-- Iwan Gardono Sujatmiko*
SETIAP tanggal 30 September kita diingatkan peristiwa yang mengubah sejarah Indonesia.
Peristiwa itu akan lebih jelas jika ada data baru dan penerapan konsep ”Perubahan Sosial” dan perspektif ”Realisme Kritis”.
Revolusi
Buku John Rossa (The Pretext of Mass Murder, 2006) memfokuskan peristiwa penculikan para jenderal yang menjadi dalih pembantaian massal PKI. Analisis lebih mendalam dari buku Rossa menunjukkan dua hal.
Pertama, pembahasan tentang Biro Khusus PKI yang didasarkan wawancara dengan mantan anggota PKI menunjukkan data baru. Para narasumber menceritakan, organisasi itu telah ada sejak 1950-an dengan nama Bagian Militer dipimpin Karto sebelum diganti Syam tahun 1964.
Kedua, peran Aidit yang besar dan terinspirasi kasus kudeta di Aljazair. Aidit menganggap kudeta progresif dari atas yang dilakukan pihak nonkomunis dapat diubah menjadi revolusi sosial dari bawah. Pada malam 30 September di Halim, Aidit dibantu Iskandar Subekti (Panitera Politbiro PKI) menyusun ”Dewan Revolusi” yang namanya terinspirasi kasus Aljazair.
Dari pembahasan itu ada dua kasus penting: peran Biro Khusus (Syam) yang sukses mengamankan ”Dewan Jenderal” (”Revolusi dari Dalam”), tetapi terhenti saat Soekarno memerintahkan Suparjo agar menghentikan pertumpahan darah. Selain itu, peran Aidit yang mendeklarasikan ”Dewan Revolusi” (”Revolusi dari Atas”) tanpa mencantumkan nama Presiden Soekarno. Aidit melakukan terobosan dengan menyingkirkan Soekarno dan mendemisionerkan kabinet. ”Revolusi dari Atas” ini gagal, Soekarno menolak mendukungnya.
Direncanakan
Konsep yang berguna untuk menjelaskan gambar besar G30S adalah ”Perubahan Sosial” (Sztompka, 1992). Ia melihat revolusi sebagai puncak perubahan sosial, terkait gerakan sosial mendasar dan dapat dilakukan dari bawah atau atas, dan secara terbuka, atau rahasia.
Peristiwa 30 September dapat dikategorikan bagian ”perubahan sosial yang direncanakan dan berbasis ideologi” dengan strategi revolusi, tetapi gagal. Gerakan revolusioner PKI (”senam revolusi”, ”ofensif revolusioner”) dilakukan sejak awal 1960-an dari bawah, seperti ”Aksi Sepihak” (perebutan tanah) dan tuntutan persenjatai buruh-petani (Angkatan V).
Selain itu, secara terbuka dan dari atas, PKI ”membonceng” Soekarno (”Revolusi dari Atas”) dan adanya dukungan RRC (”Revolusi dari Luar”). Juga ada gerakan rahasia (”Revolusi dari Dalam”) dilakukan melalui Biro Khusus terhadap militer dan dilakukannya G30S.
Strategi revolusi oleh PKI yang merupakan aksi revolusioner-total ini menghasilkan polarisasi dan reaksi keras karena hanya ada dua pilihan, PKI atau non-PKI. Sejak tahun 1964 strategi ini menghasilkan konflik dan korban di beberapa daerah. Gagalnya G30S menyebabkan gagalnya strategi ”Revolusi dari Bawah” dan penghancuran oleh non-PKI. Namun, jika PKI hanya melakukan gerakan nonrevolusioner atau parlementer seperti persaingan politik menjelang Pemilu 1955, reaksi yang dihadapi relatif lebih lemah dan tidak menghancurkan PKI.
Anhar Gonggong (2007) menyatakan, sejak 1925, langkah revolusioner PKI selalu gagal mencapai tujuan. Aksi revolusioner dan kekerasan PKI ini tidak unik dan merupakan pola umum partai komunis di dunia (Black dan Thornton: Communism and Revolution: The Strategic Uses of Political Violence, 1964). Revolusi komunis yang gagal, antara lain, terjadi di Hongaria (1919), Polandia (1920), dan Finlandia (1939).
Realitas berlapis
Pemahaman peristiwa 30 September akan lebih jelas jika digunakan perspektif Realisme Kritis (Roy Bhaskar, 1978) yang melihat, realitas sosial berlapis-lapis berupa empiris, aktual, dan nyata. Tanpa perspektif ini, berbagai gejala akan campur aduk.
Berbagai laporan jurnalistik dan analisis parsial hanya menggambarkan G30S pada bagian ini. Namun, berbagai gejala yang terlihat sebenarnya hanya sebagian dari gejala yang lebih luas pada lapisan kedua. Jadi, G30S merupakan bagian dari peristiwa yang lebih besar, yakni upaya ”perubahan sosial yang direncanakan dan berbasis ideologi” oleh PKI dalam bentuk revolusi. Gejala ini terjadi sebelum G30S, misalnya senam revolusi PKI, dan setelahnya, yakni reaksi non-PKI dan penghancuran PKI.
Pada lapisan ketiga dan terbawah ada mekanisme yang menghasilkan peristiwa pada lapisan kedua dan pertama. Dalam lapisan ketiga ini ada ideologi (”DNA”) komunisme yang mensyaratkan strategi revolusi bagi partai-partai komunis. Demikian juga ada organisasi PKI yang berpotensi melaksanakan strategi revolusi. Mekanisme strategi revolusi, baik terbuka maupun rahasia, dipicu keputusan dan tindakan pimpinan PKI. Selain itu, juga ada mekanisme dari pihak non-PKI untuk melawan strategi revolusi ini sehingga menghasilkan berbagai konflik.
Beberapa analisis menjelaskan gejala ini sebagai akibat ”gagalnya politik dalam era transisi” (Kahane, 1973); ”ketidakmampuan Jakarta untuk sinkronisasi dengan pedesaan” (Sloan, 1971); ”pemisahan jangka panjang dalam agama, budaya, dan politik di pedesaan” (Lyon, 1970); ”kebutuhan negara dalam mencari identitas nasional” (Langenberg, 1990); dan ”transformasi masyarakat Indonesia dengan menghancurkan satu dari tiga aliran sosial dan ideologis” (Cribb, 2001). Tanpa memfokuskan pada ideologi dan strategi revolusi PKI, berbagai analisis itu belum dapat menjelaskan struktur dan mekanisme mendasar yang memunculkan berbagai peristiwa konfliktual antara PKI dan non-PKI menjelang, saat, dan sesudah 30 September.
Strategi revolusi PKI mengalami kegagalan, mayoritas anggota PKI dan keluarganya telah menjadi korban. Untuk mereka perlu dilaksanakan rekonsiliasi sosial dan reintegrasi sepenuhnya sebagai warga masyarakat, negara, dan bangsa.
* Iwan Gardono Sujatmiko, Sosiolog; Dosen FISIP-UI
Sumber: Kompas, Rabu, 30 September 2009
No comments:
Post a Comment