Sunday, September 06, 2009

Willy, Sebuah Kenangan

-- Ajip Rosidi*

WAKTU ada yang memberitahu bahwa Rendra dirawat di RS Harapan Kita, saya tidak bisa menjenguknya. Fisik saya pun perlu perhatian karena terseret oleh umur. Saya mencoba menahan diri tidak pergi ke Jakarta atau tempat yang jauh dari Pabelan untuk beberapa lama. Saya hanya meminta anak saya, Titi Surti Nastiti yang tinggal di Jakarta untuk mewakili saya menjenguknya. Menurut Titi, Willy menerimanya dengan ceria dan seperti biasa membicarakan buku Titi (tesis S-2nya) yang berjudul Pasar di Jawa (Pustaka Jaya, 2003). Willy sangat memuji buku itu. Di mana-mana, dan terhadap siapa pun dia sering menganjurkan agar membacanya.

Baru pada 2 Agustus 2009, ketika saya pergi ke Jakarta untuk menghadiri promosi S-3 Titi di UI yang diselenggarakan pada 4 Agustus, saya menjenguk Willy di RS Mitra Keluarga di Kelapa Gading. Dia harus pindah dari RS Harapan Kita karena ternyata jantungnya tidak mengkhawatirkan, tetapi ginjalnya bermasalah: dia harus cuci darah.

Waktu saya berdua dengan istri datang, Willy sedang tidur karena malamnya tidak bisa tidur sampai pagi. Saya tidak mengganggunya. Di kamarnya kecuali istrinya, ada A`u (Clara Shinta), anaknya dari Sunarti, dan beberapa orang anggota Bengkel Teater yang menjaganya.

Dari isterinya, Ken Zuraida, saya mendengar bahwa Willy sering bercerita tentang persahabatan kami kepada para anggota Bengkel Teater. Dia banyak bercerita tentang saya dan persahabatan kami.

Waktu Willy terjaga, saya dekati dan saya ajak bicara. Istri saya juga mengajaknya beristirahat di Pabelan. Akan tetapi, Willy diam saja. Matanya menatap tak berkedip, lalu tangannya mengusap-usap tangan saya. Tetapi sampai saya pulang tak sepatah pun keluar kata-katanya, padahal saya berdiri di sampingnya hampir satu jam. Hanya sempat selintas saya lihat ada air yang tergenang di matanya. Saya mengira dia tidak mampu berbicara karena sakitnya. Baru ketika saya berkunjung ke rumahnya di Cipayung setelah dia dimakamkan (saya tak bisa menghadiri pemakamannya karena pada saat yang sama saya ada acara di Bandung yang tak bisa saya tinggalkan, sehingga saya baru pergi ke Cipayung setelah acara saya di Bandung selesai), dari Ida saya mendengar bahwa setelah saya pulang, Willy menyatakan kegembiraan dan kebahagiaannya karena saya tengok. Menurut Ida, kegembiraannyalah yang menyebabkan dia tidak mampu berbicara.

***

SEPERTI yang ditulis oleh Willy sendiri dalam sumbangannya buat buku Jejak Langkah Urang Sunda Ajip Rosidi 70 Tahun (Kiblat, Bandung, 2008), kami pertama kali bertemu pada 1954 ketika saya menghadiri Kongres Kebudayaan yang diselenggarakan di Solo. Kami berdua masih duduk di SMA, tetapi sajak-sajak kami sudah banyak dimuat dalam majalah-majalah terkemuka pada masa itu seperti Kisah, ruangan Gelanggang pada warta sepekan Siasat, Mimbar Indonesia, dan lain-lain. Benar pula saya banyak memperkenalkan kawan-kawan pengarang Jakarta kepadanya. Tetapi dia salah ingat kalau saya memperkenalkan dia dengan S.M. Ardan, Riyono Pratikto, Asrul Sani, dan Nuraini Sani di Kongres Kebudayaan itu karena mereka tidak menghadirinya. Juga Kirdjomuljo dan Achmad Kassim tidak mungkin saya perkenalkan waktu itu karena saya sendiri belum mengenalnya.

Sejak perkenalan di Kongres Kebudayaan Solo itu, saya beberapa kali berkunjung ke Solo, bahkan pernah menginap di rumahnya. Dan jika Willy sendiri beberapa kali berkunjung ke Jakarta, biasanya ia menginap di rumah yang saya tempati. Malah ketika saya menikah, dialah yang mendandani saya memakai kain panjang dan jas hitam. Dia sengaja datang ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan saya itu. Ketika berkunjung ke Jakarta itulah saya banyak memperkenalkannya dengan kawan-kawan pengarang seperti S.M. Ardan, Sukanto S.A., Riyono Praktiko (tinggal di Bandung tetapi sering berkunjung ke Jakarta), Toto S. Bachtiar, Ramadhan K.H., bahkan dengan H.B. Jassin, Mochtar Lubis, Asrul Sani, dan lain-lain.

Setamat SMA dia pindah ke Yogyakarta, melanjutkan studinya di jurusan Bahasa Inggris di Fakultas Sastra UGM. Pada waktu itu, dia kian aktif dalam bidang teater. Saya yang tinggal di Jakarta tidak mengikuti semua kegiatannya dalam bidang teater, walaupun saya mengikuti beritanya dalam majalah atau dari cerita kawan-kawan. Yang sempat saya tonton adalah ketika dia mempertunjukkan lakon karya Bernard Shaw, Arms and the Man, di Gedung Kesenian Jakarta. Saya kira tidak lama sebelum dia berangkat ke Amerika, sekitar 1964.

Akan tetapi, saya menyaksikan pertunjukan "Bip-Bop", teater eksperimental sebagai buah tangannya dari Amerika. Pertunjukan "Bip-Bop" yang dilangsungkan di Balai Budaya, Jakarta itu, menimbulkan kehebohan karena di dalamnya hampir tak ada kalimat yang diucapkan para pemainnya, sehingga ada yang menyebutnya sebagai "teater minikata". Dalam "Bip-Bop", tak ada lakon, tak ada dialog, kata-kata yang kadang-kadang diucapkan nyaris tidak mengandung arti apa-apa. Dalam suatu kesempatan Willy pernah mengatakan bahwa "Bip-Bop" itu adalah hasil observasinya melihat latihan-latihan teater selama dia merantau di Amerika. Sebenarnya, katanya, pertunjukan itu merupakan latihan berakting di atas panggung. Oleh karena itu, setelah menciptakan beberapa pertunjukan seperti "Bip-Bop" yang juga sukses akhirnya Willy kembali ke teater "tradisional", yaitu pertunjukan dengan lakon dan dialog para pemainnya. Hal itu dia lakukan setelah membentuk Bengkel Teater dan kami di Dewan Kesenian Jakarta memintanya untuk mengisi acara teater bersama grup teater lainnya seperti Teater Populer (pimpinan Teguh Karya), Teater Ketjil (pimpinan Arifin C. Noer), dan Teater Mandiri (pimpinan Putu Wijaya). Masing-masing mendapat kesempatan untuk berpentas empat kali setahun di TIM. Dengan Bengkel Teater Willy banyak memanggungkan lakon klasik terjemahan baik karya Sophocles ("Oedipus Sang Raja", "Oedipus di Kolonus", "Antigone"), Aristophanes ("Lystirata"), Shakespeare ("Hamlet", "Julius Caesar", "Macbeth"), Bertold Brecht ("Informan"), dan lain-lain, di samping mempertunjukkan lakon yang ditulis oleh Willy sendiri seperti "Sekda", "Perjuangan Suku Naga", dan "Panembahan Reso".

Kecuali "Bip-Bop", sepulang dari Amerika itu Willy juga menyerahkan naskah kumpulan sajak Blues untuk Bonnie yang saya terbitkan melalui penerbit Tjupumanik (Jatiwangi, 1971) yang merupakan kumpulan sajaknya yang paling kuat. Di samping itu, dia juga membawa kegelisahan rohani bertalian dengan keyakinan agamanya. Seperti diketahui, Willy lahir dalam keluarga yang taat dan banyak sajak yang ditulisnya (terutama yang dimuat dalam Balada Orang-orang Tercinta (1957) dan Sajak-Sajak Sepatu Tua (1972) yang memperlihatkan hal itu. Tetapi agaknya dia merasa tidak betah dalam agama orang tuanya itu. Selama di Amerika dia mulai mencari agama yang dirasakan lebih pas untuk jiwanya. Dia mempelajari agama Buddha, dan juga mulai menaruh perhatian kepada Islam. Pada pertemuan-pertemuan pertama setelah di kembali di tanah air, dia banyak bertanya tentang Islam kepada saya dan kawan-kawan yang lain. Kemudian dia tertarik oleh naskah Barzanji yang diterjemahkan oleh Syu`bah Asa yang dia pentaskan bersama Bengkel Teater. Pertunjukan itu mendapat sambutan hangat dari penonton dan kritikus sehingga sempat dipertunjukkan di berbagai kota (di antaranya Gedung Merdeka, Bandung) dan kemudian pertunjukan itu dikelilingkan di seluruh provinsi di Aceh.

Saya kira tidak kecil pengaruh pengalamannya mementaskan Barzanji itu sehingga ia sampai pada keputusan untuk memeluk agama Islam. Willy sendiri kemudian kalau ditanya kapan dia pertama membaca syahadat, suka mengatakan bahwa dia membaca syahadatnya malam-malam, di pantai Karangtritis, berteriak langsung ke langit ke hadirat Allah SWT. Akan tetapi, saya menyaksikannya membaca syahadat di depan K.H. Ghafar Ismail di rumah tempat tinggal Taufiq Ismail di lingkungan TIM. Kemudian, Taufiq berdua dengan saya membuat kesaksian tentang hal itu. Kesaksian itu saya muatkan dalam Hidup Tanpa Ijazah (Pustaka Jaya, 2008, k. 431).

Beberapa waktu kemudian, Willy menikah lagi dengan Sitoresmi yang bersedia dimadu dengan istri pertamanya, Sunarti. Mereka hidup serumah dan kerukunan keduanya menjadi bahan berita pers yang tak berkeputusan. Banyak yang mengatakan bahwa Willy masuk Islam hanyalah agar dia bisa bermadu. Tetapi hal itu tidak benar. Sebagai orang yang menyaksikan proses kegelisahan Willy dalam agama dan menyaksikan dia mengucapkan syahadat, saya yakin bahwa ada sebab yang lebih dalam lagi yang menyebabkan Willy membaca syahadat. Hal yang dapat disaksikan dengan kesungguhannya dalam menjalankan syariat sehari-hari seperti salat, walaupun dia tidak segera meninggalkan kebiasaannya meminum minuman keras. (Ketika dia berkunjung beberapa hari ke rumah saya di Osaka pada 1988 misalnya, dia masih minum bir. Tetapi saya kira kebiasaan itu pun kemudian ditinggalkannya).

Namun ketika dia bermaksud hendak menambah istri lagi, kedua istrinya yang terdahulu memberontak meminta cerai. Maka sukses sebagai suami yang dapat merukunkan dua orang istri dalam satu rumah, tak dapat dicapainya ketika dia hendak merukunkan tiga orang istri dalam satu rumah.

