melestarikannya dengan terus mengeluakan ediri baru, tapi eksemplar yang terjual sangat kecil.

Di toko buku, cersil disandingkan dengan teen lit, chick lit-atau novel-novel populer dengan tokoh gadis remaja-dan manga (kartun Jepang). Cersil tidak pernah disandingkan dengan novel-novel sastra dan relatif dianggap sebagai bacaan rendahan.

Cersil boleh saja lenyap dari khazanah bacaan publik. Namun, sebagai genre sastra populer yang pernah 'meracuni' masyarakatnya, cersil tidak akan pernah lenyap. Cersil masih akan terpelihara karena masih memiliki pembaca dengan jumlah ribuan.

Pembaca setia itu pada 2004 membentuk Masyarakat Tjerita Silat (MTjersil). Mereka berupaya memopulerkan kembali cersil dengan berbagai cara, salah satunya menerbitkan majalah Rimba Hijau serta mendigitalkan beberapa karya.

Terakhir, Mtjersil-bekerja sama dengan Pusat Kajian Budaya Tionghoa, Universitas Tarumanegara-menggelar seminar bertajuk "Cerita Silat di Indonesia: Pembentukan Karakter Bangsa". Seminar menghadirkan dua pembicara utama; budayawan Dali Santun Naga dan KH Salahuddin Wahid, pemakalah Leo Suryadinata (direktur Chinese Heritage Center, Singapura), Prof Claudine Salmon (peneliti Ecole Francaise d'Extreme Orient, Prancis), Edward Buckingham-kandidat dokter dan peneliti cersil-serta Dede Oetomo, sosiolog Universitas Airlangga, Surabaya.

Peserta seminar datang dari berbagai kota di Pulau Jawa. Mereka rata-rata berusia jelang 50 tahun dan setengah abad lebih serta dari berbagai latar etnis. Merekalah pasar, semoga bukan yang terakhir, cersil. Beberapa dari mereka adalah pengoleksi, lainnya mengaku masih sering membaca kembali cersil yang pernah populer pada masanya.

Pengaruh cersil
Seminar berupaya mencari kaitan cersil dengan pembentukan karakter bangsa. Sutrisno Murtiyoso, mantan ketua MTjersil, mengatakan belum ada penelitian sejauh mana cersil membentuk karakter pembacanya. Namun, kata pria gondrong yang biasa dipanggil Sumur ini, banyak anggota MTjersil yang mengaku terpengaruh buku-buku cerita silat yang dibaca saat remaja.

"Banyak pencinta cersil mengatakan belajar tentang kesetiaan, kesetiakawanan sosial, dorongan untuk selalu membela yang lemah, dari cerita silat," ujar Sumur. "Nilai-nilai itu kan yang tidak kita temui saat ini."

Berbeda dengan Sumur, Dali Santun Naga mengatakan cersil mengandung nilai-nilai positif dan negatif. Di satu sisi, cersil-terjemahan atau bukan-mengajarkan kekerasan, dendam, intrik, dan pengingkaran terhadap hukum. Di sisi lain, cersil mengajarkan pentingnya loyalitas, ketekunan belajar, penentangan terhadap kesewenangan, dan pembelaan kepada kaum lemah.

Cara memahami ambivalensi ini sederhana saja. Seting cersil adalah masyarakat Cina zaman baheula ketika tatanan hukum belum mapan. Mengutip Herbert Allen Gilles, Dali mengatakan, dalam dunia persilatan di daratan Cina masa lampau, pesilat boleh melakukan apa saja asal tidak melanggar tradisi. Hukum yang dikenal saat itu adalah yang kuat menang, yang lemah kalah.

Cersil bisa menjadi kontraproduktif ketika pembaca lebih banyak menangkap nilai-nilai negatif dan hanya sedikit menyerap pesan moral dan kedalaman filsafat yang terkandung. Namun, bisa menjadi sangat produktif jika yang terjadi sebaliknya.

Jadi, menurut Leo Suryadinata, perlu sikap kritis ketika membaca cersil. Ia juga menekankan cersil adalah dongeng untuk orang dewasa, bukan anak-anak. Lebih penting lagi, cersil harus dijadikan karya sastra dan dengan satu tujuan: menghibur."Tidak seluruh tokoh dalam cersil berwatak sempurna dan boleh ditiru," kata Leo. "Jika kebetulan pembaca terpengaruh sosok pendekar berbudi luhur, tentu tidak masalah.

Sedangkan, Salahuddin Wahid menilai, cersil bisa saja memengaruhi sikap pembacanya, tapi mungkin belum sampai ke pembentukan karakter bangsa. Alasannya, pembentukan karakter bangsa tidak bisa berlangsung dalam waktu singkat dan lewat satu media, tapi sedemikian lama, berkelanjutan, dan membutuhkan banyak media.

Indentitas nasionalisme
Edward Buckingham relatif tidak menyentuh tema seminar. Ia lebih suka mengkaji cersil sebagai pembentuk identitas nasional dengan mengkaji Kho Ping Ho dan SH Mintardja-penulis cerita silat Tionghoa dan lokal. Buckingham mengatakan, cersil muncul pada awal-awal Indonesia mendefinisikan identitas nasionalnya. Minoritas Tionghoa Indonesia memainkan peranan penting dalam perkembangan bahasa nasional lewat penerbitan pers.

Pers masyarakat keturunan Tionghoa, Sin Po, Keng Po, Sin Tit Po, dan Pewarta Soerabaja, menjadi cikal bakal pers Indonesia modern saat ini, sebelum cersil menjadi genre dalam sastra Melayu. Ong Kim Tiat, Oey Kim Tiang-keduanya dari Tangerang-Kuo Lay Yen, yang pernah belajar di Tiongkok, dan Gan Kok Ling (Gan KL) memainkan peran penting dalam menyalurkan gagasan-gagasan (memes) asing lewat karya-karya terjemahannya. Begitu pula Kho Ping Ho, yang hampir sebagian besar cersilnya berseting Tiongkok.

Melalui cersil, siapa pun bisa melihat perubahan identitas minoritas Tionghoa-Indonesia dari generasi ke generasi. Bahkan, terminologi Tionghoa-Indonesia yang digunakan untuk menyebut diri mereka sendiri mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, generasi Tionghoa-Indonesia saat ini banyak yang tidak menggunakan terminologi orang Indonesia untuk menyebut dirinya.

Di sisi lain, menurut Leo Suryadinata, cersil memainkan peran penting dalam pengenalan budaya Tionghoa tradisional kepada masyarakat Tionghoa-Indonesia dan pribumi. Bahkan, cersil membuka mata Tionghoa-Indonesia-serta pembaca dari kalangan pribumi dengan berbagai latar etnis-akan sejarah negeri Tiongkok, meski sering pengetahuan sejarah yang disampaikan tidak selalu benar.

Lebih penting lagi, cersil memperkenalkan kepada pembacanya; Tionghoa atau bukan, akan nilai-nilai luhur dan filsafat Cina. Cersil menjadi media penting bagai pribumi dan Tionghoa untuk saling mengenal dan memahami.

Tidak hanya itu, cersil Tionghoa memengaruhi penulis-penulis pribumi untuk kreatif menulis cerita silat dengan latar masyarakat pribumi; SH Mintarja, Bastian Tito, Arswendo Atmowiloto, dan Herman Pratikto. Cersil telah memberi warna perjalanan sejarah budaya bangsa Indonesia. Jangan mungkiri fakta ini.


Salahuddin Wahid: Cersil Tidak Mengajarkan Tawuran

Salahuddin Wahid masih mengenal Thio Boe Kie, pendekar dalam cerita silat (cersil) dalam Kisah Membunuh Naga. Ia juga masih belum lupa dengan beberapa alur cersil yang pernah dibacanya dan merasa sebagian karakter dirinya dibentuk oleh bacaan yang populer pada 1960-an itu."Jika saat ini saya selalu berani mengatakan yang benar, meski orang lain mengecam, mungkin itu pengaruh cersil," ujar lelaki yang dipanggil Gus Lah ini.

Bersama Abdurahman Wahid, kakaknya yang dikenal dengan nama Gus Dur, dan adiknya, Umar Wahid, Gus Lah adalah bagian masyarakat tahun 60-an yang kecanduan cersil. Ia kerap berebut dengan dua saudaranya setiap kali cersil terbitan baru tiba.

"Suatu kali, Umar yang lebih dulu mendapatkannya," kenang Gus Lah. "Ia mencari tempat yang aman untuk membaca, yaitu di atas jembatan. Begitu asyiknya membaca, Umar terjatuh dan tangannya patah."Cersil mengajarkan banyak hal: patriotisme, kesetiaan kepada orang tua dan guru, hormat pada senior. Lebih penting lagi, cersil mengajarkan tanggung jawab, sikap kesatria, dan hidup bersahaja.

Gus Lah yakin karakter generasi muda masa lalu dibentuk oleh cersil. Sebagai contoh, generasi muda masa lalu tidak mengenal tawuran. Perkelahian dilakukan satu lawan satu dan berhenti ketika salah satu tak berdaya, atau ada orang lain yang melerai.

"Bandingkan dengan generasi muda saat ini. Hampir tidak ada lagi perkelahian satu lawan satu di kalangan anak-anak sekolah," ujarnya. "Anak sekolah akan lebih suka menghimpun kawan dan mengeroyok lawan." Seorang peserta seminar mengatakan tawuran adalah budaya militer.
Kebiasaan itu ditularkan anak-anak yang dibesarkan di lingkungan, atau asrama militer, ke luar dan ditiru begitu saja oleh generasi muda seusianya. Budaya tawuran itu terpelihara sampai saat ini.

Gus Lah juga mengatakan cersil secara tidak langsung mengjarkan falsafah hidup kepada pembacanya. Kho Ping Ho, misalnya, sering menyelipkan nasihat-nasihat filosofis, yang masuk ke alam bawah sadar pembacanya. "Namun, ada satu hal yang tidak bisa saya terima dari cersil, yaitu semangat balas dendam," ujarnya.

Memang tidak semua cersil bertema balas dendam. Ada sejumlah cersil yang bertutur tentang pengembaraan pendekar, atau kisah kepahlawanan membela kaum lemah dari kezaliman penguasa.

Gus Lah juga mengatakan yang menarik dari cersil adalah selalu ada kritik sosial di dalamnya dan kesetiaan tanpa batas seorang murid terhadap gurunya."Pada 1960-an, pesantren itu tidak ubahnya perguruan silat. Santri atau murid sangat menghormati guru. Sekarang tidak lagi," ujarnya. Menurut Gus Lah, cersil menanamkan nilai-nilai luhur dan membentuk karakter masyarakat Indonesia pada 1960-an. Dan, nilai-nilai itu kini telah lenyap dari generasi muda Indonesia saat ini.


Sumber: Republika, Senin, 14 November 2011

No comments: