Judul Buku : Jaran Goyang
Penulis : Samsudin Adlawi
Penerbit : Pustaka Pujangga
Cetakan : I, 2009
Tebal : 103 halaman
PUISI, pada mulanya, adalah ikhtiar penyair menyampaikan ide (dan nubuat) lewat imaji-imaji yang ia representasikan dalam huruf-huruf di puisinya. Imaji itu ada berserakan di mana-mana lalu ditangkap oleh indra penyair. Tantangan utama sang penyair adalah mengolah imaji itu untuk dikonkretkan menjadi ide (dan nubuat) ke dalam puisi, terkadang lewat hal-hal yang simbolik.
Persoalan menghadirkan kekuatan ide yang implisit dalam kata-kata di puisi yang sesungguhnya eksplisit setidaknya menjadi salah satu parameter keberhasilan rekam jejak kepenyairan seseorang.
Samsudin Adlawi hadir lewat buku sajaknya, Jaran Goyang. Sebelum ini, jejak kepenyairan Adlawi (khalayak memanggilnya Sam atau Udi) sudah lumayan panjang. Sejumlah sajaknya hadir di beberapa antologi, seperti Interupsi (1994), Cadik (1998), Wirid Muharram (2001), dan Dzikir (2001). Dari jejak kepenyairan itu, buku ini tetaplah menjadi milestone bagi Adlawi dalam menghidupi dunia sastra tanah air.
Tak cukup mudah menelaah sajak-sajak penyair kelahiran Banyuwangi ini. Sajak-sajaknya berpretensi melampaui makna harfiah hal-hal fisikal -kendati dalam beberapa sajak hal tersebut kurang bisa digapai. Di tangan Adlawi, bahasa menjadi teramat problematis (di sampul buku Arif Bagus Prasetyo menyebutnya sebagai ''problematisasi bahasa''), rentan, namun sekaligus mencerahkan atau setidaknya menghadirkan kesegaran baru dalam jagat perpuisian kontemporer di tanah air; seperti bisa kita simak dalam sajak Ci Pinang Ta, Am dan I Mengapit Bis, Mata Mati Mati Mata, Na Belahan Jiwa Nak, Petualangan Se, Sus Mencari U, Sel Imut, Esa, atau Angin Angan Angan Angin.
Mayoritas sajak Adlawi di antologi ini ditatah dengan semangat religiusitas yang menggebu. Adlawi mencoba mendedah sebuah pencarian makhluk yang tak pernah usai terhadap ''Kesejatian'', karena hidup memang sesak dengan hal aksiden-superfisial: lapar-dahaga hanyalah permainan (sajak Menggapai Akhir).
Kendati hadir dengan semangat spiritualitas yang tinggi, sajak-sajak Adlawi bukanlah traktat yang final. Ia tidak secara diametral mempertentangkan antara sakral dan profan. Artinya, ''Kesejatian'' di sini menjadi sesuatu yang tak selesai digamit, selalu urung direngkuh, melulu sesak dengan berbagai kemungkinan. ''Kesejatian'' menjadi sesuatu yang remang: ia diafirmasi oleh Adlawi tapi anehnya kemudian dinegasi, begitu seterusnya.
Di sajak Mencari Arah, misalnya, aku-lirik seolah berada di gurun luas yang tak jelas mana pangkalnya. Aku-lirik terus berjalan menuju pangkal, menuju ''Kesejatian''. Ia temui banyak kesejatian (''k'' kecil) dalam setiap depa perjalanannya, siang dan malam. Tapi belum pernah dijumpainya ''Kesejatian'' ("K" besar): kerna tanpa bulan kau hanyalah kelam, duhai malamku...//kerna tanpa matahari kau hanyalah senja, duhai siangku.
Aku-lirik di sini tampil gahar, keras kepala, dan tak kenal surut melangkah. Ia terus laju melawan badai, sebab hidup memang sebentuk ikhtiar yang tak pernah sudah mendekap yang hakiki, yang kudus, yang sejati. Aku-lirik seolah menjadi majnun: di malam tanpa bulan di bulan tanpa malam/di siang tanpa matahari di matahari tanpa siang/aku terus berjalan mencari arah bertuhan.
Dalam pencarian yang sarat nafas religi semacam itu, agaknya Adlawi teramat larut menggemakan kesunyian. Hampir terasa klise, sebenarnya, jika pencarian ''Kesejatian'' melulu diasosiasikan dengan suasana yang hening, seperti dalam sajak Istana Bunyi, Rumah Sepi, dan Kesaksian Malam I.
Namun, tangan dingin Adlawi membuat sajaknya terasa lebih kukuh dan tegar, sehingga kesunyian makin asyik digumuli: jalan ini setapak berundak/menuju gunung sepi/tak eloklah kau menapak/jika karib kau bukan sunyi (sajak Istana Bunyi).
Dalam pencarian panjang menuju yang hakiki, bagi Adlawi, jika kelak sudah menemukan ''Jalan'', maka pertautan manusia dengan yang hakiki bukan bermakna fisikal, melainkan lebih merupakan pengalaman spiritual yang teramat individual: ...kali ini aku datang/ke surau hanya membawa jiwa/kerna badanku dipakai sajadah/musafir yang baru kembali menemukan arah menuju (sajak Sajadah).
Sajak-sajak Adlawi secara umum berfokus pada kegelisahan eksistensial, sehingga puisi dibawa pada situasi yang cenderung senyap. Tak heran, kebanyakan puisi Adlawi serupa dialog-dalam-diri: menggumam meski terkadang disampaikan dengan ungkapan yang lantang.
Namun, bukan berarti sajak-sajak Adlawi melulu berisi tema tersebut. Ada kalanya Adlawi, seperti kebanyakan manusia kini, merasa gelisah dengan zaman yang kian centang-perenang. Mata batin Adlawi sebagai penyair mencoba menanggapi dunia yang berderak dengan kebopengannya. Maka, penyair ingin dunia tak merupa conveyor yang melaju cepat tanpa henti mengagungkan progress sebagai mantra andalan manusia modern.
Kendati demikian, sajak-sajak Adlawi secara umum tetap segar dan kuat. Metafora yang tak klise membuat pembaca benar-benar dimanjakan untuk mencapai ekstase ketika membacanya -sekaligus membikin pembaca bekerja keras untuk meraba dan menelaah sajak-sajaknya. (*)
Mohammad Eri Irawan, Penikmat sastra, alumnus Unej
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 6 September 2009
No comments:
Post a Comment