***

DALAM sajak-sajak yang ditulisnya di Amerika dan dimuat dalam Blues untuk Bonnie banyak yang merupakan pemberontakan terhadap keyakinan agamanya yang dahulu, seperti "Nyanyian Angsa" dan "Khotbah". Tetapi mulai pula terlihat pemberontakannya terhadap keadaan masyarakat tanah airnya, misalnya dalam "Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta!" dan "Pesan Pencopet kepada Pacarnya". Pemberontakan terhadap situasi masyarakat yang bobrok dan kondisi politik yang penuh borok itu kemudian kian banyak ditulisnya. Sajak-sajaknya kian transparan menggambarkan kebobrokan masyarakat dan menunjukkan bagaimana pemerintahan dijalankan seharusnya. Bahkan kemudian sajak-sajak yang dimuat dalam kumpulan Potret Pembangunan dalam Puisi (1993), dia sebut sebagai sajak-sajak pamflet.

Banyak kritik terhadap sajak-sajak pamfletnya itu, terutama karena dianggap mutunya sebagai puisi menjadi turun. Tetapi kritik itu tidak dipedulikan Willy. Dia terus menulis sajak yang terutama mengeritik keadaan masyarakat yang sangat jauh dari berbudaya dan bermoral dalam segala bidang, termasuk pendidikan. Willy berpendapat bahwa sebagai penyair dia tidak boleh diam melihat ketidakberesan dalam masyarakat. Meskipun dalam pidatonya ketika menerima Hadiah Akademi Jakarta (1975) dia mengumpamakan dirinya "berumah di angin", namun dia merasa bertanggung jawab secara moral terhadap keterpurukan bangsa yang terjadi. Dia menyamakan dirinya sebagai penyair dengan empu yang memikirkan masyarakat, memberikan bimbingan dan memimpin perubahan. Empu yang harus mengingatkan penguasa kalau terjadi pelanggaran atas nilai-nilai yang luhur.

Dan untuk melaksanakan tugasnya sebagai empu itu dia tidak hanya menulis sajak pamflet, melainkan melakukan tindakan-tindakan yang membuat pemerintah berang. Dia mengadakan tirakatan bersama kaum urakan di pantai Parangtritis, membacakan sajak-sajak pamflet itu di kampus-kampus. Dalam pertunjukan Bengkel Teater walaupun mementaskan lakon terjemahan, selalu ada saja kritiknya terhadap situasi aktual di Indonesia, kalau tidak dalam teks, tentu dalam kostum atau tingkah-laku para pemain di atas panggung. Yang saya ingat misalnya waktu mementaskan Hamlet karya William Shakespeare semua pemainnya mengenakan pakaian Jawa dan salah seorang pemain wanita memakai sanggul yang besar dengan gerak-gerik yang khas, sehingga para penonton langsung berasosiasi kepada Ibu Negara Tien Suharto.

Dia memopulerkan lagi istilah "daulat rakyat" yang pada tahun 1930-an digunakan oleh St. Sjahrir. Dia mengemukakan pendapat bahwa rakyat harus diusahakan agar memperoleh hak-haknya, termasuk hak untuk mengemukakan pendapat, mendapat pekerjaan untuk hidup yang layak, mendapat pendidikan yang cukup, dan lain-lainnya. Dia mengemukakan pendapat dan kritik yang para politisi tidak berani kemukakan. Dia dianggap sebagai ujung lidah rakyat yang tertekan, sehingga acara "poetry reading" (sebelumnya disebut "deklamasi") yang dimulainya sejak kembali dari Amerika menjadi populer karena mendapat perhatian dari masyarakat, terutama para mahasiswa. Kami di Dewan Kesenian Jakarta memulai tradisi baru: untuk mendengarkan Rendra membaca sajak, haruslah membeli karcis. Ternyata orang tak berberatan mengeluarkan uang untuk mendengarkan Rendra membaca sajak. Kemudian penjualan tiket itu dilanjutkan untuk pembacaan sajak oleh penyair-penyair lain seperti Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, dan lain-lain.

Karena sajak dan ucapan-ucapannya membuat para pejabat gerah, maka dia sering dicekal bahkan ditangkap sewaktu membacakan sajak di TIM (1977). Ada orang yang melemparkan bom molotov ke arah panggung tempat Willy sedang membacakan sajak. Tetapi para penegak hukum dan aparat keamanan bukannya menangkap pelempar bom itu, melainkan menangkap Willy dengan alasan untuk "mengamankannya". Dia pun baru dibebaskan setelah kami dari DPH DKJ menemui Asisten I Kodam Jaya, Kolonel Nalapraya dan saya berhasil meyakinnya bahwa pertunjukan Rendra tak punya maksud politik dan tidak berbahaya, malah merupakan klep pengaman yang baik. Orang-orang yang datang menonton teater atau mendengarkan Rendra membaca sajak, merasa senang karena segala unek-unek dalam hatinya diucapkan oleh Rendra dalam sajak-sajaknya atau oleh pertunjukan teaternya sehingga ketika pulang mereka merasa puas dan kemudian dapat tidur dengan nyenyak. Karena itulah Jenderal Soemitro sebagai Pangkopkamtib memberi kesempatan, malah mensponsori Rendra untuk mementaskan "Mastodon dan Burung Kondor" di Gelora Bung Karno, padahal sebelumnya sandiwara itu dilarang dipertunjukkan di Jawa Tengah oleh Kodam setempat.

Namun meski sudah dibebaskan, Rendra dan Bengkel Teaternya belum boleh mengadakan pertunjukan. Padahal kalau tidak naik pentas, mereka tidak punya pemasukan sama sekali. Usaha kami di DKJ agar Rendra dan Bengkel Teater diperbolehkan naik pentas lagi, tidak berhasil karena dihalangi oleh Gubernur Letjen Tjokropranolo, walaupun sebelumnya Asisten I Kodam Jaya sudah menyetujui pencabutan larangan itu.

Sampai saya memenuhi undangan untuk mengajar di Osaka Gaidai, Jepang, dan mengundurkan diri sebagai Ketua DKJ pada awal 1981, Rendra dan Bengkel Teater masih belum boleh naik pentas. Untuk hidupnya, para anggota Bengkel Teater saya dengar dikerahkan oleh Sitoresmi untuk membuat kerajinan dari kulit.

***

WILLY kalau menulis sajak selalu dengan tangan, sedangkan saya mempergunakan mesin tik atau komputer. Tulisannya bagus dan jelas, sedangkan saya kalau menulis dengan tangan tak ada yang bisa membacanya - termasuk saya sendiri. Kebiasaannya menulis dengan tangan itu dipertahankannya hingga akhir hayatnya. Oleh karena itu, dia selalu perlu pembantu yang menolongnya memindahkan tulisannya ke atas mesin tik atau komputer sebelum diserahkan kepada penerbit.

Oleh karena itu, Willy selalu hidup dalam suatu komunitas, yaitu komunitas Bengkel Teater. Di rumahnya di Cipayung yang luasnya konon kurang lebih dua hektare itu, tinggal pula sejumlah anggota Bengkel Teater. Saya sendiri sering bertanya dalam hati, bagaimana Willy menghidupi diri dan komunitasnya itu karena kalau Bengkel Teater tidak mengadakan pementasan niscaya tidak ada uang yang masuk. Saya maklum kalau untuk pembacaan sajak atau pemuatan sajaknya Willy menuntut honorarium yang tinggi. Bukan saja wajar karena mutu karyanya, melainkan juga secara manusiawi bisa dipahami. Willy sudah memenuhi panggilan Sang Pencipta, kembali ke haribaan-Nya. Menurut isterinya, perkataannya yang terakhir diucapkannya ialah bahwa dia merasa sangat bahagia. Alhamdulillah. Ya Allah, berilah sahabat saya Rendra tempat yang mulia di hadirat-Mu, ampuni kesalahan dan dosa-dosanya, terimalah iman Islamnya. Amin.***

* Ajip Rosidi, budayawan

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 6 September 2009

No comments: