Sunday, June 10, 2012

Jujur Berkarya (Usaha Membaca Karya Sastra)

-- Muhammad Hanif

Prelude

Kejujuran menempati urutan pertama dalam ukuran moralitas kemanusiaan. Ia, melintasi agama dan semua religion yang ada. Dengan kata lain, semua suku bangsa dan agama serta religion menempatkan kejujuran dalam tataran moralitas tertinggi. Religion yang saya maksud adalah suatu bentuk keyakinan yang dengannya seseorang merasa dan dapat kebahagiaan. Dalam artian ini, ekonomi adalah sebuah religion. Suatu disipin ilmu yang karenanya seseorang merasa happy adalah sebuah religion. Sastra adalah sebuah religion juga adanya. Sastrawan merupakan makhluk religi dalam bidangnya.

Salah satu prinsip ekonomi adalah membangun kepercayaan konsumen. Itu takkan terjadi kecuali dengan kejujuran dalam berproduksi. Satu pentol bakso yang diulin atas dasar kejujuran untuk berkarya; menyenangkan selera konsumen adalah pondasi tegaknya warung bakso dan pemiliknya. Sebuah perusahaan yang dibangun atas dasar kecurangan, usia perusahaan ini takkan setahan usia pohon-pohon sawit di perbukitan Sumatera. Kejujuran adalah pondasi kokoh pada sebuah bangunan. Kejujuran adalah akar kokoh pada sebuah pohon tanaman. Kejujuran juga sebuah asas penting dalam bersastra, berkarya; bersajak.

Kejujuran yang dikehendaki dalam berkarya adalah kejujuran secara ‘lahir’ dan secara ‘batin’. Kejujuran secara ‘lahir’ bermakna karya itu made in-nya; resep pentol baksonya hasil racikannya sendiri. Untuk karya sastra bermakna bukan karya plagiat, penuh atau sepotong-potong. Seorang Chairil Anwar hampir saja jatuh karena ketidakjujurannya secara ‘lahir’. Beberapa karyanya tertuduh plagiatis. Tapi, Chairil Anwar tertolong oleh kejujurannya secara ‘batin’ yang tercermin pada karya-karyanya yang lain yang bukan plagiatis (atau saduran?). Tulisan ini tak berpretensi membedah mana karya yang lahir dari kejujuran dan mana yang lahir dari ketidakjujuran secara ‘batin’ dimaksud.

Esai, Cerita dan Puisi

Bagian dari karya sastra, puisi adalah karya sastra yang unik. Karya sastra esai hampir sama dengan karya ilmiah disiplin ilmu lainnya; perlu data dan fakta akurat. Hanya, dalam esai sastra, kecenderungan ‘mempermainkan’ kata-kata merupakan bagian dari keindahan esai. Selain itu, esai sastra sangat kuat kecenderungan subjektifitasnya --walau telah didukung data dan fakta yang lengkap. Karena memang karya sastra adalah karya fiksi yang subjektif sifatnya.

Pada karya sastra cerita pendek dan cerita panjang (novel), unsur data dan fakta bisa saja dimasukkan (bukan keharusan). Unsur imajinasi lebih kental dan dominan pada karya sastra genre cerita ini. Data dan fakta adalah pelengkap. Pada cerpen dan novel data dan fakta bisa saja disulap jadi seakan faktual. Data dan fakta yang benar faktual takkan menarik kalau tak diimajinasikan --dipleset-plesetkan. Kalau tak demikian, itu kisah nyata namanya atau sebuah biografi. Kecuali jika dia ber-genre cerpen atau novel sejarah. Pada genre ini, sejarah menjadi sebuah cerita yang dipoles hidup dan menarik.

Beda dengan keduanya, puisi dikatakan unik karena bukan karya hasil imajinasi --walau tak mengabaikan adanya peran imajinasi di dalamnya. Puisi juga tak perlu  fakta dan data di luar diri penciptanya --walau tak mengabaikan adanya peran fakta di luar dirinya. Puisi adalah suasana hati; fakta kekinian hati yang lahir karena fakta di luar dirinya. Kemampuan berpuisi bermakna kemampuan menerjemahkan suasana hati yang bersifat kekinian ke dalam bahasa-bahasa puitik --sebagaimana yang dipahami. Seorang penyair yang terlatih akan mampu menangkap susana hatinya dengan segera atau menjaganya atau mengambilnya segera dan menyimpannya di dalam imajinasinya (inilah yang penulis maksud dengan peran imajinasi) untuk nanti dituangkan dalam kata-kata yang puitik.

Singkatnya, puisi bukanlah karya tulis yang menerangkan fakta layaknya artikel ilmiah dan esai sastra. Puisi juga bukan karya tulis fiksi imajinatif --hasil khayalan pengarangnya layaknya cerpen dan novel. Walaupun begitu, puisi perlu fakta di luar dirinya yang membentuk suasana hatinya. Juga, puisi perlu bahasa imajinasi yang menggambarkan suasana hatinya. Dengan kata lain puisi adalah karya tulis yang menggambarkan fakta dalam diri penulisnya yang diakibatkan oleh fakta yang terjadi di luar dirinya. Fakta hatinya itu dia tuliskan dalam bahasa yang imajinatif puitis. Dengan demikian unsur esai dan cerita telah diserobot pula oleh sastra puisi. Inilah keunikan puisi. Karena itu tak semua esais dan cerpenis adalah penyair. Tapi, kebanyakan penyair mampu jadi esais dan cerpenis.

Jujur Batin = Sex Appeal

Perempuan yang cantik adalah perempuan yang mampu menarik hati lelaki. Dia tak harus seksi. Ketika itu terjadi, perempuan tersebut dikatakan memiliki inner beauty atau sex appeal --yang sudah sama kita ketahui. Sex appeal pada sebuah puisi lahir dan tercermin manakala puisi itu benar-benar menggambarkan dengan kuat dan utuh suasana kental hati penyairnya. Itu terjadi manakala penyair benar-benar mengalami. Sunaryono Basuki Ks menyebutkan: Faktor mengalami merupakan bagian penting dalam puisi, mengalahkan unsur makna, tema, tujuan (‘’Perjalanan Spiritual Rida K Liamsi Telaah Kumpulan Sajak Perjalanan Kelekatu’’, 2009: 1). Atau, sebagai yang dikatakan tokoh Hamdan di dalam cerpen ‘’Dari Seberang Perbatasan’’ karya (Hasan Junus): Kau tahu, sahabatku, mengalami atau tak mengalami nampak dalam karya. Karya agung senantiasa memperlihatkan pengalaman pengarangnya (Riau Pos, 1/4/2012).

‘Mengalami’ dimaksud tidak termasuk ‘mengalami’ yang ‘dikondisikan’, tapi tidak bermakna tidak diupayakan. Pengupayaan pengalaman estetika adalah bagian dari kerja kesusasteraan, laa siyyama (terutama) para penyair. Tapi, apakah penyair benar-benar mengalami, itu akan tercermin pada karya puisinya. Selanjutnya, sifat mengalami ini akan diketahui apakah berkualitas ekspor atau hanya layak jadi santapan penduduk lokal. Kualitas tadi bergantung pada matangnya kejujuran batin dimaksud: Mudah dibedakan antara cinta monyet, cinta birahi, dan cinta sejati, bukan? Begitulah, ‘duka’ pada ‘wajah’ puisi seorang penyair akan terbaca: duka pura-pura, duka biasa, ataukah duka maha tuan bertahta.

Apa yang dimaksud dengan duka pura-pura? Duka pura-pura adalah duka yang dikondisikan; status sosial dan keadaan hatinya belum layak masuk tataran nilai duka. Seperti seorang penyair yang menggambarkan kemiskinan dalam puisinya, tapi dia tak mengalami sendiri kemiskinan tersebut. Ketika itu, puisi hampir menjadi sajak deklamasi tentang kemiskinan, atau sebuah filsafat kemiskinan yang dibungkus bahasa puitis. Puisi-puisinya akan jadi puisi-puisi pamflet belaka.

Duka biasa adalah kedukaan yang belum kuat dan kental menyergap seorang penyair: Prematur. Atau, seperti kasus duri kecil yang menusuk kaki dan pelakunya menganggap itu suatu duka besar. Maka, puisi yang dihasilkan pun akan terkesan prematur. Kategori ini biasanya dihasilkan oleh seseorang yang sedang berproses menuju penyair sebenarnya. Atau, penyair muda yang tak sabar berkarya: Kanak-kanak yang segera ingin dianggap dewasa! Atau, karya-karya puisi peserta lomba!

Duka maha tuan bertahta (Chairil Anwar ‘’Nisan’’) adalah kedukaan yang benar-benar dialami penyairnya akibat kematian neneknya. Kedukaan itu bukan semata objek nenek yang meninggal, tapi fakta adanya kematian itu yang melahirkan duka yang mendalam bagi sang penyair. Bagi orang lain, bisa duka karena kematian seseorang. Duka karena putus cinta. Atau, karena hal lainnya. Jelasnya penyair mengalaminya, mendalam dan kuat. Mendalam dan kuat artinya, berbeda antara penyair kehilangan seekor kucing kesayangannya deangan kematian kekasihnya, misalnya. Sungguh perkara ini bukan perkara yang mudah dibuat atau diplagiat. Inilah perkara yang membedakan antara puisi dan karya sastra lainnya. Inilah yang penulis maksud dengan kejujuran ‘batin’.

Muhammad Hanif
, Penikmat sastra, bermastautin di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 10 Juni 2012

No comments: