-- Hasibullah Satrawi*
• Judul Buku: Mekkah: Kota Suci, Kekuasaan dan Teladan Ibrahim
• Penulis : Zuhairi Misrawi
• Penerbit: Penerbit Buku Kompas
• Cetakan: I, Agustus 2009
• Tebal Buku: xvi+374 halaman Mekkah
”KOTA suci yang memesona dan menarik perhatian umat manusia dari dulu hingga sekarang.” Demikianlah gambaran yang diungkapkan oleh Prof Dr Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perihal keistimewaan Mekkah dalam kata pengantar.
Mekkah, kota yang amat dekat dengan umat Islam. Namanya terukir indah dalam sanubari dan imaji. Semua itu kian terasa kuat karena Mekkah bermetamorfosis menjadi keyakinan, cerita, dan legenda. Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Nabi Muhammad SAW adalah sosok, momen, dan teladan yang terus mengisi pikiran setiap Muslim sejak usia dini. Di samping itu, Kabah, Masjidil Haram, Arafah, air zamzam, Hajar Aswad, dan lain-lain merupakan khazanah yang mempunyai nilai historisitas yang mengakar kuat dalam sejarah. Karena itu, Mekkah menjadi sumber inspirasi untuk kemuliaan, baik di dunia maupun akhirat.
Buku yang ditulis oleh Zuhairi Misrawi, intelektual muda Nahdlatul Ulama, memberikan ulasan cukup mendalam terkait dengan pernak-pernik keistimewaan Mekkah di atas. Selain itu, buku ini pun memberikan alasan yang sangat kuat kenapa seluruh umat Islam merindukan Kota Para Nabi ini. Tak lain karena Mekkah adalah kota suci yang menjadi kiblat bagi ajaran monoteisme dan perdamaian.
Sebagai kota suci, Mekkah memang mempunyai akar historis yang sangat kuat, bahkan seumur dengan Nabi Adam yang dalam Islam diyakini sebagai manusia pertama. Al-Azraqi, sejarawan Muslim terkemuka dalam Makkata wa ma Ja’a fiha Minal Atsar, menyebutkan bahwa bumi yang pertama kali diciptakan Tuhan adalah Mekkah. Di dalam literatur lain disebutkan, pertemuan antara Adam dan Hawa terjadi di lereng Gunung Rahmah (Jabal Rahmah). Hingga hari ini, keyakinan ini sangat kuat tertanam dalam diri setiap Muslim hingga tidak sedikit mereka yang berkunjung ke kota suci ini hanya sekadar meminta jodoh di lereng gunung tersebut.
Pengukuhan Mekkah sebagai kota suci mencapai puncaknya di tangan Nabi Ibrahim yang dikenal sebagai ”Bapak Para Nabi” dan ”Bapak Agama-agama Samawi”. Bersama anaknya, Ismail, Nabi Ibrahim menyempurnakan pembangunan Kabah yang menjadi salah satu daya tarik utama kota Mekkah (QS Al Baqarah [2]: 127).
Nabi Ibrahim mampu menjadikan Mekkah sebagai kiblat ajaran monoteisme yang menjadi titik temu antara agama-agama samawi. Apa pun perbedaan ”kerangka teologinya”, monoteisme menjadi ajaran utama yang dipedomani oleh agama-agama samawi. Semuanya menyimpan keimanan yang mendalam kepada Tuhan. Ajaran monoteisme yang dibawa oleh Nabi Ibrahim dikenal dengan al-hanifiyyah (hal 318-325).
Dalam sejumlah literatur yang membahas sejarah Mekkah, keluarga besar Nabi Muhammad SAW menjadi ”penjaga tradisi Nabi Ibrahim. ”Di mana semenjak kakeknya yang ketujuh (Qushay bin Kilab), keluarga besar Nabi senantiasa merawat dan memerhatikan kota Mekkah, terutama Kabah. Menariknya adalah, penjagaan terhadap tradisi Nabi Ibrahim tidak hanya dalam arti formalitas-simbolik. Menjaga tradisi Nabi Ibrahim sama dengan membantu penduduk kota Mekkah dari kekurangan dan kemiskinan. Sebagaimana menjaga tradisi Nabi Ibrahim sama dengan menjaga keyakinan monoteisme. Keluarga besar Nabi Muhammad SAW mampu mempertahankan Mekkah sebagai kiblat monoteisme.
Ajaran monoteisme inilah yang menjadi modal awal perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi tantangan dan rintangan yang dilakukan oleh sebagian penduduk Mekkah. Bahkan, beberapa tokoh yang dikenal sebagai penganut paham monoteisme membenarkan kerasulan Nabi. Salah satunya adalah Waraqah bin Nawfal, seorang pendeta Kristen yang masih mempunyai pertalian darah dengan istri Nabi, yaitu Khadijah. Dalam buku Hayatu Muhammad, Husain Haikal melansir sebuah riwayat bahwa Nabi Muhammad SAW berkonsultasi kepada Khadijah dalam rangka memahami wahyu yang diturunkan Tuhan. Khadijah melanjutkan kegelisahan Nabi kepada Waraqah bin Nawfal. Dan, tokoh inilah yang memastikan dan meyakinkan Nabi bahwa ajaran yang diterimanya adalah wahyu yang sebelumnya juga pernah diturunkan kepada Nabi Musa.
Sebagai kiblat monoteisme, sejatinya Mekkah menjadi sumber inspirasi untuk menciptakan perdamaian dalam kehidupan manusia, terutama di kalangan keluarga besar Nabi Ibrahim yang tersebar di tiga agama samawi, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Namun, menurut Reza Aslan dalam No god but God, patut disayangkan karena sejarah hubungan tiga agama samawi justru sarat dengan nuansa konfliktual. Monoteisme yang menjadi dasar ajaran agama samawi seakan tidak berdaya menghadapi sikap penuh curiga, kecenderungan untuk saling menafikan dan kepentingan politis yang menghinggapi sebagian umat agama samawi. Hingga seakan tak ada mata rantai ajaran dan sejarah antara tiga agama samawi. Dalam konteks ini, buku ini memberikan sumbangan pemikiran, tidak hanya bagi pemeluk agama-agama samawi, tetapi juga bagi kemanusiaan universal. Penulis buku ini berhasil merajut akar sejarah dan norma agama samawi dalam rangka mengutuhkan kembali keluarga besar agama-agama samawi, hingga jurang-jurang perbedaan bisa dihamparkan dalam padang persaudaraan dan kebersamaan.
Bagi umat Islam, menjadikan Mekkah sebagai kiblat perdamaian adalah hal mutlak. Bukan semata-mata karena Islam menekankan pentingnya perdamaian, lebih daripada itu karena Mekkah disucikan dari bentuk kekerasan apa pun. Semua pihak (termasuk yang sedang berkonflik) diharuskan menghormati kota suci ini dan tak melakukan bentuk kekerasan apa pun. Alih-alih melakukan kekerasan, satu helai rambut pun tidak boleh dicopot, sebagaimana salah satu syarat sahnya melakukan ibadah haji.
Sejatinya, ajaran luhur seperti di atas tak hanya dipraktikkan di Mekkah. Karena tantangan yang sesungguhnya justru berada dalam kehidupan umat setelah mereka pulang ke Tanah Air.
* Hasibullah Satrawi, Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dan Peneliti Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta
Sumber: Kompas, Kamis, 17 September 2009
No comments:
Post a Comment