Saturday, September 05, 2009

[Teropong] Menapaki Jejak Majapahit di Kajar, Lasem

SUWITO (17), warga Desa Kajar, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, tidak pernah tahu secara detail kisah sejarah peninggalan Kerajaan Majapahit di Gunung Kajar, Pegunungan Lasem. Paling-paling siswa sebuah sekolah negeri di Lasem itu sebatas tahu nama dan letak lokasi peninggalan-peninggalan.

Masyarakat Sejarawan Indonesia Rembang dan guru-guru Sejarah di Kabupaten Rembang mengunjungi lingga kajar di Desa Kajar, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Sabtu (15/8). Lingga kajar merupakan salah satu peninggalan Majapahit.(KOMPAS/ALBERTUS HENDRIYO WIDI)

”Bapak dan Ibu tidak pernah cerita. Dahulu Kakek pernah cerita waktu saya masih kecil, tetapi sekarang sudah lupa. Di sekolah pun, sejarah lokal kurang mendapat perhatian,” kata Suwito yang turut menyaksikan kegiatan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Kabupaten Rembang menyusuri jejak-jejak Majapahit di Desa Kajar, Sabtu (15/8).

Desa Kajar terletak di lereng Gunung Kajar, salah satu bagian dari Pegunungan Lasem. Dari kota tua Lasem atau jalan pantai utara Lasem, desa dengan sumber air yang melimpah itu berjarak sekitar 7 kilometer ke arah selatan.

Desa Kajar mempunyai empat peninggalan Kerajaan Majapahit. Peninggalan itu berupa batu tapak kaki Raja Majapahit yang dikenal dengan watu tapak, goa tinatah, kursi kajar, dan lingga kajar. Peninggalan itu tidak mengumpul di satu tempat, tetapi tersebar di sejumlah titik Gunung Kajar.

Kisah di balik peninggalan itu tidak terlepas dari sejarah Kadipaten Lasem pada masa Kerajaan Majapahit. Berdasarkan laporan ”Rekonstruksi Sejarah Kadipaten Lasem” garapan MSI Kabupaten Rembang, Kadipaten Lasem muncul setelah Tribuwana Wijayatunggadewi membentuk Dewan Pertimbangan Agung atau Bathara Sapta Prabu pada 1351.

Salah satu anggota Dewan Pertimbangan Agung adalah Dyah Duhitendu Dewi, adik kandung Hayam Wuruk. Setelah menikah dengan anggota Dewan Pertimbangan Agung yang lain, Rajasawardana, Dewi Indu tinggal dan menjadi penguasa di Lasem dengan gelar Putri Indu Dewi Purnamawulan, yang kemudian dikenal sebagai Bhre Lasem.

Dalam Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya karya Slamet Mulyana, kisah Dewi Indu dan Rajasawardana tercatat di terjemahan Negarakertagama Pupuh V dan VI. Dalam Pupuh V Ayat 1 disebutkan, ”Adinda Baginda raja di Wilwatikta: Puteri jelita, bersemayam di Lasem Puteri jelita Daha, cantik ternama Indudewi Puteri Wijayarajasa”.

Begitu pula dalam Pupuh VI Ayat 1, ”Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana Laki tangkas rani Lasem bagai raja daerah Matahun Bergelar Rajasawardana sangat bagus lagi putus dalam naya Raja dan rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala”.

Dalam pupuh yang sama pada Ayat 3 disebutkan, ”Bhre Lasem Menurunkan puteri jelita Nagarawardani Bersemayam sebagai permaisuri pangeran di Wirabumi Rani Pajang menurunkan Bhre Mataram Sri Wikramawardana Bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra”.

Kawruh ajaran

Sejarawan Lasem, Slamet Widjaya, mengatakan, Lasem, khususnya Desa Kajar, merupakan salah satu daerah terpenting Kerajaan Majapahit. Desa Kajar merupakan tempat memberikan pengetahuan serta ajaran agama dan moral kepada para pejabat, panglima, dan prajurit Kerajaan Majapahit.

”Kajar merupakan kependekan dari ’ka’ yang berarti kaweruh (pengetahuan) dan ’jar’ yang berarti ajaran,” kata Slamet.

Menurut dia, bukan hal yang mengherankan jika pada 1354 Hayam Wuruk berkunjung ke Lasem dan Desa Kajar. Untuk mengenang kunjungan itu sekaligus sebagai prasasti tanda daerah kekuasaan Majapahit, Bhre Lasem membuat ukiran telapak kaki Hayam Wuruk di sebuah batu andesit di lereng Gunung Kajar.

Hingga kini, ukiran telapak kaki itu masih ada dan warga Desa Kajar meyakini ukiran itu sebagai bekas telapak kaki Hayam Wuruk. Warga kerap menyebut batu telapak kaki itu sebagai watu tapak.

Peninggalan-peninggalan lain Majapahit, seperti goa tinatah, kursi kajar, dan lingga kajar, juga menunjukkan peran penting Desa Kajar selama Majapahit berkuasa. Goa tinatah merupakan dua goa yang terletak di Gunung Kajar.

Goa pertama merupakan tempat menyepi pejabat atau panglima Majapahit. Goa itu hanya muat untuk satu orang. Goa kedua merupakan tempat para prajurit yang dibawa pejabat atau panglima Majapahit itu berjaga-jaga. Goa kedua itu dapat memuat sekitar 15 orang.

Setelah menyepi selama beberapa waktu di goa tinatah, pejabat atau panglima Majapahit itu disucikan dengan air Kajar. Dia duduk di sebongkah batu yang mirip kursi. Warga kerap menyebut kursi itu sebagai kursi kajar.

Selain itu, untuk menghargai Desa Kajar sebagai tempat yang membawa kesuburan bagi daerah lain karena banyak sumber mata air, Bhre Lasem membuat lingga berhuruf palawa di dekat lingga pada zaman batu dan salah satu mata air Kajar.

”Lantaran tidak terawat, huruf palawa di lingga itu sulit dibaca lagi. Begitu pula peninggalan-peninggalan Majapahit lain, misalnya kajar kursi, juga tidak terperhatikan. Batu itu tidak lagi menyerupai kursi karena telah hancur sebagian,” kata Ketua Umum MSI Kabupaten Rembang Edi Winarno.

Pelestarian sejarah

Untuk melestarikan situs Majapahit di Desa Kajar, Lasem, MSI berupaya mengajak warga sekitar dan guru turut menjaga situs sesuai dengan peran mereka masing-masing. Sebagai langkah awal, MSI menapak tilas peninggalan-peninggalan itu bersama 100 guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Sejarah di Rembang. ”Kami berupaya memperkenalkan studi sejarah lokal berbasis realitas kepada para guru. Harapannya, mereka dapat menerapkan metode itu kepada murid-muridnya,” kata Edi.

Selain itu, lanjutnya, MSI berupaya mendokumentasikan situs sejarah Majapahit tersebut. Dokumentasi itu merupakan salah satu materi rekomendasi MSI kepada Pemerintah Kabupaten Rembang.

MSI berharap Pemkab Rembang menjadikan situs Majapahit di Lasem sebagai laboratorium sejarah. Situs itu dapat pula menjadi tempat wisata penyusuran jejak-jejak peninggalan Majapahit di Lasem.

”Selama ini, tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa di Lasem ada peninggalan Majapahit. Pemkab pun selama ini kurang memedulikan aset sejarah dan wisata itu sehingga benda-benda di situs itu banyak yang tidak terawat,” ujarnya. (HEN)

Sumber: Kompas, Sabtu, 5 September 2009

No comments: