-- Paulus Mujiran
PANCASILA sebagai kompromi politik dan pengorbanan banyak pihak yang mau menanggalkan kepentingan sendiri demi kepentingan bangsa dan negara. Pancasila juga cermin runtuhnya egoisme kedaerahan, egoisme lokal, sukuisme.
Kalau kita lihat, Pancasila justru menemukan kedahsyatannya ketika menghadapi ujian sejarah. Karena itu, pada masa kini Pancasila masih menemukan momentumnya yang mempersatukan. Pancasila lahir dari beragam ideologi. Ideologinya keagamaan, bersifat politik, sosial. Orientasinya bersifat kerakyatan, keningratan.
Pancasila sebagai titik temu yang merupakan landasan bagi kehidupan kita sebagai bangsa. Para pendiri bangsa secara visioner menjelaskan ketika kemajemukan, perbedaan, pluralitas harus dilihat sebagai kekuatan perekat bukan unsur pemecah belah. Dalam kandungan Pancasila, perbedaan dan pluralitas adalah kekuatan yang menyatukan.
Di era reformasi ini, Pancasila menghadapi ujian bagaimana mewujudkan kembali nilai nasionalisme dan demokrasi yang hilang selama beberapa puluh tahun belakangan ini. Di satu sisi rakyat dihadapkan fenomena globalisasi, kapitalisme. Nilai-nilai universal memasuki sendi-sendi kehidupan berbangsa. Tantangan global kian dirasakan menjadi musuh nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sementara dalam arus lokal banyak nilai-nilai seperti kegotong-royongan mulai pudar dari kehidupan bermasyarakat.
Namun, pada saat yang sama, kita dihadapkan pada pembangunan bangsa yang sarat dengan praktek korupsi telah menghasilkan puing-puing kemiskinan yang berserakan di mana-mana. Para elite politik kita seolah-olah sedang mabuk. Berbagai permainan politik dipentaskan dengan tujuan menunjukkan superioritas dan kekuasaan. Momentum demokrasi seperti pemilu, pilkada justru menjadi ajang bagi-bagi uang dan kekuasaan. Nilai-nilai Pancasila yang saat kelahirannya merupakan nilai tertinggi hidup bersama kini justru dilecehkan oleh segelintir komponen bangsa.
Pancasila secara kodrati menjadi dasar bagi Indonesia yang memiliki tingkat pluralitas yang tinggi. Kondisi ini dapat memberikan implikasi positif bagi tumbuh dan berkembangnya negara dan bangsa kalau rakyat dengan segala perangkat mampu mengelolanya. Namun, jika salah pengelolaan, apalagi diperparah oleh ketiadaan “zat perekat” bangsa, kemajemukan itu justru berisiko tinggi.
Bahkan, bukan tidak mungkin kehancuran negara akan terjadi. Artinya, kalau rezim Orde Baru telah mendegradasi nilai-nilai fundamental Pancasila melalui idealisasi sekaligus memperlakukannya sebagai "agama politik”, kiranya saat ini Pancasila harus diposisikan kembali pada fungsinya sebagai ideologi perekat bangsa. Menjadi sebuah ideologi dengan wajah keberagaman dalam masyarakat yang majemuk.
Menurut Kuntowibisono (1993), era ini jika diabstraksikan sebagai era ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berarti secara substantif dan ekspansif iptek mampu mengubah gaya hidup manusia, sejalan dengan perkembangan masyarakat ia akan mengalami proses transformasi budaya dari tradisional ke modern. Dari mitos ke logos, dari nasional ke transnasional, lalu ke global mondial.
Pada titik tertentu, manusia Indonesia dapat terombang-ambing, bahkan kehilangan jati diri jika tidak memiliki pedoman hidup bernegara. Sehubungan dengan itu, dibutuhkan Pancasila sebagai ideologi yang telah mengaktualisasikan diri dengan cara mengintegrasikan norma-norma dasar, teori ilmiah, dan fakta objektif, sehingga memungkinkan berlangsung proses interpretasi dan reintepretasi secara kritis dan jujur. Tingkat akhir akan menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang dinamis, akomodatif, dan antisipatif terhadap kecenderungan zaman.
Yang tidak kalah pelik terjadi gelombang transformasi masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang menyisakan keresahan yang sewaktu-waktu meledak dan mematikan. Memang, fenomena modernitas menjanjikan kemudahan-kemudahan hidup, rasio terninabobokkan, lalu perburuan atas materi dan hedonisme diperbolehkan. Namun, seiring dengan itu, berragam deviasi perilaku kelompok-kelompok masyarakat yang merefleksikan keterasingan dan kekosongan jiwa makin menyeruak ke permukaan.
Yang mencolok adalah munculnya budaya kekerasan. Begitu banyak orang terisolasi dari kehidupan yang sebenarnya. Persoalan hidup kian berat. Solidaritas dan persaudaraan sesama manusia kian luntur. Nilai kebersamaan, kerja sama, gotong royong, bahkan keadilan sosial dipandang sebagai nilai yang kadaluwarsa.
Pancasila sebagai ideologi mampu menjadi filter atas berbagai pengaruh negatif fenomena modernitas, sekaligus dapat menjadi pendamping bagi masyarakat yang mulai mengalami alienasi diri. Bahkan, pada saat yang sama Pancasila mengisi kembali ruang-ruang kosong kejiwaan manusia Indonesia dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal seperti cinta kasih, ketulusan, kejujuran, pengabdian, dan pelayanan terhadap sesama, bekerja sama untuk membangun kembali kehidupan bersama yang damai, harmonis, dan sejahtera
Dalam suasana seperti itu, bangsa Indonesia perlu merumuskan ulang pandangan mereka tentang Pancasila.
Sejak awal negeri ini dibangun, kita memahami bahwa Pancasila adalah dasar negara yang mampu mengakomodasi kemajemukan. Karena itu, bagi kita, Pancasila adalah pilihan yang tepat untuk dijadikan dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara telah memungkinkan hidup bersama atas hak dan kewajiban yang sama dari golongan-golongan dengan agama dan budaya yang berbeda dalam negara Indonesia. Pancasila adalah dasar hidup bersama dalam satu negara.
Diakui, baik dalam perjalanan sejarah bangsa yang pahit dan kelam, Pancasila telah dan akan terus memainkan peranan dalam kehidupan bangsa dan negara. Pancasila juga hadir sebagai alat pemersatu yang bisa mencakup dan menyalurkan ke pelbagai cita-cita dalam pembangunan bangsa sebagai pegangan untuk mempertahankan identitas bangsa dan menggugah semangat serta kesetiaan kepada Tanah Air. Pancasila adalah satu-satunya ruang yang di dalamnya semua unsur dari bangsa yang majemuk itu bisa bertemu, berdialog, dan merumuskan komitmen bersama untuk membangun masa depan yang penuh harapan dan menjanjikan.
Oleh karena itu, Pancasila harus terus menerus direaktualisasi, direvitalisasi, sehingga ia mampu mempersatukan kebhinnekaan bangsa, sekaligus dapat menjawab perubahan global. Keteladanan dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila harus dilaksanakan oleh semua warga negara di semua aras, sehingga Pancasila tidak terpasung menjadi slogan, jargon, label politik, tapi benar-benar menjadi napas hidup dan mengarahkan langgam kerja manusia Indonesia.
Kesamaan hak, kesetaraan, penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, sikap inklusif, dan nondiskriminatif yang menjadi benang merah dari Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi. Hanya dengan terus menggelorakan semangat Pancasila dalam hidup berbangsa dan bernegara, kian membuktikan bahwa Pancasila memang relevan dan mampu melampui ujian sejarah.
Paulus Mujiran, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 3 Juni 2012
PANCASILA sebagai kompromi politik dan pengorbanan banyak pihak yang mau menanggalkan kepentingan sendiri demi kepentingan bangsa dan negara. Pancasila juga cermin runtuhnya egoisme kedaerahan, egoisme lokal, sukuisme.
Kalau kita lihat, Pancasila justru menemukan kedahsyatannya ketika menghadapi ujian sejarah. Karena itu, pada masa kini Pancasila masih menemukan momentumnya yang mempersatukan. Pancasila lahir dari beragam ideologi. Ideologinya keagamaan, bersifat politik, sosial. Orientasinya bersifat kerakyatan, keningratan.
Pancasila sebagai titik temu yang merupakan landasan bagi kehidupan kita sebagai bangsa. Para pendiri bangsa secara visioner menjelaskan ketika kemajemukan, perbedaan, pluralitas harus dilihat sebagai kekuatan perekat bukan unsur pemecah belah. Dalam kandungan Pancasila, perbedaan dan pluralitas adalah kekuatan yang menyatukan.
Di era reformasi ini, Pancasila menghadapi ujian bagaimana mewujudkan kembali nilai nasionalisme dan demokrasi yang hilang selama beberapa puluh tahun belakangan ini. Di satu sisi rakyat dihadapkan fenomena globalisasi, kapitalisme. Nilai-nilai universal memasuki sendi-sendi kehidupan berbangsa. Tantangan global kian dirasakan menjadi musuh nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sementara dalam arus lokal banyak nilai-nilai seperti kegotong-royongan mulai pudar dari kehidupan bermasyarakat.
Namun, pada saat yang sama, kita dihadapkan pada pembangunan bangsa yang sarat dengan praktek korupsi telah menghasilkan puing-puing kemiskinan yang berserakan di mana-mana. Para elite politik kita seolah-olah sedang mabuk. Berbagai permainan politik dipentaskan dengan tujuan menunjukkan superioritas dan kekuasaan. Momentum demokrasi seperti pemilu, pilkada justru menjadi ajang bagi-bagi uang dan kekuasaan. Nilai-nilai Pancasila yang saat kelahirannya merupakan nilai tertinggi hidup bersama kini justru dilecehkan oleh segelintir komponen bangsa.
Pancasila secara kodrati menjadi dasar bagi Indonesia yang memiliki tingkat pluralitas yang tinggi. Kondisi ini dapat memberikan implikasi positif bagi tumbuh dan berkembangnya negara dan bangsa kalau rakyat dengan segala perangkat mampu mengelolanya. Namun, jika salah pengelolaan, apalagi diperparah oleh ketiadaan “zat perekat” bangsa, kemajemukan itu justru berisiko tinggi.
Bahkan, bukan tidak mungkin kehancuran negara akan terjadi. Artinya, kalau rezim Orde Baru telah mendegradasi nilai-nilai fundamental Pancasila melalui idealisasi sekaligus memperlakukannya sebagai "agama politik”, kiranya saat ini Pancasila harus diposisikan kembali pada fungsinya sebagai ideologi perekat bangsa. Menjadi sebuah ideologi dengan wajah keberagaman dalam masyarakat yang majemuk.
Menurut Kuntowibisono (1993), era ini jika diabstraksikan sebagai era ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berarti secara substantif dan ekspansif iptek mampu mengubah gaya hidup manusia, sejalan dengan perkembangan masyarakat ia akan mengalami proses transformasi budaya dari tradisional ke modern. Dari mitos ke logos, dari nasional ke transnasional, lalu ke global mondial.
Pada titik tertentu, manusia Indonesia dapat terombang-ambing, bahkan kehilangan jati diri jika tidak memiliki pedoman hidup bernegara. Sehubungan dengan itu, dibutuhkan Pancasila sebagai ideologi yang telah mengaktualisasikan diri dengan cara mengintegrasikan norma-norma dasar, teori ilmiah, dan fakta objektif, sehingga memungkinkan berlangsung proses interpretasi dan reintepretasi secara kritis dan jujur. Tingkat akhir akan menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang dinamis, akomodatif, dan antisipatif terhadap kecenderungan zaman.
