-- Steph Tupeng Witin
BAGI Albert Camus, seni adalah keindahan yang menyatu dengan realitas.
La Paste (Sampar) adalah novel karyanya yang melukiskan Oran, sebuah kota kecil di negeri koloni Perancis di Aljazair yang terserang epidemi sampar. Situasi ini membuat dokter Bernard Rieux tidak berdaya dan nyaris putus asa.
Kisah ini sebenarnya menggambarkan kondisi Perancis yang saat itu tidak berdaya, nyaris putus asa di tengah cengkeraman pendudukan Nazi. Menurut budayawan Wiratmo Soekito, Sampar adalah perlawanan terhadap terorisme. Masalah sentral adalah penggunaan kekerasan (Albert Camus, Sampar. Alih bahasa: NH Dini, YOI Jakarta, 2006).
Pada 1957, Albert Camus menerima hadiah Nobel untuk kesusastraan. Saat pidato penerimaan Nobel, ia mengajak seluruh umat manusia untuk mengembalikan kedamaian dan membangun kembali bahtera persahabatan.
Ajakan ini mendapat inspirasi dari penuturan Bernard Rieux pada halaman akhir karya ini: ”Dia sadar, meski khalayak yang bersukaria itu tidak mengetahui (namun sebetulnya bisa belajar dari buku-buku) bahwa basil sampar tidak pernah mati atau menghilang selamanya. Bahwa basil dapat menetap berpuluh tahun tertidur di perabotan rumah dan pakaian. Bahwa dia menunggu dengan sabar di kamar-kamar, di kelder, di peti-peti, di sapu tangan ataupun segala alat tulis menulis beserta kertasnya” (YOI, 2006, hal 386).
Bangsa kita bersama
Goresan Albert Camus ini menginspirasi kita untuk mencita-citakan Indonesia pasca-Pilpres 2009 dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengesahkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono sebagai pemenang.
Keduanya dipercaya seluruh rakyat untuk memimpin Indonesia. Pascakeputusan MK itu, damai dan persahabatan antarkita mesti dirajut kembali di bawah kibaran bendera Indonesia. Ingar-bingar persaingan, silang sengketa, dan beda pendapat harus berakhir. Sejumlah bendera partai diturunkan. Para politisi yang selama ini berseberangan kembali berjabat tangan. Kaum intelektual dan cendekiawan berdiskusi atas nama Indonesia. Semua elemen bangsa bersatu untuk bangsa.
Saat ini, damai dan persahabatan amat dibutuhkan untuk untuk mengatasi berbagai masalah yang terus mendera bangsa. Meminjam istilah Albert Camus, bangsa ini sedang digerogoti aneka basil (bakteri), antara lain terorisme, korupsi, kemiskinan, pengangguran, dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Basil-basil ini amat dekat dengan kita. Tanpa disadari, setiap saat mereka mengancam keutuhan kita. Saat damai dan persahabatan hilang dari tengah kita, mereka akan menemukan ruang untuk memperdaya, melemahkan, dan menghancurkan.
Apa yang harus dilakukan bersama sebagai sebuah bangsa?
Pertama, merajut (kembali) Indonesia yang damai dan bersahabat. Damai dan persahabatan adalah bangunan bersama dari realitas keragaman agama, suku, ras, dan bahasa. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi perekat relasi. Pancasila menjadi suluh nurani. Egoisme kelompok dan kepentingan politik jangka pendek disingkirkan. Kita semua bersatu dan berpartisipasi untuk membangun bangsa. Keberhasilan dan kegagalan seluruh proyek pembangunan bangsa adalah tanggung jawab kita.
Kedua, segenap elemen bangsa harus mendukung pasangan SBY-Boediono yang dipercaya seluruh rakyat untuk memimpin bangsa ini. Dukungan itu diwujudkan dalam upaya mengerahkan segenap pikiran dan tenaga untuk kemaslahatan bangsa. Kita berharap agar pasangan ini memaknai kepercayaan rakyat dalam pengabdian yang tulus. Potensi-potensi alam dikembangkan mengembangkan ekonomi kerakyatan. Modal asing tetap diperlukan, tetapi selalu dalam kerangka pemberdayaan dan pengembangan ekonomi rakyat kecil. Pasar-pasar rakyat semakin diberdayakan dan dikembangkan. Kehadiran Carrefour, Giant, Hipermarket, dan sejenisnya harus diawasi agar tidak meminggirkan dan mematikan nadi usaha ekonomi rakyat kecil.
Damai dan persahabatan adalah modal membangun bangsa. Modal ini dibingkai dalam solidaritas dan kebersamaan. Kebersamaan terajut saat yang berseberangan ”berangkulan” untuk menatap masa depan bangsa.
Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng mengungkapkan, ”Indonesia tidak akan cukup hanya dibangun oleh pemenang. Bangsa ini adalah bangsa kita semua” (Kompas, 14/8/2009).
* Steph Tupeng Witin, Alumnus Magister Teologi Kontekstual STFK Ledalero; Mahasiswa Magister Komunikasi (Jurnalistik) IISIP Jakarta
Sumber: Kompas, Senin, 14 September 2009
No comments:
Post a Comment