BEKERJA keras untuk mewujudkan visi, menulis pantun dan berpuisi, mewarnai hari-hari Dra Hj Suryatati A Manan (57), walikota Tanjungpinang, Kepulauan Riau (Kepri), belakangan ini.
Foto-foto:SP/Rina Ginting
Kendati tugasnya padat, berat, dan penuh tantangan, wanita yang dijuluki warganya si Tangan Baja dan Ratu Pantun ini, tampak selalu tenang, mengulas senyum, dan berwibawa. Ditemui di Jakarta, pekan lalu, dalam acara berbuka puasa, Suryatati tetap dengan penampilannya yang khas, memakai baju kurung dan kerudung Melayu. Walau tampak sedikit lelah, dia tetap ramah dan semangat berbicara tentang rencana-rencananya.
Ibu Tatik, demikian dia disapa, dua tahun lalu, terpilih kedua kali sebagai walikota Tanjungpinang periode 2007-2012. Bersama wakilnya Edward Mushalli, dia berjanji untuk mengantar kota berpenduduk 217.698 jiwa (2008) itu meraih visi sebagai pusat perdagangan dan jasa industri pariwisata, serta pusat budaya Melayu dalam lingkungan masyarakat yang agamis (2020).
Tatik dan Edward, tentu saja harus berjuang bersama Ismeth Abdullah sebagai gubernur Kepri. Secara filosofis, Tanjungpinang adalah wajah Provinsi Kepri secara keseluruhan.
Wanita kelahiran Tanjungpinang 14 April 1953 ini dikenal sebagai perempuan yang berbicara santun, tak saja kepada karyawannya, keluarga atau koleganya, tetapi juga pada lawan politiknya. Lulusan IPP Pemerintahan ini, memulai kariernya sebagai kasubbag Perundang-undangan Setda Kabupaten Riau (1979-1983), dan kabag Perekonomian Kabupaten Riau (1985-1993). Kemudian, jadi Camat Tanjungpinang Barat (1993-1995), kepala Dispenda Kepri (1995-1996), walikota Kota Administratif Tanjungpinang (1996-2001), pejabat walikota (2001-2003), dan walikota hingga 2012.
Dalam kepemimpinannya, Tanjungpinang berhasil meraih Adipura keenam kali pada 2009 (berturut kecuali 2008). APBD kota itu yang tahun 2002 sebesar Rp 188 miliar, 2008 menjadi Rp 500 miliar, sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bagi hasil dari Kepri, tadinya Rp 1,8 miliar, sekarang Rp 9,49 miliar. Suryatati juga mendapat Anugerah gemilang Presiden' atas dedikasinya yang tinggi untuk kepanduan.
Kota Gurindam
Masih ingat "Gurindam 12" karya Raja Ali Haji dan Pulau Penyengat dengan moncong meriamnya? Dalam bidang pariwisata dan budaya, Tanjungpinang memang memiliki sejarah Melayu yang sangat tersohor. Karena itu, Suryatati pun tak ragu menabuh genderang, mendeklarasikan Tanjungpinang sebagai Kota Gurindam Negeri Pantun.
Sejak pencanangan, kini tiap orang yang mengunjungi kota yang terletak di Pulau Bintan itu, dengan mudah menemukan nama jalan, kendaraan, atau bangunan yang berbau sastra. Masuk kota itu rasanya seperti memasuki negeri sastra. Acara seremoni, selalu diwarnai puisi dan pantun, para pejabat mau tak mau harus bisa menulis dan membaca pantun. "Berdoa pun kadangkala tak terasa, kami berpantun, ha..ha.," kata Tatik.
Untuk apreasiasi seni, Pemkot memfasilitasi warga dengan panggung rakyat. Pentas seni disubsidi sebanyak 40 kali selama Juni-Desember 2009, setiap Jumat dan Sabtu di tiga tempat yang berbeda, di Dragon Boat Race (Ocean Corner), Gedung Aisyah Sulaiman, dan di Akau Potong Lembu.
Rakyat Tanjungpinang sedang mengumpulkan sejuta pantun, dari berbagai pentas dan acara, karya anak-anak hingga orang dewasa. Pantun-pantun itu disortir oleh ahli budaya, yang nantinya bakal dijadikan buku kumpulan pantun.
Sebagai perempuan Melayu, Suryatati memang memiliki bakat sebagai penyair. Bakat terpendam ini terkuak ketika dia diundang membaca sajak pada acara "Gelar Sajak, Jalan Bersama Bupati/Wali Kota dan Penyair Melayu" di TIM, Jakarta, November 2006. Ketika itu, ada wartawan yang bertanya, berapa puisi yang sudah ditulisnya. "Sebenarnya, hanya satu itu, ha..ha..," kenangnya.
Dari situlah Suryatati merasa tertantang untuk menulis puisi lebih banyak lagi. Hingga saat ini, ratusan puisi telah ditulisnya, lalu diterbitkan menjadi buku kumpulan puisi, berjudul Melayukah Aku, Perempuan Wali Kota, Perempuan dalam Makna, dan Surat Untuk Suami, yang diluncurkan 7 Agustus 2009 lalu di kota kelahirannya. Setiap buku diluncurkan, selain memberi sambutan Tatik juga membaca puisinya.
Perjalanan kariernya di kota sejuta pantun itu, tentu tak lepas dari cobaan dan isu. Seperti julukannya Si Tangan Baja, ibunda dari Maya Suryanti, Agung Suryanto, Ririn Subroto, dan Cory Primaturia ini tak pernah patah semangat. Dalam kesendiriannya setelah ditinggal mati suami tahun 2006, Tatik menjalankan tugas negara dan tanggung jawab kepada anak-anaknya dengan tabah, gigih, dan tegar.
Setelah melewati kepenatan memimpin rakyat, di rumahnya di Sei Ladi, Senggarang, Tatik mencurahkan semua perasaannya lewat goresan puisi. Puisi tentang masalah sosial dan pemerintahan, puisi untuk menjawab lawan politiknya yang meragukan keaslian melayunya, puisi terdalam seorang perempuan yang ditinggal mati sang suami, puisi untuk ayah-ibu juga anak-cucu, dan puisi apa saja atau "Puisi Suke-suke (suka-suka, Red)", kata Suryatati. [R-8]
Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 27 September 2009
No comments:
Post a Comment