Saturday, September 12, 2009

Industri Migas: Pertamina, Tari Pendet, dan Petronas

-- Kurtubi

DALAM kesempatan peluncuran buku ”Ibnu Sutowo, Saatnya Saya Bicara” yang dihadiri oleh Wapres, Dubes Malaysia, Menteri ESDM, direksi Pertamina, dan kalangan masyarakat perminyakan, penulis memaparkan mengenai pengembangan industri perminyakan di Indonesia yang dipelopori oleh pendiri Pertamina almarhum Ibnu Sutowo.

Terkait dengan isu klaim Malaysia terhadap tari pendet, Keluarga Mahasiswa Hindu Universitas Gadjah Mada bersama Keluarga Putra Bali Purantara Yogyakarta menggelar Aksi Damai Tari Pendet Massal di Monumen Tapak Prestasi Kota Yogyakarta, Minggu (30/8). Aksi ini merupakan bentuk kepedulian mereka untuk menjaga tari pendet sebagai warisan budaya adiluhung bangsa Indonesia. (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

Ibnu Sutowo mengembangkan industri migas nasional melalui entitas bisnis milik negara. Dimulai dengan PT Eksploitasi Tambang Minyak Sumatra Utara (ETMSU) pada tahun 1957. PT ETMSU diubah menjadi Permina, kemudian menjadi PN Pertamina yang merupakan hasil merger dari tiga BUMN: Permina, Pertamin, dan Permigan. Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971, Pertamina diberikan kuasa pertambangan (KP) dan sekaligus wewenang bekerja sama dengan perusahaan minyak asing menggunakan kontrak model kontrak production sharing (KPS).

Model KPS merupakan inisiatif Ibnu Sutowo karena tidak puas dengan model kontrak karya (KK) meskipun bagian negara jauh lebih baik bila dibandingkan dengan model konsesi berdasarkan Indische Mijn Wet 1899. Tetapi, karena manajemen sepenuhnya masih berada di tangan perusahaan minyak asing, maka Ibnu Sutowo sangat tidak menyetujui model KK ini. Ibnu muncul dengan konsep KPS di mana manajemen sepenuhnya di tangan Pertamina yang akan dapat menjamin kedaulatan negara atas sumber daya alamnya, di samping bagian negara jauh lebih besar dibandingkan sistem konsesi maupun sistem KK.

Model pengembangan industri migas melalui BUMN dengan kontrak model KPS inilah yang kemudian diadopsi/ditiru oleh Malaysia dengan Petronas-nya. Petronas diberi wewenang bekerja sama dengan perusahaan minyak asing secara business to business (B to B) dengan menggunakan model KPS seperti yang dipelopori oleh Ibnu Sutowo.

Adopsi oleh Malaysia dalam bidang perminyakan ini tentu berbeda sekali dengan adopsi dan klaim Malaysia di bidang kebudayaan, seperti klaim terhadap tari reog maupun tari pendet yang belakangan menjadi pembicaraan hangat dan keprihatinan di Indonesia.

Lagi pula, model KPS juga diadopsi oleh sekitar 30 negara. Malaysia mengakui model KPS sebagai model kontrak yang dipelopori oleh Ibnu Sutowo/Pertamina. Ini dinyatakan secara implisit oleh mantan PM Mahathir Mohamad dan mantan Menteri Keuangan Malaysia Tengku Razaligh dalam tayangan video pada saat launching (peluncuran) buku Ibnu Sutowo beberapa waktu lalu di Hotel Sultan.

Akan tetapi, dengan UU Migas No 22/2001, model yang sudah banyak ditiru di sejumlah negara tersebut justru kini di negeri sendiri terancam musnah. Ini berbeda sekali dengan kreasi anak bangsa di bidang kebudayaan yang banyak ditiru oleh Malaysia. Meskipun tari reog, tari pendet, atau kreasi-kreasi kebudayaan lainnya banyak ditiru dan dijadikan ikon oleh Malaysia, justru kekayaan kebudayaan nasional tersebut tetap terpelihara dan tetap hidup di tengah masyarakat. Tidak dihapus atau dimatikan.

