-- Dewa Gde Satrya*
MALAYSIA kembali melakukan manuver klaim ke dunia internasional atas aset seni budaya Indonesia. Selain klaim atas reog ponorogo, batik, lagu ”Rasa Sayange”, dan lainnya, dalam iklan Visit Malaysia 2009 turut ditampilkan tari pendet. DEWA GDE SATRYA
Kesengajaan Malaysia mengambil alih dan mengakui kepemilikan tarian Nusantara jelas-jelas merupakan trik dan strategi marketing murni. Gaya Malaysia mengampanyekan Visit Malaysia 2009, juga materi promosi lainnya, mengandung esensi gaya showbiz yang dewasa ini amat mengena pada pasar wisatawan dunia.
Bernd H Schmitt dalam There’s No Business That’s Not Show Business (2004) menyatakan, pelanggan kini menilai sebuah produk (brand) dan organisasi perusahaan secara keseluruhan berdasarkan pengalaman yang ditawarkan perusahaan kepadanya. Pengalaman ini haruslah menghibur (entertaining), melibatkan konsumen (engaging), memberikan sesuatu yang lebih dari yang diharapkan konsumen (boundary breaking), dan pada saat bersamaan menciptakan nilai kepada bisnis (value creating). Menurut Schmitt, semua bisnis kini harus dikelola sebagai show business yang menyenangkan semua orang (happy appealing) (Mix, No 05/09 Juni-12 Juli 2005, hal 12-13).
Sentuhan emosi itulah yang tepat sasaran dan kerap kali menjadi senjata dan jurus jitu kampanye pariwisata Malaysia. Terlepas suka tidak suka, kita sebagai pihak yang dirugikan, tetapi itulah kenyataan kejamnya dunia pemasaran.
Di Asia, badan pariwisata (tourism board) berperan besar mendongkrak kinerja pariwisata di negara masing-masing. Sebut saja Malaysia Tourism Board dan Singapore Tourism Board. Kehadiran dua badan pariwisata itu paralel dengan kemajuan pariwisata di kedua negara tersebut. Elemen swasta dan Pemerintah Malaysia, termasuk Menteri Pelancongan dan duta besar Malaysia di luar negeri, bekerja optimal dan saling menguatkan. Mindset bekerja total dan habis-habisan untuk kejayaan dan popularitas pariwisata Malaysia di kancah dunia menjadi semacam bentuk aktualisasi nilai nasionalisme.
Badan Promosi Pariwisata
Pada Pasal 36-42 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan diatur dua bagian kelembagaan Badan Promosi Pariwisata Indonesia. Bagian pertama tentang Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) yang berkedudukan di Jakarta. Bagian kedua tentang badan promosi pariwisata daerah yang berkedudukan di ibu kota provinsi dan kabupaten/kota.
Pasal 36 menjelaskan, BPPI merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri (Ayat 2), ditetapkan dengan keputusan presiden (Ayat 3). Keanggotaannya terdiri dari unsur penentu kebijakan yang berjumlah 9 orang (4 orang wakil asosiasi kepariwisataan, 2 orang wakil asosiasi profesi, 1 orang wakil asosiasi penerbangan, dan 2 orang pakar atau akademisi), dengan masa tugas empat tahun dan unsur pelaksana yang dipimpin seorang direktur eksekutif, dibantu beberapa direktur sesuai kebutuhan dengan masa kerja tiga tahun. Sementara itu, keanggotaan badan promosi pariwisata daerah sama seperti BPPI, hanya saja jangkauannya di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Kekuatan
Kehadiran badan promosi pariwisata pertama-tama memiliki tantangan untuk menyatukan berbagai kekuatan dan potensi yang ada. Kekayaan dan keunikan di tiap daerah dan negara tidak saja merupakan medan riil yang membutuhkan sentuhan manajemen yang tepat, tetapi sekaligus juga pengorganisasian yang didasari kepentingan bersama untuk memajukan pariwisata daerah dan nasional. Maka, pelestarian, penumbuhkembangan, dan kampanye seni budaya serta berbagai potensi yang dimiliki daerah menjadi suatu keniscayaan. Kelemahan dalam ranah ini merupakan cikal bakal ”pencurian” kekayaan warisan seni budaya Nusantara oleh negara lain.
Selain dasar hukum dan alokasi anggaran negara, kehadiran BPPI dan badan promosi pariwisata daerah juga memerlukan dukungan komitmen yang kuat terutama dari pihak Dewan. Banyak pengalaman menunjukkan, pemanfaatan uang negara yang dialokasikan berdasarkan keputusan Dewan mengundang prasangka buruk yang berlebihan justru dari kalangan Dewan sendiri. Kepercayaan yang besar bahwa personel badan pariwisata dapat memanfaatkan dana yang terbatas secara efektif sangatlah dibutuhkan.
Dewa Gde Satrya, Dosen dan Peneliti Pariwisata Universitas Widya Kartika Surabaya; R&D Manager Surabaya Tourism Promotion Board
Sumber: Kompas, Sabtu, 5 September 2009
No comments:
Post a Comment