Sunday, September 27, 2009

[Buku] Indonesia v Malaysia

Judul buku : Ganyang Malaysia!: Hubungan Indonesia-Malaysia sejak Konfrontasi sampai Konflik Ambalat
Penulis : Efantino F. & Arifin S.N.
Penerbit : Bio Pustaka, Jogjakarta
Terbit : Pertama, 2009
Tebal : 210 halaman

HARI-HARI ini, ketegangan an¬tara Indonesia-Malaysia kemba¬li menyeruak. Pasalnya, Malaysia kembali "mengklaim" salah satu seni budaya Indonesia. Tari pendet yang asli produk seni bangsa Indonesia tiba-tiba diakui sebagai milik negeri jiran itu. Pengakuan terbaru tersebut me¬nambah daftar panjang klaim seca¬ra sepihak dari Malaysia atas aset se¬ni dan budaya kita. Sebelumnya, ang¬klung dan batik telah diklaim seba¬gai warisan budaya Malaysia.

Bukan hanya aset seni dan budaya yang dijadikan sasaran empuk untuk dicaplok. Belum lama berselang, klaim Malaysia atas Ambalat telah menjadikan hubungan dua negara tersebut menuju ke medan perang. Di tengah ketegangan yang belum reda mengenai Ambalat, tiba-tiba Malaysia memasukkan Pulau Je¬mur di Kepulauan Riau sebagai salah satu tujuan wisatanya.

Pertanyaan kita, mengapa Malaysia yang penduduk dan wilayahnya jauh lebih kecil daripada Indonesia berani bertindak seperti itu? Me¬ngapa Malaysia dengan sangat berani melakukan berbagai tindakan pelecehan terhadap rakyat dan bangsa Indonesia? Bagaimana dinamika hubungan Indonesia-Malaysia selama ini? Sejak kapan (dan dalam kondisi Indonesia yang seperti apa) berbagai tindakan pelecehan itu dilakukan? Apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia untuk menjawab tantangan Malaysia itu?

Buku yang ditulis dua sarjana pendidikan sejarah Universitas Nege¬ri Yogyakarta tersebut berusaha menjawab berbagai pertanyaan itu.

Ganyang Malaysia

Hubungan Indonesia-Malaysia berlangsung jauh sebelum kolonialis¬me Eropa menginjakkan kaki di Asia Tenggara. Hubungan keduanya diikat dalam bingkai Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Setelah periode kolonialisme, keduanya terpisah; Indonesia dijajah Belanda, sedangkan Malaysia menjadi jajahan Inggris. Meski sudah berlangsung lama, hubungan negara serumpun itu se¬ring mengalami pasang-surut.

Hubungan keduanya pernah kembali bersemi pada masa pendudukan Jepang di Asia Tenggara. Ketika sama-sama menjadi jajahan Jepang, muncul keinginan untuk bersatu. Sebagian rakyat Malaya yang terpengaruh ajaran nasionalisme Indonesia pernah memunculkan keingin¬an untuk bergabung dengan Indonesia. Namun, keinginan tersebut sirna dengan sejumlah pertimbangan (hlm vii). Soekarno khawatir akan menghadapi dua musuh sekaligus jika Malaya bergabung dengan Indonesia: Belanda dan Inggris.

Pada 17 Agustus 1945, bangsa In¬donesia memproklamasikan keme¬r¬dekaan. Malaya dan Kalimantan Utara yang dikuasai Jepang dikembalikan kepada Inggris. Pada 31 Agustus 1957, Inggris memberikan kemerdekaan kepada Malaya. Pemberian kemerdekaan kepada Malaya tanpa perlawanan ber¬arti memunculkan kecurigaan pemerin¬tah Indonesia, khususnya Bung Karno. Kecurigaan itu bertambah karena Inggris tetap mengatur pertahanan dan hubungan luar negeri Malaya. Selain itu, Malaya sering dijadikan pangkalan Amerika Serikat dan Inggris untuk membantu PRRI/Permesta (hlm viii).

Saat itu kecurigaan Bung Karno harus ditempatkan dalam konteks perang dingin, kala kekuatan kolonialis dan imperialis tetap berusaha menguasai negara-negara dunia ketiga. Darah Bung Karno mendidih ketika pemimpin Malaya Tengku Abdurrahman me¬ngusulkan ide pembentukan Federasi Malaysia yang meliputi Malaya, Si¬ngapura, dan Kalimantan Utara.

Ide pembentukan Federasi Malaysia dijawab Indonesia di bawah sang pemimpin besar revolusi, Bung Karno, lewat politik konfrontasi dengan Malaysia. Konflik itu berusaha diredam via jalur diplomasi yang melibatkan PBB dengan membentuk sebuah tim. Secara cepat tim tersebut mengambil keputusan bahwa rakyat Kalimantan Utara mendukung penggabungan dalam Federasi Malaysia (hlm 176).

Akhirnya, pada 16 September 1963 Fe¬derasi Malaysia diumumkan. Pada ha¬ri yang sama, muncul demons¬trasi an¬ti-Indonesia di Kuala Lumpur. Para de¬monstran menyerbu gedung KBRI, me¬robek-robek foto Soekar¬no, memba¬wa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tengku Abdurrahman dan memaksanya untuk menginjaknya.

Amarah Bung Karno meledak! Esok harinya, 17 September 1963, Indonesia langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan Inggris dan Malaya serta menyita perusahaan milik Inggris di Indonesia. Selanjutnya, Bung Karno melancarkan gerakan yang terkenal dengan istilah Ganyang Malaysia.

Gelora Ganyang Malaysia meredup setelah 1965, bersamaan dengan ber¬akhir¬nya kekuasaan Bung Karno. Pada 28 Mei 1966 pemerintah Indonesia me¬ngu¬mumkan penyelesaian konflik. Nor¬malisasi hubungan pun berlangsung.

Sejak itu, hubungan kedua negara serumpun semakin baik, terlebih sejak Orde Baru di bawah Soeharto. Hubungan politik, militer/kemanan, dan ekonomi semakin intens. Di ranah hiburan, berbagai pertukaran duta di antara keduanya juga berjalan. Di bidang pendidikan, putra-putra terbaik Malaysia dikirim ke Indonesia untuk menimba ilmu. Hasilnya, pendidikan di Malaysia le¬bih maju daripada Indonesia.

Malaysia Kembali Berulah

Hubungan baik selama Orde Baru mulai retak pada era reformasi, di¬mulai dengan banyaknya TKI yang disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi. Mereka menjadi tontonan yang sering ditunjukkan di media Indonesia. Selain itu, lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia memberinya kepercayaan diri yang tinggi.

Tampaknya, di benak rakyat dan pemimpin Malaysia terbentuk persepsi bahwa Indonesia telah mereka kuasai secara politik dan ekonomi. Sehingga, dengan penguasaan dua bidang itu, Malaysia berpikir bahwa menguasai bidang lain akan lebih mudah. Misalnya klaim Malaysia atas aset seni dan budaya Indonesia. Jika ada perlawanan dari Indonesia, tampaknya Malaysia sudah menyiapkan sejumlah jurus formal yang tersedia dalam tata hubungan internasional.

Secara internal, bangsa Indonesia, khususnya pemerintah, dianggap lemah, tidak bergigi, dan tidak punya daya tawar serta alpa mengurus aset yang dimiliki sehingga dengan mudah bisa berpindah tangan.

Dalam kaitan dengan hubungan Indonesia-Malaysia yang panas itu, "Ganyang Malaysia!" sebagaimana judul buku ini mengingatkan sekaligus memberikan spirit bahwa rakyat dan pemimpin Indonesia harus tetap menjaga harga diri, martabat, keutuhan, dan kedaulatan Negara Republik Indonesia terhadap ancaman dari luar, termasuk Malingsia. (*)

M. Nursam, Sejarawan dan GM Penerbit Ombak Jogja

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 27 September 2009

1 comment:

Fenomena Zaman said...

Salam saudara. Saya Adli dari Malaysia. Berkenaan isu hangat antara Malaysia dan Indonesia usah kita melatah antara satu sama lain. Jika memang wujud khilaf antara dua negara ini pun bukankah ia lebih wajar ditegur dengan cara hormat dan santun? Bukankah kita saudara serumpun?