Sunday, September 06, 2009

[Buku] Melihat Demokrasi Kita

Judul Buku : Demokrasi Lokal
Penulis : R. Siti Zuhro dkk
Penerbit : Ombak, Jogjakarta
Cetakan : 2009
Tebal : xviii + 296 halaman

CAROL C. Gould mendefinisikan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan yang di dalamnya rakyat memerintah diri sendiri, baik melalui partisipasi langsung dalam merumuskan keputusan-keputusan publik maupun dengan cara memilih wakil-wakil mereka. Atau, biasa disebut dengan istilah dari, oleh, dan untuk rakyat. Secara teoretis, Indonesia sudah masuk kategori sebagai penganut demokrasi. Tetapi, harus diingat, ia produk impor. Dengan demikian, sebagian kalangan masih meragukan kecocokan budaya politik Indonesia dengan nilai-nilai demokrasi itu.

Ada yang berkeyakinan, budaya politik lokal sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Sebab, rakyat di Nusantara sejak dulu sudah mengenal dan mempraktikkan beberapa nilai demokrasi seperti musyawarah dan gotong royong. Jadi, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah mengenal nilai-nilai budaya demokrasi. Selain itu, di sejumlah daerah yang hidup dalam masyarakat agraris, terdapat apa yang disebut dengan tradisi berembuk. Bahkan, itu sudah terlembagakan dalam bentuk unik seperti kerapatan nagari, rembuk desa, musyawarah subak, dan forum-forum musyawarah masyarakat desa lainnya.

Tapi kalangan yang lain berpendapat, nilai-nilai budaya politik lokal berbeda (bahkan bertentangan) dengan budaya politik demokratis. Nilai-nilai budaya politik demokratis adalah produk masyarakat Barat yang khas karena ia lahir dari realitas historisnya sendiri. Demokrasi berkembang setelah Eropa berada di bawah dominasi gereja selama abad pertengahan (middle age) yang berakhir dengan reformasi agama pada awal abad ke-16. Di samping itu, demokrasi berkembang secara bertahap selama dua-tiga abad setelah melalui wacana publik yang dimotori oleh para filsuf. Nilai-nilai demokrasi yang terbentuk kemudian menjadi nilai-nilai ideal yang dianggap sebagai kebenaran mutlak (dogmatis).

Maswadi Rauf, misalnya, dalam prolognya untuk buku Demokrasi Lokal ini, justru lebih sepakat dengan kalangan kedua tersebut. Dia menjelaskan, masyarakat Indonesia memang memiliki beberapa nilai demokrasi (seperti musyawarah dan gotong royong), namun nilai-nilai tersebut hanyalah dua unsur di antara sekian banyak unsur penting lainnya yang harus ada apabila demokrasi ingin ditegakkan. Dua unsur itu saja tidak akan mampu menghasilkan sistem politik demokratis karena masih diperlukan sejumlah nilai dan lembaga politik lainnya.

Ada dua nilai penting lainnya yang perlu diperhatikan, yaitu kebebasan dan kesamaan (equality). Dua nilai tersebut tidak terdapat dalam budaya politik lokal Indonesia karena budaya paternalistik yang masih kuat. Dengan begitu, kebebasan masyarakat masih terbatas. Di samping itu, masih terdapat budaya feodalisme dan primordialisme (suku, agama, ras, dan pengelompokan sosial lainnya yang dianut secara emosional) yang justru bertabrakan dengan nilai-nilai budaya demokrasi.

Berdasar dua pandangan itu, tidaklah dapat disimpulkan secara ekstrem bahwa budaya politik demokratis sama sekali tidak memiliki akar sosiokultural dalam masyarakat Indonesia dan atau sebaliknya, nilai-nilai demokrasi sudah hidup dan berkembang dalam budaya lokal masyarakat sejak berabad-abad lamanya. Persoalan itulah yang sebenarnya ingin dijawab dalam buku Demokrasi Lokal hasil penelitian R. Siti Zuhro dan rekan-rekannya ini. Penelitian tersebut dilakukan di empat tempat di Indonesia, yaitu Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Bali.

