-- Geger Riyanto*
DELAPAN peneliti dari kampus Harvard datang ke sebuah desa di Jawa Timur. Tiga tahun mereka berdiam dan meneliti di desa yang disebut Modjokuto. Ternyata tiga tahun menjadi waktu yang amat panjang bagi salah seorang di antara mereka. Setelah 40 tahun ia menulis tentang desa tersebut, lelaki yang sudah berkepala enam ini kembali ke Modjokuto, mengenang, betapa banyak hal yang belum disampaikannya tentang desa ini.
Clifford Geertz—salah seorang peneliti itu—tak pernah berhenti terkesima menghadapi kekayaan kebudayaan yang dianalogikannya sebagai taman metafora yang terlalu lebat. Saat meneliti Modjokuto, ia merasa terpaksa harus menangkap kompleksitas, ambiguitas, dan kerumitan ke dalam peta yang amat terbatas. Peta yang bagi Geertz tak bisa menghadirkan keluasan dimensi desa kecil itu. Namun, telanjur, sang peneliti keburu dikenalkan dengan kategori keislaman orang Jawa: abangan, santri, dan priayi.
Pengetahuan adalah kuasa
Sebagaimana kesadaran Geertz, dunia sebenarnya memperlakukan pengetahuan sebagai sebuah peta. Dalam fungsi untuk memperluas cakrawala pandang sang subyek yang tengah mencari tahu. Metafora ”perluasan cakrawala pandang” ini berasosiasi dekat dengan praktik kekuasaan. Sebagaimana misalnya bila kita mengetik frase knowledge is power, Google akan segera menderetkan bukti bagaimana pengetahuan diperoleh sebagai hasil fungsi kekuasaan.
Pengetahuan didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat menangkap realitas secara menyeluruh. Oleh karena itu, pakar, ahli, peneliti, dan mereka yang dianggap dan menganggap diri sebagai subyek pengetahuan cenderung dekat dengan posisi pengambil kebijakan. Jadi sebuah negeri, seperti Indonesia, selalu dipandang dari atas, menjadi sesuatu yang ada di bawah dan perlu ditolong. Bagaimana, misalnya, sejarah negeri ini perlu diubah, adalah sebuah tema dari subyek pengetahuan sejak 40 tahun lalu.
Kerap dimusuhi
George Kahin mencuat karena kejujuran dan kekagumannya kepada nasionalisme Asia. Dalam kerja pelopor studi Indonesia di Universitas Cornell ini, kita menemukan satu modus penelitian yang justru dihindari oleh peneliti lain: keterlibatan dengan obyek yang ditelitinya. Modus yang ternyata membuat Kahin kerap dimusuhi para petinggi negaranya sendiri.
Dalam upayanya mengenali Indonesia ini secara komprehensif, Kahin mengambil posisi sebagai ”pendamping”, termasuk saat negeri ini ingin menggubah sejarahnya sendiri. Dan itu dilakukannya dengan cara melupakan sejarahnya sendiri. Sebuah sikap, yang suka atau tidak, memang memancing kontroversi.
Pencipta sejarah
Sejarah siapakah yang diwakili oleh seorang subyek pengetahuan—seperti Kahin—sebenarnya bisa ditelusuri lewat satu pertanyaan sederhana: bahasa siapakah yang digunakan? Apakah semacam bahasa sosial kapital yang digunakan esai Robert Putnam untuk menggambarkan sebuah masyarakat yang bermain boling sendirian karena terjebak dalam kegamangan?
Bahasa itu kemudian begitu populer (menjadi ”pop”) bahkan mendunia dan bisa merangsang Presiden Clinton mengundangnya dan berbagi keresahan.
Bukan hanya Clinton. Dalam praksisnya, Putnam pun diundang ke negeri ini. Terutama dalam kekuatan bahasanya. Kekuatan yang kini meleluasa di negeri ini mengabaikan Koentjaraningrat atau Sartono Kartodirdjo yang sejak lama menggarap sejarah Indonesia dengan kedalaman yang sulit ditandingi.
Namun, tetap saja dunia lebih mengenal Clifford Geertz, peneliti Modjokuto yang penuh energi itu. Karena dalam sejarah yang dibuat dengan cara seperti itu, kita akan menemukan ”apa” sebenarnya adalah ”siapa”: sesuatu yang bergerak, hidup. Bukan sesuatu yang dapat didominasi dan dikonstitusi oleh sekian teori.
Oleh karena itu, Selo Soemardjan lebih dikenal sebagai seorang manusia Yogyakarta ketimbang doktor lulusan Cornell—sebagaimana Clifford Geertz adalah seorang warga Modjokuto bukan warga Harvard atau Princeton. Mereka ada bukti bagaimana pengetahuan hanya dimungkinkan melalui proses dialog dan pembukaan diri. Pada saat subyek pengetahuan menulis, dirinya juga ditulis. Subyek pengetahuan tak mengubah atau menggerakkan sejarah. Namun, perjumpaannya dengan realitaslah yang menciptakan sejarah itu sendiri.
Di situlah manusia Indonesia dikisah dan berkisah. Di situlah kita dapatkan, peradaban besar yang cerdik menempatkan diri di antara jaringan peradaban yang telah ada (Denys Lombard); negara yang didirikan anak-anak muda dengan bermain di antara kekuatan-kekuatan dunia (Kahin); seorang Sultan yang melepas kekuasaannya agar rakyat memiliki masa depan (Selo); atau sebuah Modjokuto yang sukses mengajarkan makna hidup kepada seorang profesor dari Princeton (Geertz); dan seterusnya.
Dan seterusnya, Anda menulis sejarah Anda sendiri.
* Geger Ryanto, Alumni Sosiologi Universitas Indonesia, Koordinator Bale Sastra Kecapi
Sumber: Kompas, Sabtu, 19 September 2009
No comments:
Post a Comment