-- Asarpin*
Tema mudik sejak lama jadi perhatian kaum sastrawan. Menghadirkan geografi dalam puisi memang sulit mengelak dari keranjingan untuk menempatkan desa sebagai latar depan.
SEBUAH foto hitam putih tergeletak di dinding tua. Foto itu pernah ditampilkan di salah satu harian ibu kota. Dengan warna hitam-putih yang menonjol, foto itu menghadirkan dua sosok manusia yang tengah melintas tepat di tengah-tengah rel kereta sambil menenteng sebuah koper. Di kiri dan kanan rel yang tampak berwarna hitam pekat, terlihat kerumunan orang yang berdesakan menunggu kereta tiba.
Foto itu tentu tak dimaksudkan sebagai teror mental, tapi lebih sebagai foto realis yang menyuguhkan tempat atau rumah bagi seorang penyair. Mengapa dengan foto? Ketika puisi ternyata hanya melahirkan kata-kata verbal, ketika prosa hanya menyuguhkan narasi yang aus dan metafora porak-poranda, karya foto bisa menyumbang bagi tafsir kamera dalam permainan.
Bahkan, jika buku-buku analekta puisi tak juga membuat kita bertanya tentang apa dan untuk apa peristiwa yang terekam di dalamnya, apalagi tak memberikan kedalaman makna sehabis membacanya, maka gambar atau foto bisa berlaku sebaliknya: Karya foto--dengan realisme yang menuding-nuding realita sekalipun--bisa memainkan dengan lincah arti sebuah peristiwa, juga kesunyian dan kemenjadian.
Foto karya Yuniadhi Agung itu menampilkan empati dengan sebuah kesunyian; empati bukan muncul dari sebuah kenenesan, apalagi kecengengan, sebagaimana banyak kita temukan dalam puisi bertema kampung halaman. Sang fotografer memotret kebimbangan dua orang yang sedang menyeberang rel, tapi tak bermaksud menghadirkan masa silam sebagai ratapan.
Bahasa gambar, foto, bisa menjadi sebuah pilihan ketika di hari-hari ini kita menyaksikan banyak karya sastra yang kehilangan tenaga. Sebuah gambar bisa melampaui keindahan dan keterfanaan kita dalam menghayati tempat berpijak, atau rumah dan pulang, mudik, dan balik. Foto juga dapat mengajak kita untuk ikut merasakan apa yang orang-orang sedang mudik itu rasakan: merasakan usaha mereka yang penuh harap dan cemas dalam menempuh stasiun demi stasiun dalam mencari tanda-tanda kehidupan, di mana kita merasa menemukannya kembali sebelum kita melupakannya.
Dengan menyinggung tafsir kamera di latar depan tulisan ini, saya telah memasang semacam ancang-ancang untuk tak sekadar berselancar ke dalam tema mudik fisik. Dengan menghadirkan puisi yang saya pilih secara acak, tapi menghadirkan tematik yang sesuai dengan konteks pembicaraan yang saya pilih ini, kita bisa merenungkan kembali hakikat rumah dan tempat bagi setiap orang di hari ini.
Puisi yang cenderung menampilkan imaji pulang dan rumah sebagian besar sangat religius. Intensitas penghayatan pergi dan kembali atau mudik dan balik mengingatkan kita pada tema-tema hijrah dan Idulfitri. Tiap Idulfitri pula kita menyaksikan arus mudik dan arus balik yang sudah jadi tradisi akbar, dan tampak merupakan bagian dari rantau.
Tema mudik sejak lama jadi perhatian kaum seniman dan sastrawan. Penyair Pujangga Baru dan angkatan '45 sudah banyak melukiskan semangat mudik dan balik. Goenawan Mohammad kerap mencemooh penyair atau sastrawan yang merayakan alam lokal, Tanah Air, atau warna setempat, yang telah melahirkan esai-esai yang menggugah, seperti Puisi yang Berpijak di Bumi Sendiri (1960), Kesusastraan Indonesia dan Kebimbangan (1968), dan Masa Lampau Tak Mati-mati (1970).
Kita tahu, Sutan Takdir Alisjahbana pernah menulis puisi tentang semangat meninggalkan Tasik yang tenang. Sedangkan Asrul Sani menghadirkan sajak Surat Dari Ibu yang menampilkan konflik seorang anak yang merindukan kampung halaman setelah jauh ditinggalkan. Asrul mengekspresikan situasi kejiwaan seorang anak yang gersang, yang pergi ke alam bebas selama angin masih buritan, dan mentari pagi menyinari daun-daunan:
Pergi ke laut lepas, anakku sayang/pergi ke alam bebas!/selama hari belum petang/dan warna senja belum kemerah-merahan/menutupi pintu waktu-lampau//Jika bayang-bayang telah pudar/dan elang laut pulang ke sarang/tiang-tiang akan kering sendiri/dan nakhoda sudah tahu pedoman
bolehlah engkau datang padaku//Kembali pulang anakku sayang/kembali ke balik malam/jika kapalmu telah rapat ke tepi/aku akan bercerita tentang cinta dan hidupmu di pagi hari
Dalam buku analekta cerpen Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat (1972), Asrul Sani begitu kuat mengekspresikan tema rumah dan pulang. Cerpen Perumahan bagi Fajria Novari menyinggung soal kenangan pada tanah dan rumah yang telah ditinggalkan. Namun, seperti kata naratornya kepada Fajria, "Seorang adalah seorang kehilangan yang menyadari kehilangannya". Dengan kata lain, menerimanya dengan lapang dada sebagai bagian dari perjalanan hidup.
Demikian pula pada Sitor Situmorang yang begitu rindu kembali ke Danau Toba, Ajip Rosidi rindu pada bahasa Sunda, dan banyak lagi penyair generasi 1945--1965 yang merindukan tanah kelahiran. Penyair yang lebih muda, yang saat ini sangat produktif menulis puisi tentang pulang dan rumah di media lokal, di antaranya adalah Y. Wibowo--penyair kelahiran Lampung. Dalam buku puisinya Operasi Kebun Lada (2005), Y. Wibowo melakukan traveling ke desa-desa. Lebih dari 80 sajaknya di buku ini menggunakan judul tentang nama-nama desa di Lampung.
Begitulah perjalanan puisi modern Indonesia. Persoalan rumah dan pulang akan terus merundung sebagian penyair. Apa boleh buat, kota bukan dunia yang cocok bagi daya khayal dan fantasi kebanyakan penyair kita yang memang berasal dari desa. Puisi memang tak pernah lahir 100 persen di kota. Keliaran kata dan imaji tak mampu mengungkai kedalaman renungan dan pikiran, dan sering masih takut dianggap sebagai pendurhaka.
Sejarah puisi Indonesia modern tak pernah berhenti bersinggungan dengan masalah rumah sejarah atau rumah eksistensial bagi para penyair. Sebagaimana saya singgung di muka, puisi-puisi terbaru setelah tahun 1990-an tampak secara tematik masih kuat mengekspresikan kedesaan sebagai geografi merayakan kebalauan yang nonsens. Peta perjalanan--kalau memang layak disebut begitu--semacam itu sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa penyair kita punya indra penciuman yang tajam tentang masa lampau dan kampung halaman.
Menghadirkan geografi dalam puisi memang sulit mengelak dari keranjingan untuk menempatkan desa sebagai latar depan. Kofi Awnoor, novelis Ghana, pernah berseru: mari kembali ke cenayang desa agar penyair memperoleh inspirasi. Rendra menyerukan tak sekadar inspirasi lagi.
Afrizal secara lebih ekstrem ingin membalik kota ke latar belakang penciptaan seraya mencoba menempatkan kembali desa sebagai latar depan proses kreatif. Afrizal bahkan pernah menegaskan bahwa kebanyakan penyair Indonesia telah meletakkan "desa sebagai latar belakang" bagi kreativitasnya. Oleh sebab itu, apa yang dinamakan puisi Indonesia, kata Afrizal, adalah puisi urban; puisi yang lahir dari pembunuhan terhadap etno di desa lewat bahasa Indonesia.
* Asarpin, Pembaca sastra, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 September 2009
No comments:
Post a Comment