-- Putu Fajar Arcana*
DI dalam kamar dramawan-sastrawan WS Rendra terdapat banyak koper dan locker. Koper dan locker itu berisi pakaian-pakaian yang jauh-jauh hari telah disusun rapi pemiliknya. Bahkan, untuk memudahkan mengingat, pada locker ditempelkan tulisan-tulisan jenis pakaian yang ada di dalamnya. Semua itu dikerjakan oleh Rendra seorang diri.
Sampai saat intelektual besar Indonesia itu dimakamkan, 7 Agustus 2009 lalu, kamar yang dipenuhi buku-buku serta sepatu berukuran 41 dan tersusun rapi pada raknya tetap seperti sedia kala. Ken Zuraida, istri Rendra, bahkan sampai kini belum mau memasuki kamar itu. ”Aku seperti limbung karena sebagian jiwaku hilang,” tutur Ken Zuraida, Kamis (17/9) lalu.
Hanya kasur pada lincak (sejenis kursi tetapi bisa dimanfaatkan sebagai tempat tidur) berukuran single yang terbuat dari bambu disandarkan ke dinding. Di antara kasur dan tempat tidur itu terdapat dua boneka buaya dan satu anjing laut. ”Mas Willy selalu tidur dengan boneka untuk mengganjal sisi-sisi tubuhnya,” tambah Ken Zuraida.
Rahmawati Basri, salah satu anggota Bengkel Teater Rendra dan asisten kepercayaan Rendra, mengatakan, Rendra orang yang selalu detail merencanakan segala sesuatu. ”Koper-koper itu tinggal diangkat kalau Pak Rendra akan bepergian. Semua sudah lengkap di dalamnya, termasuk peralatan mandi,” ujar Rahmawati.
Cita-cita
Kamar Rendra dan seluruh isinya barangkali akan menjadi memorabilia tidak saja bagi keluarga dan orang-orang terdekat penyair berjuluk ”Si Burung Merak” itu. Di dalam kamar itulah Rendra melakukan permenungan dan membaca gelagat zaman. Dari kamar itu pulalah ia memutuskan untuk menghutankan seluruh areal Bengkel Teater Rendra yang tak kurang memiliki luas 4 hektar.
Edi Haryono, sekretaris pribadi Rendra, mengungkapkan pesan Rendra di saat-saat akhir hayatnya selalu membicarakan soal penghutanan Bengkel Teater. ”Mas Willy (Rendra) selalu bilang, karena air di sini berlimpah, maka itu harus dijaga untuk kepentingan banyak orang. Penghutanan bengkel juga harus diteruskan,” tutur Edi yang sudah menjadi anggota Bengkel Teater sejak bermarkas di Ketanggungan, Yogyakarta.
Peninggalan Rendra, menurut Edi, tak hanya tanah seluas 4 hektar serta beberapa bangunan yang didirikan atas tetesan keringat, tetapi lebih-lebih adalah peletakan dasar-dasar pendidikan kemanusiaan secara informal. ”Bengkel bukan hanya untuk bermain teater, tetapi itu tempat mengolah hidup. Mas Willy menemukan metode-metode dan disiplin untuk menjadi manusia yang baik,” kata Edi Haryono.
Itulah sebabnya sebagian besar anggota Bengkel Teater Rendra bertekad membentuk satu yayasan yang akan melanjutkan cita-cita budayawan kelahiran Solo itu. Bahkan ditambahkan Ken Zuraida, suaminya bercita-cita menjadikan Bengkel Teater sebagai acuan dunia untuk mempelajari teater kontemporer Indonesia. ”Mas Willy bercita-cita membangun paviliun dengan nama-nama dramawan Indonesia. Di situ siapa saja yang datang bisa belajar tentang segala hal menyangkut dramawan itu. Tetapi itu belum terwujud,” kata Ken Zuraida.
Penyair Agus R Sarjono menuturkan, cita-cita Rendra bisa disamakan dengan aktivitas yang dilakukan oleh para ahli waris pemenang Nobel asal Jerman, Heinrich Boll. Para ahli waris membentuk Yayasan Heinrich Boll Haus yang kemudian memberikan beasiswa kepada sekitar 10 orang setiap tahun. ”Saya pernah melakukan residensi di sana selama empat bulan. Dan selama itu tinggal di kamar, di mana Heinrich Boll dulu melahirkan karya-karya besarnya,” ujar Agus Sarjono.
Rumah Heinrich Boll terletak di Desa Langenbroich, Duren, Koln, sebuah wilayah yang kira-kira mirip Cipayung, Citayam, Depok, Banten. ”Pemerintah Kota Duren memberi subsidi kepada Yayasan Heinrich Boll Haus untuk membiayai 900 euro sebulan bagi para peserta residensi. Bahkan untuk naik taksi pun mereka beri subsidi,” ujar Agus Sarjono.
Rendra sangat pantas mendapatkan kehormatan sebagaimana Pemerintah Duren menghargai Heinrich Boll. Sudah saatnya, kata Agus Sarjono, pemerintah memikirkan menjadikan Bengkel Teater Rendra di Cipayung, Citayam, Depok, sebagai tempat residensi bagi para seniman dan budayawan dunia. Depok dan Indonesia niscaya akan menjadi tempat yang lekat di hati banyak kalangan, sebagaimana Agus Sarjono menganggap Langenbroich sebagai kampung halamannya.
Koper dan locker di kamar Rendra tak hanya akan berisi pakaian yang rapi, tetapi juga kajian-kajian dan olahan hidup yang bermanfaat bagi kemanusiaan, kini dan nanti...
Sumber: Kompas, Minggu, 27 September 2009
No comments:
Post a Comment