Saturday, September 19, 2009

Alam, Manusia, dan Yang Mahamulia

-- Premana W Premadi*

SELALU ada rasa terpesona saat memandang langit malam bertabur bintang. Rasa ini membangkitkan berbagai inspirasi yang artistik maupun spiritual.

Namun, ketika pandangan kita paksakan menerobos lebih dalam dan mengikuti bentangan, alam semesta menampakkan diri mahaluas, dingin, gelap, dan terlalu jauh untuk punya hubungan apa pun dengan kita. Kenyataannya, untuk menjelajahinya bukan hanya memerlukan usaha (sains, teknologi, dana, dan lainnya) yang amat besar, selain kerap meminta nyawa. Alasannya, kita tidak tahu, di luar Bumi mana lagi manusia dijamin dapat hidup aman.

Berdasarkan persepsi ini, sebagian pemikir berpendapat, alam semesta tidak memiliki arti, bahkan merupakan antitesis kehidupan di Bumi, yang menurut mereka hanya produk sesaat dari rentetan proses alami yang juga tak memiliki arti dalam alam semesta. Proses-proses itu tampak tak peduli pada nilai produknya; seolah hanya rangkaian urutan kerja yang mekanistik.

Sepanjang abad ke-20, diakumulasi banyak hasil pengamatan astronomi yang mengonfirmasi, alam semesta amat kaya dan memang amat besar dan terus mengembang. Galaksi-galaksi pengisi alam semesta bergerak menjauh satu dari yang lain, mengikuti mengembangnya alam semesta, dengan kecepatan yang kian besar dan bertambahnya jarak antarmereka. Artinya, ukuran besar alam semesta berasosiasi dengan umurnya. Bahwa alam semesta kini sangat besar menunjukkan ia sudah amat tua.

Hubungan manusia-alam

Lalu apa hubungan antara ukuran dan umur alam semesta yang belasan miliar tahun dengan eksistensi manusia? Tubuh manusia tersusun atas unsur-unsur kimia seperti hidrogen, karbon, oksigen, nitrogen, besi, dan banyak lagi, dalam keterkaitan amat kompleks.

Dalam proses nukleosintesa global dan generiknya, alam semesta tidak memproduksi unsur-unsur kimia ini, kecuali beberapa inti atom yang paling ringan seperti hidrogen dan helium. Unsur-unsur kimia yang lebih berat, yang banyak kita perlukan, merupakan produk reaksi termonuklir dalam bintang-bintang yang prosesnya memakan waktu sekitar 10 miliar tahun, kala hidup khas untuk bintang.

Sebagian besar bintang di alam semesta, menemui ajalnya dengan meledak, dikenal sebagai supernova, pertanda hidupnya sebagai bintang yang berpendar telah berakhir. Ketika supernova terjadi, hasil proses termonuklir dalam perut bintang terlontar keluar, memperkaya kandungan kimia materi pengisi ruang antarbintang. Kita bisa membayangkan, ada sebagian kecil materi antarbintang yang ikut menyumbang isi Tata Surya.

Debu kosmik dan sejumlah besar meteor yang pernah jatuh atau melintas dekat Bumi telah memperkaya kandungan kimia di Bumi dan atmosfer, yang memungkinkan kelahiran makhluk hidup. Singkatnya, kita, manusia, berhubungan dekat dengan bintang karena setiap inti karbon yang menyusun tubuh manusia, pernah, di suatu masa yang lampau, ada dalam perut sebuah bintang. Kita dan bintang yang nun jauh di sana, hanya terpisah oleh waktu, dan berbagai proses astrofisika dan geofisika yang berjalan mengikuti panah waktu.

Ukuran alam semesta yang amat besar ini terasa terlalu besar untuk kehidupan kita di Bumi. Bisa jadi, hidup manusia akan tetap nyaman seperti sekarang, meski dengan pemandangan langit jauh kurang indah, seandainya ukurannya hanya sebesar Galaksi Bima Sakti (Milky Way), yang berdiameter sekitar 100.000 tahun cahaya.

Namun, waktu yang dibutuhkan alam semesta untuk mengembang hingga seukuran Milky Way hanya beberapa bulan. Dalam umur alam semesta yang hanya beberapa bulan ini, sama sekali belum sempat terjadi pembentukan bintang, apalagi untuk memulai reaksi termonuklir di dalam bintang.

Bintang memerlukan 10 miliar tahun untuk menjalankan proses ini. Artinya, alam semesta minimal berumur 10 miliar tahun dan selama itu alam semesta terus mengembang dan suhunya menurun. Tak heran bila alam semesta tampak besar, tua, dan dingin. Alam semesta memerlukan belasan miliar tahun sejak lahir, untuk menyiapkan diri menerima kehidupan, kita semua ini, di dalamnya. Pada titik ini kita berhenti sebentar untuk membayangkan sekaligus refleksi: betapa istimewanya kehidupan; begitu luar biasa persiapan alam semesta sebelum dapat membentuk kehidupan dan menyediakan akomodasi yang layak bagi kehidupan.

Asal-muasal kehidupan

Temuan ini membongkar ide tentang alam semesta yang tak memiliki arti. Lebih dari itu, temuan ini menghidupkan lagi sejumlah pertanyaan mendasar yang sejak dulu ditanyakan manusia: asal-muasal alam semesta dan hubungannya dengan manusia. Alam semesta yang keadaan awalnya, sampai batas tertentu, dapat ditelusuri, dan segala macam proses di dalamnya, menunjukkan keteraturan yang terpelihara, mengindikasikan adanya kaidah fundamental yang dipatuhi alam semesta.

Adanya kaidah ini mengundang ide akan kehadiran sesuatu yang kedudukannya normatif dan menggiring kepada sesuatu yang transendental. Pertanyaan tentang Tuhan, dalam hubungan dengan penciptaan alam semesta, pertanyaan tentang maksud adanya alam semesta, dan hubungannya dengan kehidupan manusia, bangkit kembali, dan diajukan dengan membuka koridor pemikiran yang baru.

Berbagai temuan saintifik tidak meniadakan pertanyaan tentang Tuhan dan iman religius, tetapi justru menyediakan gagasan-gagasan penajaman dalam substansi mendasar secara investigatif dan universal.

Para astrofisikawan memerhatikan segala sesuatu yang indah, yang tampak dalam alam semesta, dan mencari tanda-tanda di antaranya yang dapat mengantar ke pemahaman kaidah fundamental, hakiki, yang melatarbelakangi itu semua.

Sementara pekerjaan harian di muka Bumi memanfaatkan kaidah fisika untuk keperluan dan kemudahan kehidupan manusia di Bumi, astronomi justru ingin menelusuri kaidah itu sampai ke akarnya. Proses pencarian dan pengenalan yang kompleks, yang sering membentur manusia dan memaksa kita menerima batasan realitas yang dapat kita akses dan deskripsikan.

Meski demikian, sungguh mengesankan dan mengagumkan alam semesta yang besar ini, hingga batas tertentu, dapat dideskripsikan, bahkan dapat diformulasikan dengan logis dan lugas. Tak kalah mengesankan adalah bahwa manusia memiliki kesadaran serta kemampuan untuk merasa dan menalar.

Kenyataan ini menjadi konsiderasi penting dalam pemikiran modern, yakni alam semesta, termasuk kita, ada dengan tujuan untuk dimengerti. Sains menawarkan jalan menuju pemahaman ini, mendorong terungkapnya dimensi-dimensi yang masih tersembunyi, untuk menalar realitas sebatas domain kerjanya. Selebihnya, terserah pada kita, bagaimana kita manfaatkan sains sebagai basis dan kita aktifkan fungsi transendental kita untuk menggapai Yang Mahamulia yang ilmu-Nya tak tertampung bahkan dalam alam semesta yang mahaluas ini.

* Premana W Premadi, Ketua Bandung Society for Cosmology and Religion; Dosen Astronomi Institut Teknologi Bandung

Sumber: Kompas, Sabtu, 19 September 2009

No comments: