-- Radea Juli A Hambali
IDUL Fitri merupakan puncak spiritual dari rangkaian ibadah puasa yang dilaksanakan selama sebulan. Secara substansial, Idul Fitri menegaskan sebuah keyakinan bahwa manusia telah kembali kepada bentuk asli dan primordial, yaitu ”kesucian”.
Kesucian itu terletak pada penegasan dan pendakuan Tuhan sebagai ”Yang Awal” dan ”Yang Akhir” kehidupan. Sejatinya, manusia memiliki ikatan yang selalu terhubung dengan Tuhan, tetapi karena kelemahan dan pesona dunia, ingatan dan keterhubungan manusia dengan Tuhan itu mudah terganggu. Idul Fitri adalah momen spiritual yang membangkitkan kembali ingatan manusia tentang adanya keterhubungan dengan ”Yang Asal”.
Menurut Agustinus, relasi manusia dengan Tuhan adalah relasi paling dasariah. Namun, di tangan sebagian orang yang berpikiran sempit, relasi ini sering dimaknai berlebihan, bahkan disalahgunakan.
Keterhubungan manusia dengan Tuhan sering dijadikan alasan untuk bertindak melewati batas-batas kewajaran. Keterhubungan dengan Tuhan sering menjadi godaan untuk menegasikan hak-hak dasar kemanusiaan dan merusak sendi-sendi kehidupan bersama.
Hasrat untuk mendominasi
Terorisme adalah tafsir yang berlebihan (atau malah menyimpang) dari pengakuan adanya keterhubungan itu. Namun, sejatinya, dalam tindakan-tindakan terorisme, tidak ada sedikit pun isyarat tegas tentang adanya keterhubungan otentik antara manusia dan Tuhan.
Sebab, manakala diakui bahwa manusia punya hubungan mesra dengan Tuhan, dengan sendirinya pengakuan itu harus menumbuhkan kecintaan dan penghormatan kepada sesama dan usaha memelihara kehidupan yang diberikan Tuhan untuk manusia.
Dalam salah satu karya terbesarnya, City of God, Agustinus memberikan isyarat terang bahwa hasrat untuk merusak tatanan kehidupan—yang mengejawantah dalam aksi-aksi terorisme—bermula saat dinamika daya manusia untuk mencintai dialihkan dari Tuhan kepada diri manusia sendiri.
Dipastikan, cinta diri yang melewati takaran selalu mengandung benih hasrat untuk mendominasi sesama. Akar dari hasrat untuk mendominasi sesama adalah kesombongan atau keangkuhan yang bisa dimaknai hasrat manusia untuk meniru juga memiliki daya tak terbatas dari Tuhan sebagai pencipta.
Impian untuk memiliki daya tak terbatas dari Tuhan, dalam genggaman orang yang memiliki kecintaan berlebih terhadap diri, bisa berubah menjadi malapetaka. Tuhan, juga doktrin agama, dapat dijadikan alasan pembenar untuk membelokkan arah dunia.
Dengan dalih kehidupan ini sudah menyimpang dan sesat, ”telunjuk pengatur” Tuhan dipinjam dan dijadikan alasan untuk semua tindakan yang dilakukan meski tindakan itu bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan kehidupan bersama.
Cinta Tuhan, cinta manusia
Seturut dengan apa yang menjadi keyakinan Agustinus, cinta terhadap Tuhan sejatinya memampukan manusia untuk sanggup menolak bujuk rayu kesombongan atau keangkuhan itu.
Keterhubungan manusia dengan Tuhan yang sejati tidak mengurangi kemampuan untuk mencintai sesama, malah menjadi perekat dan penjamin yang menegaskan, hidup bersama itu harus diberi nyawa dan nutrisi melalui bela rasa, toleransi, dan semangat saling menjaga.
Idul Fitri bukan hanya momen spiritual, melainkan juga detik-detik fundamental yang berdimensi sosial ketika penghormatan terhadap martabat manusia ditegakkan setinggi-tingginya.
Kembali pada kesucian yang asli dan primordial, pada hakikatnya, merupakan tonggak pencapaian spiritualitas baru yang menegaskan suatu keyakinan bahwa manusia, apa pun agama, keyakinan, atau orientasi politisnya, adalah makhluk yang dimuliakan Tuhan sehingga harus dihormati juga dibela hak-hak keberadaannya.
Idul Fitri juga adalah momen kesadaran yang mengingatkan agama untuk bertindak efektif dan tampil sebagai protagonis yang piawai memosisikan dirinya sebagai ”lembaga pengelola kekerasan”. Agama ditantang untuk menjadi lembaga yang tidak hanya pandai menjaga dan memuliakan firman Tuhan, tetapi juga energik dalam membela hak, martabat, dan nyawa manusia.
Dalam terang Idul Fitri, agama harus tampil menjadi institusi pewarta ketuhanan yang maha esa yang amat istimewa, serta penegas kemanusiaan yang adil dan beradab.
* Radea Juli A Hambali, Dosen Filsafat pada Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung
Sumber: Kompas, Jumat, 18 September 2009
No comments:
Post a Comment