Yang tidak kalah pelik terjadi gelombang transformasi masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang menyisakan keresahan yang sewaktu-waktu meledak dan mematikan. Memang, fenomena modernitas menjanjikan kemudahan-kemudahan hidup, rasio terninabobokkan, lalu perburuan atas materi dan hedonisme diperbolehkan. Namun, seiring dengan itu, berragam deviasi perilaku kelompok-kelompok masyarakat yang merefleksikan keterasingan dan kekosongan jiwa makin menyeruak ke permukaan.
Yang mencolok adalah munculnya budaya kekerasan. Begitu banyak orang terisolasi dari kehidupan yang sebenarnya. Persoalan hidup kian berat. Solidaritas dan persaudaraan sesama manusia kian luntur. Nilai kebersamaan, kerja sama, gotong royong, bahkan keadilan sosial dipandang sebagai nilai yang kadaluwarsa.
Pancasila sebagai ideologi mampu menjadi filter atas berbagai pengaruh negatif fenomena modernitas, sekaligus dapat menjadi pendamping bagi masyarakat yang mulai mengalami alienasi diri. Bahkan, pada saat yang sama Pancasila mengisi kembali ruang-ruang kosong kejiwaan manusia Indonesia dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal seperti cinta kasih, ketulusan, kejujuran, pengabdian, dan pelayanan terhadap sesama, bekerja sama untuk membangun kembali kehidupan bersama yang damai, harmonis, dan sejahtera
Dalam suasana seperti itu, bangsa Indonesia perlu merumuskan ulang pandangan mereka tentang Pancasila.
Sejak awal negeri ini dibangun, kita memahami bahwa Pancasila adalah dasar negara yang mampu mengakomodasi kemajemukan. Karena itu, bagi kita, Pancasila adalah pilihan yang tepat untuk dijadikan dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara telah memungkinkan hidup bersama atas hak dan kewajiban yang sama dari golongan-golongan dengan agama dan budaya yang berbeda dalam negara Indonesia. Pancasila adalah dasar hidup bersama dalam satu negara.
Diakui, baik dalam perjalanan sejarah bangsa yang pahit dan kelam, Pancasila telah dan akan terus memainkan peranan dalam kehidupan bangsa dan negara. Pancasila juga hadir sebagai alat pemersatu yang bisa mencakup dan menyalurkan ke pelbagai cita-cita dalam pembangunan bangsa sebagai pegangan untuk mempertahankan identitas bangsa dan menggugah semangat serta kesetiaan kepada Tanah Air. Pancasila adalah satu-satunya ruang yang di dalamnya semua unsur dari bangsa yang majemuk itu bisa bertemu, berdialog, dan merumuskan komitmen bersama untuk membangun masa depan yang penuh harapan dan menjanjikan.
Oleh karena itu, Pancasila harus terus menerus direaktualisasi, direvitalisasi, sehingga ia mampu mempersatukan kebhinnekaan bangsa, sekaligus dapat menjawab perubahan global. Keteladanan dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila harus dilaksanakan oleh semua warga negara di semua aras, sehingga Pancasila tidak terpasung menjadi slogan, jargon, label politik, tapi benar-benar menjadi napas hidup dan mengarahkan langgam kerja manusia Indonesia.
Kesamaan hak, kesetaraan, penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, sikap inklusif, dan nondiskriminatif yang menjadi benang merah dari Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi. Hanya dengan terus menggelorakan semangat Pancasila dalam hidup berbangsa dan bernegara, kian membuktikan bahwa Pancasila memang relevan dan mampu melampui ujian sejarah.
Paulus Mujiran, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 3 Juni 2012
No comments:
Post a Comment