Sunday, September 06, 2009

Rendra, Guru, dan Manusia

-- Gusjur Mahesa*

SEPULANG bubaran acara teater, begitu sampai di rumah, SMS murudul dari teman-teman. Innalillahi wa innalillahi rojiun. Telah berpulang ke rahmatullah W.S. Rendra, Sang Guru kita di rumah sakit. Saya kaget. Terpaku diam. Membeku. Terkurung dalam empat dinding kamar. Air mata tak sadar menetes keluar lewat rasa penyesalan mendalam. Langsung saya minta maaf pada arwah Mas Willy (MW). MW adalah panggilan akrab murid-murid dan teman dekat Rendra. Dan saya harus juga minta maaf atas kesalahan dan dosa serta perilaku yang tak berkenan selama tujuh tahun berguru padanya. Semua memori selama nyantrik di Bengkel Teater Rendra (BTR) dari tahun 1993-2000 muncul ke permukaan, seperti film hologram yang hadir di depan mata saya.

Pertama yang muncul adalah dosa saya pada MW. Suatu malam, MW memanggil saya dan meminta memijat telapak dan jari-jari kakinya. Belum satu menit, MW sudah mengorok terlentang di lantai. Suara ngoroknya bergema ke seluruh ruangan perpustakaan tempat kami memijat. Menit keempat pelan-pelan saya mengendap-endap berputar meninggalkan tubuh MW yang tertidur. Tak ada gunanya meneruskan pijatan, sebab dia sudah tidur.

"Mahesa, ke mana kamu? Pijatanmu belum selesai. Ayo teruskan!" Saya kaget, heran bercampur malu, seperti maling ketangkap basah.

Saya memijat lagi. Sampai dua kali dia tertidur, tapi dia selalu tahu setiap kali saya mengendap pergi.

"Begini Mahesa." Lalu MW duduk bersila. Saya duduk bersila juga di depannya. Dengan sorot tajam setajam jarum jahit, matanya menembus bola mata saya, "Gunakanlah cinta dalam memijat. Jangan ada nafsu, pikiran, keinginan, pamrih, emosi, kebohongan. Hanya cinta. Cinta itu bentuk konkretnya ikhlas, rida, tanggung jawab, total, tak lekang oleh waktu. Kamu sudah bagus menggunakan nalurimu, tapi terakhir pikiranmu ikut campur. Emosimu juga. Kamu ingin cepat-cepat menyelesaikan. Gunakanlah naluri dan cinta. Lalu kapan berakhir memijatnya? Gampang tandanya. Kalau semua energimu sudah tumpah, habis. Kalau semua yang kamu miliki, jiwamu, ragamu, pikiranmu, batinmu, hatimu, jantungmu, ginjalmu, kemaluanmu, jari-jari kaki dan tanganmu, serempak berkata, ’Selesai’, maka selesailah itu praktik memijatmu. Hati jadi lapang. Kalau kamu mengalami itu, kamu telah menyembuhkan satu pasien pijatmu. Sekarang jangan banyak berkata. Langsung saja praktikkan pada tubuhku."

MW terlentang lagi, dan saya memijat lagi. MW mengorok lagi. Kini, dengkurnya makin lama makin keras. Pijatanku diiringi suara dengkur. Aneh, makin lama suara dengkur yang teratur itu menjadi irama musik malam yang hening. Seperti musik Kitaro, tapi lebih indah. Suatu simfoni dengkur mengajak jari-jari tangan saya menari-nari di telapak kakinya. Lalu suara cicak, tokek, tonggeret, daun mangga, daun kelengkeng, daun manila bersama angin malam menambah nada dan menjadi melodi dalam simfoni pijatanku. Hah! Hah! Haaaaah! Selesai! Saya lunglai.

Pelan-pelan kubuka mataku kulirik jam dinding yang setia menemani itu, 2.40 WIB. Astaga! Ternyata tiga jam aku memijat MW! Lalu kulihat tubuh MW, bagai bayi tertidur sangat pulas. Lalu saya pergi tanpa mengendap-endap.

Pagi, dalam sarapan bersama, MW terlihat segar bugar dan ceria. Ia pun memuji-muji pijatanku di depan istrinya dan anggota BTR lainnya. Tetapi sayangnya, hari-hari berikutnya MW ketagihan pijatan saya!

Malam itu saya dipanggil lagi. Galau hati saya membayangkan tiga jam bakal memijat. Benar juga, saya diminta memijat lagi. Muncul ide spontan, saya pijat dia keras-keras. MW menjerit kesakitan. "Aduh. Mahesa, kalau mijat yang enak jangan nyeri begini. Biasanya tak seperti ini!" Saya menjawab dengan logika cerdas, "Ini namanya pijat refleksi MW. Coba, enakkan!" Sambil kuremas kuat jari-jari kaki lembut MW. "Aduh, aduh! Sudah, sudah! Pergi kamu pergi sana. Dan panggil Kalong Hasibua kemari!"

Saya pun pergi dengan senang. Dan mulai saat itu saya tak pernah lagi disuruh memijat. Oh, MW maafkanlah muridmu yang berani kurang ajar.

**

RENDRA, guru kami itu, bukan malaikat. Dia manusia pada umumnya. Seperti umumnya rumah tangga pasti pernah cekcok. Suatu hari yang lain terjadilah cekcok yang mahadahsyat. Karena biasanya cekcok hanya mulut tak ada tangan melayang dan tak ada benda-benda rumah tangga yang pecah atau jatuh. Kita ambil adegan klimaksnya saja. Terjadilah perkelahian fisik, saya mencoba memisah masuk di tengah-tengah. Tetapi malah saya kena pukul!

"Mahesa! Jangan campuri urusan orang lain. Ini bukan urusan kamu! Bukan urusan guru dan murid. Bukan pula urusan laki-laki dan perempuan. Ini urusan Rendra dan aku! Ayo Rendra majulah kamu!"

Istrinya menyerang, tapi MW menubruk memeluk duluan, hingga istrinya tak bisa memukul. Jatuh berguling-guling menubruk meja. Benda-benda di atas meja jatuh berantakan. Saya lari menangis terduduk di pojok teras perpustakaan. Menangis sejadi-jadinya. Saya menangis bukan karena pertengkaran mereka. Saya menangis karena ingat orang tua saya kalau bertengkar. Persis seperti adegan barusan.

Besok paginya, di bawah pohon sukun MW berkata,"Mahesa, maafkan kami. Saya bukan guru yang baik. Kalau kau ingin guru yang baik carilah yang lain. Tapi, Mahesa, guru yang paling baik adalah pengalaman. Jadi pengalaman yang kamu lihat kemarin itu jadikanlah guru. Ambillah yang baik, buanglah yang jelek. Jangan kau tiru adegan kemarin. Pahamilah saja, begitulah sebuah rumah tangga. Ada pasang surutnya. Kau akan lebih paham kalau nanti berumah tangga dan mengalami sendiri. Perempuan itu seperti awan di langit. Setiap saat berubah bentuknya. Jangan kau pahami bentuknya, pahamilah esensinya. Awan itu bisa menurunkan hujan dan membasahi tanah kering."

Wooow! Seorang manusia yang bijak mau mengakui kekurangan diri sendiri. Dan petuahnya muncul dari kasus, bukan dari teori. Semakin betah saya berguru padanya.

Suatu hari MW sakit parah sehingga anggota BTR mengadakan piket bergilir enam jam sekali untuk menemaninya. Anehnya MW tidak mau diopname di rumah sakit. Kalau sesekali diperiksa dokter mau. Dan kata dokter disarankan opname. Tetapi MW dableg.

Suatu saat datanglah penyair perempuan teman MW. Katanya, dia sudah berhari-hari dan berminggu-minggu bersama anaknya bertapa di Gunung Lawu. Dan mendapat wangsit untuk menyembuhkan MW dengan sebotol air Lawu dan dimandikan air kembang setaman. Anehnya MW mau dan percaya omongan dukun penyair ini, padahal dia tak mandi selama sakit. Lalu sang dukun berganti pakaian.

Kami semua anggota BTR menyaksikan jalannya ritus pemandian dengan waswas.

Singkat kata dukun penyair itu pergi dengan puas dan meninggalkan beberapa obat dan nasihat. Hari-hari berikutnya penyakit MW bukannya sembuh tapi malah parah. Badannya terus membengkak dan beratnya terus bertambah. Saat saya piket menjaga, iseng-iseng saya bertanya, kenapa dia mau melakukan permandian oleh penyair dukun itu. MW menjawab dengan tenang.

"Mahesa. Kalau aku mati saat diguyur kembang setaman oleh dukun itu, itulah takdirku. Bukan aku frustasi oleh penyakitku ini. Lalu segala cara ditempuh bahkan yang tak masuk akal pun, coba aku tempuh. Bukankah aku ini manusia Jawa, punya "roso". Manusia itu harus menghargai manusia lainnya dalam keadaan apa pun. Aku menghargai niat baik sahabatku itu. Jauh-jauh dan berlama-lama bertapa di Gunung Lawu lalu datang kemari. Kau bayangkan bagaimana kalau niat baik itu aku tolak. Betapa sakit hatinya. Aku tak mau menyakiti hatinya. Aku tak mau menyakiti hati siapa pun. Lebih baik aku mati tapi membahagiakan orang lain daripada aku hidup menyakiti orang lain." Astaga. Subhanallah. Betapa besar jiwa guru saya ini. Aku terdiam.

Semakin lama penyakit MW makin parah. Adegan semakin mengharu biru dan mengaduk-aduk emosi. Tragis. Dramatis, dan konyol. Suatu siang kami seluruh anggota BTR berkumpul mengelilingi MW yang terbaring lemah. Semua mengira, jangan-jangan MW…? Istri MW menangis, beberapa orang yang menunggu menangis. Semua berlinang melihat MW mengerang-erang kesakitan.

"Ma, …Mamaaa." MW berbaring menengadah. Lalu kedua tangannya meraba wajah istrinya yang sembap oleh air mata. Lalu, kedua tangannya mengusap dan mengelus-elus kedua pipi istrinya. " Ma, pandanganku mulai kabur. Ini pipimu atau pantatmu? Pantat, ya?! Pantatmu kok jadi kecil?"

Semua terdiam sejenak. Satu detik. Lalu istri MW berteriak dan memaki-maki. "Bajingan! Semua pergi dari sini. Kurang ajar. Ini tak bisa ditoleransi! Rendra telah ngerjain kita! Kurang asem! Dasar pemain drama, mau mati masih bersandiwara! Tidak bisa kematian kok dipermainkan. Ayo semua pergi! Tinggalkan Rendra sendirian!"

Semua pergi ngacir lalu ngumpul di aula. Meledaklah tawa yang ditahan dari tadi. Hahahaha. Meledak sejadi-jadinya. Hahahaha. "Kurang ajar! Kita semua dikerjain WS Rendra!"

Sejak saat itu umur MW bertambah hingga 14 tahun kemudian. Tetapi, kini, MW tak bisa mempermainkan kematian lagi. Pada 5 Agustus 2009, kira-kira pukul 22.00 WIB MW telah meninggalkan murid-muridnya dan kita semua. Selamat jalan guru. Tunggu kami, nanti menyusulmu. ***

* Gusjur Mahesa, aktor.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 6 September 2009

No comments: