Sunday, September 06, 2009

[Buku] Menyoroti Dimensi Sosial Agama

-- Ahmad Fatoni

• Judul Buku: Studi Agama: Perspektif Sosiologis dan Isu-isu Kontemporer • Penulis: Prof Dr Syamsul Arifin • Penerbit: UMM Press, Malang • Cetakan: I, Februari 2009 • Tebal: xviii + 380 halaman Penelitian agama sama sekali tidak dimaksudkan untuk meragukan dan mereduksi kebenaran agama, melainkan menjawab permasalahan- permasalahan yang terdapat dalam wilayah kehidupan agama.

SEJAK tahun 1990-an terjadi perubahan penting dalam dunia penelitian agama. Kegiatan penelitian agama dinilai sebagai kewajaran, untuk tidak mengatakan keharusan akademik. Obyek yang diteliti lebih terkait dengan dimensi sosial agama. Jika ada penelitian menaruh perhatian terhadap doktrin, maka yang ditelaah tentu bukan masalah benar atau salahnya, melainkan lebih tertuju pada implikasi doktrin terhadap perilaku orang yang menafsirkannya.

Buku karya Syamsul Arifin ini berusaha mengungkap secara konseptual, teori-teori sosiologis tentang agama, kiat melakukan kajian terhadap agama dengan pendekatan sosiologis, dan konsep kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Guru besar sosiologi agama ini juga mencoba menjelaskan bagaimana seseorang mengekspresikan keberagamaannya di hadapan penganut agama lain, tanpa ada benturan.

Seperti yang tecermin pada judulnya, buku ini ingin meneguhkan kembali penelitian agama dalam perspektif sosiologi. Sementara dari sisi wilayah kajian, buku ini membidik aspek historitas atas konstruksi agama.

Meneliti agama

Pada bagian awal, penulis melandasi secara epistemologis terhadap penelitian agama. Dengan merujuk pada konsep ”fusing emphaty dan objectivity” Dale Cannon dalam buku Six Ways of Being Religious: A Frame Work for Comparative Studies of Religion (1996), Syamsul menandaskan pentingnya perspektif sosiologi mikro dalam penelitian agama yang mengutamakan keterlibatan peneliti ketika menggeluti fenomena keagamaan.

Selanjutnya, penulis mengangkat pelbagai fenomena kontemporer yang berlangsung di masyarakat. Misalnya gerakan fundamentalis dan radikalis serta konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan agama, hak asasi manusia, dan kebebasan agama. Penulis juga mengangkat isu pemikiran Islam yang memiliki pertautan dengan isu-isu kontemporer tersebut.

Persoalannya, mungkinkah kita meneliti agama, terlebih agama Islam? Menurut Syamsul, agama sah-sah saja diteliti. Syamsul tentu bukan orang pertama yang berpendapat demikian. Puluhan tahun yang silam, Prof Dr A Mukti Ali tahun 1982 telah berkata begitu, tetapi banyak orang tidak setuju.

Dalam pendahuluan buku Seven Theories of Religion (1996) dikatakan, orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meneliti agama. Tilikan akademis Daniel L Pals itu sebenarnya juga terjadi di Indonesia. Misalnya, Taufik Abdullah dalam pengantar buku Metodologi Penelitian: Sebuah Pengantar (1989) pernah menceritakan keheranan seorang ulama terhadap kegiatan penelitian agama, ”Baru kali ini saya mendengar agama diteliti.” Keheranan ulama tersebut ada benarnya jika yang dimaksud adalah penelitian atas doktrin agama yang sudah terbungkus rapat oleh kredo pemeluk tiap-tiap agama. Umat beragama umumnya memandang agama sudah taken for granted dari realitas tertinggi, Tuhan, sehingga kebenarannya bersifat mutlak, monolitik, dan tidak perlu dipersoalkan lagi.

Akan tetapi, agama di lapangan menunjukkan fakta lain. Realitas agama tidak hanya berwajah tunggal. Dalam sebuah masyarakat majemuk seperti Indonesia, agama yang dianut seseorang atau sekelompok orang dihadapkan pada klaim kebenaran tiap-tiap agama, lalu tidak jarang timbul benturan, perselisihan, bahkan peperangan yang bernuansa agama.

Konflik dan kekerasan atas nama agama, tulis Syamsul, merupakan konsekuensi logis memahami agama hanya berdasarkan pendekatan teologis. Karena itu, masih menurut Syamsul, agar fenomena keberagamaan manusia itu dapat melahirkan kedamaian dan persaudaraan, sejatinya setiap penganut agama memahami keyakinan agama yang lain melalui pendekatan sosiologis.

Sayangnya, berbicara tentang penelitian agama tampak belum ada perkembangan yang berarti di Indonesia. Hal ini disebabkan dua faktor. Pertama, orang masih menyamakan antara fakta sosial dan doktrin normatif agama. Karena itu, jika ada seseorang melakukan kritik atas suatu fenomena sosial-keagamaan, ia serta-merta dianggap melecehkan suatu agama. Padahal, dalam sosiologi agama, perilaku kelompok agama lebih mencerminkan sebagai fakta sosial.

Kedua, ketika ada orang melakukan kritik atas suatu pemikiran sosial yang berlabelkan agama, ia segera dicap sebagai perusak agama. Misalnya, tatkala seseorang mengkritik ketidakadilan jender dalam komunitas suatu agama, ia secara otomatis dituduh menghina agama. Padahal, isu jender merupakan fenomena sosial yang terkait atau tidak terkait dengan persoalan agama. Intinya, masyarakat kita belum bisa memilah mana dogma agama dan mana fakta sosial.

Sosiologi

Pembacaan agama di tengah arus pluralitas, menurut Syamsul, harus disorot dari berbagai perspektif. Salah satu perspektif yang mampu meredam gejolak konflik dan meruntuhkan truth claim agama adalah sosiologi agama. Perspektif ini menawarkan sentuhan baru tentang agama.

Paling tidak, sosiologi agama menawarkan dua model pendekatan. Pertama, pendekatan ERA (Empirical Research Approach). Pendekatan ini mencoba melihat agama dari empat aspek dasar, yakni fungsional, struktural, konflik, dan significant impact. Kedua, pendekatan SCR (Social Construction of Reality). Pendekatan ini mencoba melihat agama dalam realitas majemuk sebagai sebuah produk refleksi kemanusiaan.

Untuk itu, penelitian agama dalam bingkai sosiologi agama saat ini betul-betul dibutuhkan dalam realitas masyarakat majemuk seperti Indonesia. Sebab, pendekatan sosiologi agama mencoba mendekati agama dari aspek-aspek partikularitasnya, seperti simbol agama, tradisi, dan keyakinan. Dalam konteks ini, perspektif sosiologi agama ingin menyadarkan masyarakat tentang fakta multikultural yang meniscayakan pendekatan multikulturalisme.

Mengutip Prof Dr Bakdi Soemanto, Guru Besar FIB Universitas Gadjah Mada dan Sanata Dharma, Yogyakarta, multikulturalisme merupakan pandangan saling menghargai dan menghormati dalam perbedaan dan bukan sekadar toleransi. Multikulturalisme adalah bagian dari sosiologi agama. Karena itu, solusi dasar filosofis dari persoalan-persoalan konflik antaragama yang gampang tersulut adalah adanya pembacaan baru terhadap agama, yakni sosiologi agama.

* Ahmad Fatoni, Penggiat Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang

Sumber: Kompas, Minggu, 6 September 2009

No comments: