MASIH segar dalam ingatan, kemarahan umat Islam di sejumlah negara gara-gara 12 kartun tentang Nabi Muhammad SAW yang dimuat di harian Denmark, Jyllandsposten, 30 September 2005. Agar tidak lagi terulang, Perserikatan Bangsa-Bangsa didesak untuk menyusun kode etik internasional media massa soal keyakinan umat beragama.
Kartun-kartun itu juga memicu perdebatan sengit antara kubu pendukung perspektif kebebasan berekspresi dan perspektif kesetaraan. Bagi ”kubu kebebasan berekspresi”, kartun- kartun itu sah-sah saja sebagai bentuk ekspresi dan kebebasan pers. Namun dari perspektif ”kubu kesetaraan”, kartun-kartun itu menyinggung Muslim.
Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Nezar Patria, dalam diskusi dan peluncuran buku Camden Principles on Freedom of Expression and Equality, terbitan ARTICLE 19 (organisasi HAM pejuang kebebasan berekspresi) dari London, Inggris, Kamis (17/9) di Jakarta, kebebasan berekspresi kerap berbenturan dengan masalah fundamental lain, misal dalam liputan tentang terorisme dan konflik horizontal.
Di satu sisi, media massa memiliki hak bebas berekspresi, di sisi lain, ekspresi yang bebas justru menjadi diskriminasi bagi kelompok-kelompok tertentu.
Dalam prinsip-prinsip umum, Camden Principles on Freedom of Expression and Equality didapatkan ada titik temu antara kebebasan berekspresi dan kesetaraan.
Pengacara hukum senior ARTICLE 19, Toby Mendel, memberi pandangan berbeda. ”Saya bisa mengerti mengapa Muslim tersinggung. Tetapi saya kira kita harus bisa bertoleransi pada perkataan yang sangat menyakitkan sekalipun,” kata Toby, asal Kanada.
Menurut tokoh pers Bambang Harymurti, pernyataan Toby ada benarnya. Ini sebenarnya masalah perbedaan budaya antara tradisional dan modern. Masyarakat tradisional peka terhadap perbedaan pendapat terutama penghinaan, tetapi tidak peka pada kekerasan fisik. Sebaliknya, masyarakat modern semakin tidak toleran pada kekerasan fisik, tetapi toleran pada kebebasan berpendapat.
Dalam Prinsip-prinsip Camden (prinsip ke-12) disebutkan, ”Negara sebaiknya mengadopsi legislasi yang melarang advokasi kebencian antarbangsa, ras, atau agama yang mengandung penyebarluasan diskriminasi, kebencian atau kekerasan (ungkapan kebencian)”. Sistem hukum nasional sebaiknya memperjelas istilah kebencian dan kekerasan yang mengacu pada perasaan merendahkan, menghina, dan membenci yang ditujukan pada kelompok tertentu.
Toby mengakui sulitnya interpretasi definisi dan batasan perkataan yang mengandung kebencian dan provokasi (hate speech). ”Harus jelas batasannya. Prasangka atau sekadar kata-kata negatif tidak bisa digolongkan hate speech. Pernyataan itu harus emosional dan disengaja untuk menyerang seseorang atau kelompok tertentu. Negara juga tidak bisa asal larang dan tangkap orang yang berprasangka atau mengeluarkan opini negatif,” kata Toby. (LUKI AULIA)
Sumber: Kompas, Rabu, 23 September 2009
No comments:
Post a Comment