Jakarta, Kompas - Kurikulum SMK seni tradisional perlu dibuat lebih kreatif untuk memenuhi kebutuhan pasar. Selama ini, kurikulum SMK seni tradisional terlalu terpatok pada aturan- aturan lama sehingga tak sesuai dengan tuntutan.
Sunardi, Ketua Himpunan SMK Kesenian Nusantara, di Yogyakarta, Senin (7/9), mengatakan, hal ini terutama terlihat pada kurikulum SMK jurusan pedalangan. Kurikulum di jurusan ini masih mengutamakan pembelajaran wayang klasik yang berlangsung semalam suntuk.
”Padahal, sekarang peminat wayang klasik terbatas pada kalangan orang tua. Kondisi masyarakat umumnya tidak memungkinkan lagi untuk menonton wayang semalam suntuk karena harus sekolah atau bekerja esok harinya,” ujar Sunardi yang juga Kepala SMKN 1 Kasihan Bantul, Yogyakarta.
Menurut dia, kurikulum SMK pedalangan perlu diarahkan pada pertunjukan wayang yang lebih ringkas dan padat. Kurikulum juga perlu mengajarkan cara-cara menyajikan pertunjukan untuk anak-anak maupun remaja, misalnya wayang untuk murid TK dan SD atau wayang khusus jenjang SMP dan SMA. ”Ini tentu butuh keterampilan dan kreativitas yang berbeda,” ujarnya.
Selain itu, jeda waktu antara pelajar lulus hingga menjadi dalang profesional juga perlu menjadi pertimbangan dalam kurikulum. Seorang pelajar SMK seni tradisional perlu dibekali kompetensi lain agar bisa digunakan di bangku kuliah atau di lapangan kerja sebelum mereka bisa menggunakan keterampilannya.
Ikut pelaku tradisional
Lulusan SMK jurusan pedalangan, misalnya, rata-rata butuh 7-10 tahun sebelum bisa menjadi dalang profesional. Dalam masa itu, calon dalang tersebut biasanya nyantrik (mengikuti dalang lebih senior untuk menambah ilmu dan memperkenalkan diri kepada pasar).
”Untuk mengantisipasi hal itu, semua murid di SMKN 1 Kasihan Bantul juga mendapat pelajaran gitar, batik, dan komputer,” kata Sunardi.
Selain di sekolah, sebagian pelajar SMK seni tradisional juga mengasah keterampilan di sejumlah sanggar. Salah satu pelajar Jurusan Pedalangan SMKN 1 Kasihan Bantul, Aji Purba Saputra (18), misalnya, saat ini mengikuti tiga sanggar pedalangan di Bantul dan Sleman. ”Saya bisa lebih banyak praktik mendalang. Di sekolah hanya pengetahuan dasar,” katanya.
Aji berencana melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi ke jurusan yang menunjang keterampilan mendalang. ”Kalau tidak ambil Pedalangan di Institut Seni Indonesia, saya mau ambil Sastra Jawa,” tuturnya.
I Nengah Maja, Wakil Kepala SMKN 10 Bandung, mengatakan, pelajaran seni tari sunda dan karawitan di SMK sekitar 70 persen praktik dan 30 persen teori. Para siswa diajarkan menguasai teknik dasar seni tradisional. Penguasaan seni tradisional juga diajarkan seniman-seniman lokal. Perlu kerja sama semua pihak untuk mengembangkan seni budaya tradisional seperti ini.
Menurut Nengah, lulusan SMK seni jurusan tari sunda dan karawitan lebih banyak yang melanjutkan ke pendidikan tinggi di perguruan tinggi seni atau perguruan tinggi umum. ”Mereka lebih percaya diri dengan melanjutkan pendidikan tinggi untuk masa depan,” katanya.
Fasli Jalal, Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, mengatakan, dukungan untuk lembaga pendidikan yang bergelut di bidang seni tradisional, baik SMK kesenian maupun perguruan tinggi, harus dilakukan berkesinambungan. ”Aset budaya bangsa itu harus diperkenalkan secara luas sampai ke mancanegara,” katanya.
Tahun ini pemerintah memberikan dana masing-masing Rp 1 miliar untuk perguruan tinggi seni agar bisa melakukan pertunjukan atau promosi budaya di luar negeri. Untuk pendidikan seni di perguruan tinggi umum, ada bantuan senilai Rp 500 juta.
Peluang membuka jaringan menggelar pertunjukan budaya dan kerja sama dengan negara- negara lain diharapkan dapat mendorong berkembangnya seni budaya bangsa yang beragam. Perguruan tinggi seni juga bisa menggandeng SMK seni. (IRE/ELN/LUK)
Sumber: Kompas, Selasa, 8 September 2009
No comments:
Post a Comment