-- Ahmad Nyarwi*
DI tengah seminar internasional di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), kami ikut tour dan informal meeting dengan sejumlah kolega akademisi dari fakultas ilmu sosial dan ilmu budaya universitas itu. Tour antara lain ke Kuala Lumpur dan Putra Jaya, ibu kota kebanggaan Malaysia.
Ketika sampai di depan kantor Perdana Menteri Malaysia, saya bertanya kepada kolega dari UKM tentang ”kemegahan” Putra Jaya. Kota yang masih sepi, tetapi mengapa dibangun semegah itu? Untuk apa? Seorang dosen UKM menjawab, ”Putra Jaya” dibangun sebagai ibu kota negara dan disiapkan untuk tiga ratus tahun ke depan?
Rupanya Malaysia sudah jauh memikirkan perjalanan negerinya hingga tiga ratus tahun ke depan. Ini berbeda dengan yang kita hadapi dan dipikirkan elite politik di Indonesia.
Dalam acara makan malam, saya sempat berdiskusi dengan peserta seminar dari beberapa negara di Asia seputar isu-isu di Asia Tenggara, terutama Malaysia dan Indonesia. Di tengah percakapan itu, seorang kawan dari Indonesia yang sedang kuliah doktoral di UKM berkelakar dengan pertanyaan. ”Apa perbedaan mendasar antara Indonesia dan Malaysia sebagai negara- bangsa?” Teman saya menjawab, ”Indonesia memiliki masa lalu, tetapi tidak memiliki masa depan. Sebaliknya, Malaysia memiliki masa depan, tetapi tidak memiliki masa lalu.”
”Mutilasi” warisan budaya
Kelakar itu bukan sekadar banyolan. ”Kegelisahan” Malaysia akan ”masa lalu” membuat tindakan mereka ”nakal dan brutal” yang memancing kemarahan kita. Dalam membangun pariwisata, mereka membabi buta, sederet warisan budaya Indonesia di-”mutilasi” Malaysia. Lagu ”Rasa Sayange”, angklung, batik, reog ponorogo, dan yang terakhir tari pendet dari Bali bisa jadi akan terus ”dimutilasi” dan digunakan Malaysia dalam iklan pariwisata.
Eksistensi negara-bangsa secara normatif ditentukan oleh kemampuannya dalam merespons sejumlah tantangan mendasar. Roger King dan Gavin Kendall (2004:3-8) dalam The State, Democracy and Globalization menyampaikan empat tantangan utama yang akan terus menguji eksistensi negara-bangsa. Keempat tantangan itu ialah globalisasi, kekuatan supra state, fragmentasi wilayah nasional, dan meningkatkan sikap politik apatis terhadap negara, juga perubahan gaya hidup.
Fakta obyektif menunjukkan, kita belum maksimal mengelola peluang dari proses globalisasi. Kita bahkan masih menjadi obyek berbagai kekuatan supra state di level regional dan global.
Otonomi dan desentralisasi masih menyisakan krisis ”kapasitas pemerintahan daerah” dan krisis identitas politik lokal pembangunan NKRI. Soal gaya hidup, warisan budaya tradisional kita juga kian jauh terpinggirkan dari memori publik, baik generasi tua, apalagi generasi muda, di tengah gelombang ”budaya baru” yang terus menjamur.
Masalah serius yang sedang kita hadapi adalah ”mutilasi” warisan budaya. Ini merupakan modus baru yang mengancam eksistensi Indonesia, sebagai sebuah negara-bangsa.
Sebagaimana pendapat Roger King dan Gavin Kendall (2004:11), ancaman eksistensi negara-bangsa tidak hanya terkait pelecehan terhadap simbol- simbol bendera, bahasa, dan simbol nasional lainnya. Ancaman juga muncul dari hilangnya warisan budaya bangsa, baik karena proses internal maupun eksternal, seperti kasus ”mutilasi” yang dilakukan Malaysia terhadap warisan budaya kita.
Belum terlambat
Kasus ”mutilasi” warisan budaya ini tidak dapat dihadapi layaknya kasus kriminal. Sebab, ”mutilasi” warisan budaya jauh lebih berbahaya daripada ”perang dan ancaman fisik” yang dihadapi negara-bangsa.
”Mutilasi” warisan budaya ini sering tidak kita sadari karena Indonesia ”terlalu” merasa kaya dengan berbagai warisan budaya yang dimilikinya. Perubahan kesadaran secara radikal kian dibutuhkan karena Indonesia sebagai negara-bangsa belum mampu memiliki konstruksi imaji masa depan secara jelas.
Berbagai persoalan publik, seperti korupsi, krisis lapangan kerja, kemiskinan, problem pendidikan, dan pariwisata, masih cenderung diselesaikan dengan target jangka pendek. APBN kita barangkali memang tidak akan memadai untuk merancang ”narasi emas” bangsa Indonesia untuk seratus tahun, dua ratus tahun, atau bahkan tiga ratus tahun ke depan.
Kendati demikian, para elite politik negeri ini harus segera menawarkan jawaban akan ”narasi emas” masa depan Indonesia untuk puluhan atau bahkan ratusan tahun mendatang.
Hal ini tidak mudah karena lembaga-lembaga publik dan pemerintahan kita juga masih dipenuhi oleh barisan ”generasi short cut” yang terus rabun dengan dan tergagap ketika ditanyakan seputar ”narasi emas” Indonesia, puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun mendatang.
Akibatnya, kita cenderung ”berjalan lambat” dan ”rabun” terhadap berbagai persoalan yang akan mengancam eksistensi Indonesia di masa depan. ”Narasi emas” sebagai potret masa depan Indonesia kita butuhkan sebagai jawaban atas krisis itu.
Semuanya belum terlambat jika kita memulainya dari sekarang.
* Ahmad Nyarwi, Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Sumber: Kompas, Senin, 7 September 2009
No comments:
Post a Comment