Hasil penelitian itu, antara lain, menjelaskan bahwa proses pelaksanaan demokrasi di Jawa Timur tidak terlalu mengalami kesulitan. Transisi demokrasi di tingkat nasional, mulai Orde Baru sampai era reformasi, kesadaran politik masyarakat cenderung tumbuh dan berkembang relatif pesat, yang pada gilirannya menjadi modalitas demokrasi lokal yang cukup penting di masa yang akan datang. Sekalipun kawasan Jawa Timur terbagi dalam tiga tipologi budaya (arek, mendalungan, dan mataraman), dalam hal dinamika dan partisipasi politik, masyarakatnya tidak berbeda. Hal itu terlihat dalam peningkatan minat masyarakat untuk turut serta dalam pemilihan umum (pilkada dan pilkades), menguatnya tuntutan masyarakat terhadap transparansi dan akuntabilitas publik, aksi demonstrasi dalam memprotes segala penyelewengan kekuasaan, kritik terhadap kinerja parpol dan pejabat publik, dan sebagainya. Kemudian, itu ditambah dengan peran beragam LSM dan media massa dengan kesadaran politik yang meningkat secara eksponensial (hlm. 84).

Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Sulawesi Selatan yang masyarakatnya dinamis. Di daerah itu, seorang yang bukan bangsawan bisa menjadi pemimpin sepanjang dia memiliki kepintaran (toacca), kekayaan (tosugik), dan keberanian (towarani) (hlm 156).

Kondisi di dua daerah tersebut berbeda dengan yang terjadi di Sumatera Barat dan Bali. Di Sumatera Barat, tidak mudah mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi. Itu terjadi -di samping karena belum tersosialisasikannya nilai-nilai demokrasi- karena kelompok elite cenderung resistan dengan kaidah-kaidah demokrasi. Sebab, hal tersebut dianggap menggerogoti kepentingannya, seperti keharusan adanya transparansi. Masyarakat dan elite lokal terbiasa dengan budaya tak demokratis. Antara lain, kekerasan, korupsi, dan penyimpangan kekuasaan. Namun, tidak berarti di daerah tersebut tidak ada nilai-nilai demokrasi. Sebab, karakter terbuka masyarakat Minangkabau juga berimplikasi pada aras sosial, yakni berkembangnya egalitarianisme (hlm 107).

Sedangkan di wilayah Bali, demokrasi justru tidak sama dengan pengertian demokrasi yang dipahami secara universal. Ada nilai-nilai yang dianggap demokratis tapi tidak dilaksanakan dalam praktik demokrasi. Masyarakat setempat menganggapnya sebagai hal yang sudah seharusnya karena ia bersinggungan langsung dengan sistem organisasi sosial dan ritual keagamaan. Dalam hal politik dan kepemimpinan, budaya paternalistik masih cukup kuat. Dengan demikian, tokoh masyarakat dan pemuka agama memiliki kontribusi besar dalam kebijakan publik. Sekalipun demikian, nilai-nilai demokrasi masih memiliki ruang berkembang karena masyarakat setempat terbiasa dengan heterogenitas. Karena itu, egalitarianisme -sebagai salah satu unsur demokrasi- tercipta dengan baik (hlm 212).

Dengan demikian, terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, buku ini layak untuk dikonsumsi guna memperluas khazanah bagaimana sebenarnya demokrasi bersinggungan dengan budaya politik lokal Indonesia. Sehingga, masyarakat akan dapat menyimpulkan apakah demokrasi cocok untuk bangsa Indonesia yang memiliki heterogenitas tinggi ini ataukah tidak? (*)

Moh. Asy'ari Muthhar, Peneliti PSIK Universitas Paramadina Jakarta

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 6 September 2009

No comments: