Judul buku : Perempuan di Mata Soekarno¯
Pengarang : Nurani Soyuomukti
Penerbit : Garasi Book, Yogyakarta, Maret 2009
BUKU Perempuan di Mata Soekarno ini merupakan realisasi studi lanjutan Nurani Soyomukti pada sosok proklamator kita (lihat: Soekarno dan Nasakom, Garasi Book, Yogyakarta 2008).
Hal yang awalnya dimulai oleh studi pustaka ketika menyelesaikan tugas skripsi sarjana sosiologi di bidang Ilmu Hubungan Masyarakat di FISIP Unej Jember, 2004, Globalisasi dan Neoliberalisme dari Perspektif Marxisame dalam Hubungan Internasional-- belum diterbitkan--, yang banyak berkutat dengan kajian teori Marxisme murni pada relasi-relasi antarnegara yang sepertinya mengutamakan eksistensi negara--padahal kepentingan kapitalis dalam ujud T/MNCs amat dominan.
Penguasaan akademik teori Marxisme murni itu--ikon Materialisme Dialektika Historis --, tampaknya dijadikan acuan dan parameter dalam mengukur kondisi riil (kepustakaan) sosial-ekonomi-politik rakyat Jawa di masa penjajahan Belanda pada awal abad XX. Sampai sejauh mana realitas timpang riil itu menampakkan diri dalam dan dari angle pertentangan kelas, sampai sejauh mana kondisi yang amat timpang itu memengaruhi alam pikir dan pola pikir para tokoh pergerakan pada dua-tiga dekade awal abad XX, dan bagaimana kesadaran itu ditularkan oleh kader dalam wujud dakwah emansipatorik kesadaran yang berubah jadi tindakan--pemberonatak Syarekat Rakyat dan seterusnya yang dipicu kelesuan ekonomi yang membuat buruh tergencet.
Dalam buku Nurani Soyomukti, Perempuan di Mata Soekarno, fenomena itu dipotret lebih khusus lagi pada eksistensi pergerakan perempuan, dari masa peralihan abad XX yang menampilkan sosok Kartini yang teramat dicengkeram tradisi budaya Jawa feodaliostik yang menempatkan perempuan sebagai si orang di belakang--konco wingking--, dan bagaimana pergaulkan intelektualnya membawanya melangkah lebih jauh tentang hak kesetaraan dalam pendidikan dan seterusnya. Diikuti gerakan serupa dalam diri Dewi Sartika di Bandung dan seterusnya, yang menyebabkan lahir tokoh perempuan penggerak pemogokan dan pemberontakan, seperti Sukaesih dan Munasiah di satu sisi. Juga pergerakan wanita yang lebih elite tapi terkadang hanya merupakan divisi wanita dari partai politik--lalu memuncak jadi Kowani yang menampung semua gerakan wanita di satu sisi dan Gerwani yang pro PKI dan Soekarno meski bukanlah organ resmi PKI.
Pada bab kedua bukunya, dianalisis sampai sejauh mana gagasan pertentangan kelas dan pembebasan rakyat dari perbudakan dan eksploitasi kapitalisme--yang berkolaborasi dengan penguasa lokal--yang menyengsarakan manusia jajahan dan yang dialaminya di masa kanak memengaruhi cara berpikir dan pola perjuangan dari seorang Soekarno.
Pada bagian ini dihadirkan dunia paralel dari sejarah kelahiran dan perkembangan pergerakan perempuan di tengah tekanan eksploitasi penjajahan yang sejajar tapi diinklusifkan penulis buku dalam membentuk corak unik kepribadian dan kesadaran politik Soekarno itu terpanggil dan menyebabkannya ikut aktif berjuang memerdekakan bangsanya.
Sebuah kesadaran pergerakan yang bersipat nongender dan berkesan tak peduli gender sejak awal--setidaknya sampai Soekarno memahami fungsi sayap wanita dalam pergerakan dan 1946 menulis teks bertemakan perempuan buat kursus pelatihan, yang kemudian dibukukan--Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia, 1963.
Pada bab ketiga, dunia paralel itu diperjalikan dengan mengukur sejauh mana pengaruh dan peran Soekarno dalam mengilhami dan mendorong (emansipatorik) ide-ide Soekarno tentang hak perempuan yang dikondisikan dalam--mengutip Simone de Beauvoir--the second sex, dengan mengutip banyak data dari penjelajahan pustaka. Terutama berdasarkan buku Frederick Engels, The Origin of Family, State dan Privat Property--telah diterjemahkan dan diterbitkan Hasta Mitra, 2004, dengan judul Asal-Usul Keluarga, Negara dan Kepemilikan Pribadi. Dari sini dikesankan penulis kalau Soekarno--yang bergerak sebagi pion MDH--dan gerakan perempuan Indonesia sesuai dengan kondisi sosial yang timpang, tampil karena perempuan jadi subjek paling dirugikan dan jadi korban dari eksploitasi kapitalisme dan feodalisme.
Meski tetap menyisakan misteri ironi, kesadaran untuk menjadikan perempuan mandiri dan otonom berhadapan dengan fakta Soekarno itu, si penganut poligami--dan Kowani serta Gerwani tak pernah berani frontal menentang kecenderungan itu. Meski mereka dirangsang untuk melawan perbudakan atau sekadar subordinasi perempuan di bawah lelaki dengan peralatan agama, budaya, dan kapaital. Dan UU Perkawinan dan PP 10, misalnya, lahir jauh setelah Orde Baru berkuasa, dan tetap hadir sebagai retorika yang tak bisa operasionbal karena budaya patriarki lelaki mengkodisikannya di tararan formal semata.
Beni Setia, pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 September 2009
No comments:
Post a Comment