TUN Sri Lanang merupakan seorang sastrawan Melayu. Ia dikenal sebagai penyunting dan penyusun Sulalatus Salatin. Tun Sri Lanang hanyalah gela saja dan nama sastrawan itu adalah Tun Muhammad. Pada waktu penyusunan Sulalatus Salatin ia telah berkedudukan sebagai Bendahara pada Kesultanan Johor.
Tun Sri Lanang dan keluarganya diberi penghargaan khusus di Aceh. Di samping di angkat menjadi Raja di Samalanga dan daerah taklukannya. Keluarganyapun diberi gelar kebesaran dan jabatan oleh Sultan. Seperti gelar Seri Paduka Tuan di Acheh (Daniel Crecelius & EA Beardow, A Reputed Achehnese Sarakata of The Jamalullail Dynasty, JMBRAS, vol 52, 1979 hlm 52). Puteranya Tun Rembau menjadi Panglima Aceh (Tun Sri Lanang, Sejarah Melayu (suntingan Shellabear) 1986 hlm 156). Cucunya anak dari Tun Jenal (Zainal) dikawinkan dengan Sayyid Zainal Abidin dimana nenek Zainal Abidin ini adalah adik kakek sebelah lelaki sultan Iskandar Muda (baca Suzana Hj Othman, Institusi Bendahara Permata Melayu yang Hilang, penerbit Persatuan Sejarah Malaysia, Johor, hlm 181-183).
Perkawinan ini merapatkan hubungan Raja Raja Negeri Melayu dengan Nanggroe Aceh Darussalam (Pujangga Melayu Tun Sri Lanang di samping ahli pemerintahan juga dikenal sebagai pujangga melayu. Karyanya yang monumental adalah kitab Sulalatus Salatin. Menurut Winstedt, kitab ini dikarang mulai Februari 1614 dan tuntas Januari 1615 sewaktu menjadi tawanan di kawasan Pasai.
Apabila dibaca mukaddimah kitab ini, tidak jelas disebutkan siapa pengarang yang sebenarnya. Dan ini biasa dilakukan oleh pengarang-pengarang dahulu yang berusaha menyembunyikan penulis aslinya terhadap hasil karangannya. Bahkan menyebutkan dirinya sebagai fakir. Kalimat aslinya sebagai berikut; ��Setelah fakir allazi murakkabun �ala jahlihi maka fakir perkejutlah diri fakir pada mengusahakan dia, syahdan mohonkan taufik ke hadrat Allah, Tuhan sani�il - �alam, dan minta huruf kepada nabi sayyidi�l �anam, dan minta ampun kepada sahabat yang akram; maka fakir karanglah hikayat ini kamasami� tuhu min jaddi wa abi, supaya akan menyukakan duli hadrat baginda. Maka fakir namai hikayaat ini Sulalatus Salatin yakni Pertuturan Segala Raja-Raja. (Baca Sulatus Salatin hal 3).
Para ahli berbeda pendapat tentang pengarang sebenarnya kitab ini misalnya Winstedt, menyebut Tun Sri Lanang sebagai penyunting saja. Pendapat ini tidak punya landasan yang kuat, karena Syaikh Nuruddin al Raniri dalam kitabnya Bustanul Salatin pasal ke 12 bab II menyebutkan: ��Kata Bendahara Paduka Raja yang mengarang kitab misrat Sulalatus Salatin, ia mendengar daripada bapanya, ia mendengar dari pada neneknya dan datuknya, tatkala pada hijrat al Nabi salla �llahu �alaihi wa sallama seribu dua puluh esa, pada bulan Rabiul awal pada hari Ahad, ia mengarang hikayat pada menyatakan segala raja raja yang kerajaan di negeri Melaka, Johor, Pahang, dan menyatakan bangsa, dan salasilah mereka itu daripada Sultan Iskandar Zulkarnain��.
Pendapat ini lebih menyakinkan penulis apalagi Hj Buyong Adil, dalam bukunya Sejarah Johor menyatakan Tun Sri Lanang selalu berguru pada ulama ulama terkenal di Aceh, seperti Nurdin Arraniri, Tun Acheh, Tun Burhat, Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin Assumatrani. Dalam hal ini Syech Nurdin Arraniri tentu kenal baik dengan Tun Sri Lanang.(fed)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 17 Juni 2012
Tun Sri Lanang dan keluarganya diberi penghargaan khusus di Aceh. Di samping di angkat menjadi Raja di Samalanga dan daerah taklukannya. Keluarganyapun diberi gelar kebesaran dan jabatan oleh Sultan. Seperti gelar Seri Paduka Tuan di Acheh (Daniel Crecelius & EA Beardow, A Reputed Achehnese Sarakata of The Jamalullail Dynasty, JMBRAS, vol 52, 1979 hlm 52). Puteranya Tun Rembau menjadi Panglima Aceh (Tun Sri Lanang, Sejarah Melayu (suntingan Shellabear) 1986 hlm 156). Cucunya anak dari Tun Jenal (Zainal) dikawinkan dengan Sayyid Zainal Abidin dimana nenek Zainal Abidin ini adalah adik kakek sebelah lelaki sultan Iskandar Muda (baca Suzana Hj Othman, Institusi Bendahara Permata Melayu yang Hilang, penerbit Persatuan Sejarah Malaysia, Johor, hlm 181-183).
Perkawinan ini merapatkan hubungan Raja Raja Negeri Melayu dengan Nanggroe Aceh Darussalam (Pujangga Melayu Tun Sri Lanang di samping ahli pemerintahan juga dikenal sebagai pujangga melayu. Karyanya yang monumental adalah kitab Sulalatus Salatin. Menurut Winstedt, kitab ini dikarang mulai Februari 1614 dan tuntas Januari 1615 sewaktu menjadi tawanan di kawasan Pasai.
Apabila dibaca mukaddimah kitab ini, tidak jelas disebutkan siapa pengarang yang sebenarnya. Dan ini biasa dilakukan oleh pengarang-pengarang dahulu yang berusaha menyembunyikan penulis aslinya terhadap hasil karangannya. Bahkan menyebutkan dirinya sebagai fakir. Kalimat aslinya sebagai berikut; ��Setelah fakir allazi murakkabun �ala jahlihi maka fakir perkejutlah diri fakir pada mengusahakan dia, syahdan mohonkan taufik ke hadrat Allah, Tuhan sani�il - �alam, dan minta huruf kepada nabi sayyidi�l �anam, dan minta ampun kepada sahabat yang akram; maka fakir karanglah hikayat ini kamasami� tuhu min jaddi wa abi, supaya akan menyukakan duli hadrat baginda. Maka fakir namai hikayaat ini Sulalatus Salatin yakni Pertuturan Segala Raja-Raja. (Baca Sulatus Salatin hal 3).
Para ahli berbeda pendapat tentang pengarang sebenarnya kitab ini misalnya Winstedt, menyebut Tun Sri Lanang sebagai penyunting saja. Pendapat ini tidak punya landasan yang kuat, karena Syaikh Nuruddin al Raniri dalam kitabnya Bustanul Salatin pasal ke 12 bab II menyebutkan: ��Kata Bendahara Paduka Raja yang mengarang kitab misrat Sulalatus Salatin, ia mendengar daripada bapanya, ia mendengar dari pada neneknya dan datuknya, tatkala pada hijrat al Nabi salla �llahu �alaihi wa sallama seribu dua puluh esa, pada bulan Rabiul awal pada hari Ahad, ia mengarang hikayat pada menyatakan segala raja raja yang kerajaan di negeri Melaka, Johor, Pahang, dan menyatakan bangsa, dan salasilah mereka itu daripada Sultan Iskandar Zulkarnain��.
Pendapat ini lebih menyakinkan penulis apalagi Hj Buyong Adil, dalam bukunya Sejarah Johor menyatakan Tun Sri Lanang selalu berguru pada ulama ulama terkenal di Aceh, seperti Nurdin Arraniri, Tun Acheh, Tun Burhat, Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin Assumatrani. Dalam hal ini Syech Nurdin Arraniri tentu kenal baik dengan Tun Sri Lanang.(fed)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 17 Juni 2012
No comments:
Post a Comment