Dengan UU Migas, KP dicabut dari Pertamina. Akibatnya, Pertamina tidak lagi berwenang atau berfungsi sebagai ”pemilik” yang mewakili negara atas aset dan cadangan migas yang ada di perut bumi Indonesia. Pertamina tidak lagi berhak untuk mengembangkan dan menjual migas bagian negara yang berasal dari kontraktor KPS, termasuk pengembangan dan penjualan LNG yang berasal dari lapangan gas perusahaan minyak asing.

Dengan demikian, pengembangan LNG Tangguh tidak bisa otomatis dilakukan oleh Pertamina sebagaimana halnya Pertamina pada tahun 1970-an mengembangkan dan menjual LNG Arun dan Badak yang notabene gasnya berasal dari lapangan gas perusahaan minyak asing.

Kini yang terjadi justru sebaliknya. Lapangan gas yang ditemukan dan dioperasikan sendiri oleh Pertamina di Sulawesi Tengah justru oleh Pertamina diserahkan kepada pihak lain untuk dikembangkan dan dijual dalam bentuk LNG. Padahal, Pertamina sejak tahun 1970-an sudah sangat berpengalaman mengembangkan dan menjual sendiri LNG ke luar negeri dengan formula harga jual yang sangat visioner dan menguntungkan negara.

Selain itu, kini blok-blok yang potensial mengandung cadangan migas yang besar tidak otomatis bisa digarap oleh Pertamina, tetapi justru diberikan kepada pihak lain. Aset/peralatan yang dibeli oleh perusahaan minyak asing dalam rangka KPS dan dibebankan sebagai cost recovery tidak lagi otomatis menjadi aset Pertamina. Bahkan, aset LNG Arun dan Badak yang sejak semula merupakan bagian dari aset Pertamina oleh UU Migas harus dikeluarkan dari Pertamina.

Status

Dengan UU Migas, status Pertamina disamakan dengan perusahaan minyak asing. Jadilah Pertamina menjadi ”asing” di negerinya sendiri. Tapi anehnya, perusahaan minyak asing tetap bisa ”menikmati cost recovery”, sementara cost recovery PT Pertamina tidak bisa dimanfaatkan oleh Pertamina dan harus dikembalikan kepada negara!

Singkat kata, dengan UU Migas No 22/2001, Pertamina dikerdilkan secara sistemik baik wewenang, cakupan kegiatan bisnis, maupun asetnya. Menurut majalah Forbes, pada 2007 aset Petronas sekitar 125 miliar dollar AS, sementara aset Pertamina pada tahun yang sama hanya sekitar 25 miliar dollar AS atau hanya seperlima aset Petronas!

Kini faktanya, Pertamina sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan Petronas. Petronas yang tetap konsisten dengan apa yang ditiru dari Pertamina kini terbukti telah berkembang menjadi salah satu perusahaan minyak raksasa dunia. Pada tahun 2008 Petronas meraup revenues sekitar 77 miliar dollar AS (Rp 770 triliun) atau sekitar 80 persen dari RAPBN 2010.

Petronas berada di urutan nomor 95 dari 500 perusahaan terbesar versi majalah Fortune. Keuntungan Petronas tahun 2008 sebesar 15,3 miliar dollar AS (sekitar Rp 153 triliun), menempatkan Petronas pada posisi ke-13 dari 40 perusahaan dunia yang memperoleh keuntungan paling besar (Fortune, 24 Agustus 2009).

Jangan sedih Indonesia! Peluang Pertamina untuk bisa melampaui Petronas masih sangat terbuka. Caranya sederhana, yaitu dengan mengadopsi kembali apa yang pernah ditiru oleh Petronas dari Pertamina. Untuk itu, segera amandemen UU Migas No 22/2001 atau Presiden SBY segera mengeluarkan perppu. Dalam beberapa tahun, aset dan revenues Pertamina pasti akan melampaui aset dan revenues Petronas.

Soalnya, luas wilayah dan potensi sumber daya migas Indonesia lebih dari 10 kali luas wilayah dan potensi sumber daya migas Malaysia. Pasar dalam negeri, pengalaman, dan SDM juga sangat mendukung. Tinggal kemauan saja. Percayalah!

* Kurtubi, Alumnus Colorado School of Mines, Denver, dan Ecole Nationale Superieure du Petrole et des Moteurs Paris

Sumber: Kompas, Sabtu, 12 September 2009

No comments: