-- Hikmat Gumelar
VIDEO porno yang diduga pelakunya Nazril Irham (Ariel Peterpan), Luna Maya, dan Cut Tari bukan saja jadi bahan obrolan orang yang bermukim di kota-kota seperti Jakarta dan Bandung. Orang di kampung-kampung, seperti di Karangsambung, salah satu kampung di Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Majalengka, pun riuh menggunjingkannya. Surat kabar, televisi, telefon genggam, dan internet berperan besar dalam menyulap kampung seperti Karangsambung menjadi ruang yang riuh oleh gunjingan ikhwal video porno tersebut.
Hal ini salah satu tanda dari gaya hidup kota yang kian menyebar dan mengakar. Menurut saya, bukan saja karena geografi kota-kota bertambah luas, melainkan juga karena pesatnya peningkatan teknologi transportasi dan komunikasi, kian canggihnya produksi, promosi, pemasaran, distribusi barang dan jasa, kian kuatnya belitan birokrasi pemerintah, dan mitos pentingnya pendidikan formal.
Kenyataan demikian bisa bukan masalah, malah bisa merupakan berkah. Berbagai beban berat dan menahun yang meluap dari perpindahan berjuta-juta penduduk dari desa-desa, misalnya, bisa berkurang. Namun, kota-kota di sini lebih sebagai ruang-ruang tempat konsumerisme tumbuh subur. Kota-kota di sini kian seperti yang ditulis Goenawan Mohamad dalam Etalase, "punya beribu-ribu etalase", "punya beribu-ribu billboard, dengan atau tanpa cahaya lampu". Juga, tentu saja, punya kian banyak pusat-pusat perbelanjaan dan pusat-pusat hiburan yang serba gemebyar. Semua itu kompak dan tak putus-putusnya merayu warga kota untuk jatuh jadi pemeluk teguh kepercayaan bahwa seseorang pertama-tama adalah konsumen. Konsumen barang-barang dan jasa-jasa terbaru. Konsumen gaya hidup terbaru.
Mayoritas warga kota malah sukacita menyambut rayuan tersebut. Mereka membatinkan hasrat-hasrat yang dibentuk oleh berbagai iklan itu, membuatnya seolah tumbuh secara alami dari dalam diri mereka masing-masing. Mereka, misalnya, penuh mau memenuhi hasrat mengganti barang-barang yang masih berfungsi dengan bagus, seperti mobil, tempat tidur, sofa, sepatu, telefon genggam, dan behel, dengan barang-barang sejenis hanya karena ada produk yang diuar-uarkan terbaru. Jika hasrat ini tak terpenuhi, mereka dirajam rasa sebagai orang terbelakang, orang pedalaman, orang zaman purba. Atau mereka merasa sebagai barang bekas, rongsokan.
Memang tak seorang pun dari kita sudi dilempar ke tong sampah, teronggok membusuk bersama bangkai tikus, perban bekas pembalut luka bernanah, dan sebagainya. Namun, demi memenuhi konsekuensi dari kepercayaan bahwa seseorang pertama-tama adalah konsumen, seseorang mau tak mau harus pula percaya bahwa uang adalah penentu segala, uang adalah penentu makna-makna. Pasalnya, kita sama tahu sudah, untuk bisa memiliki barang-barang terbaru, untuk bisa mendapatkan pelayanan jasa-jasa terbaru, siapa pun harus membelinya. Untuk hal itu, siapa pun perlu uang. Nilai uang jadi bertambah lagi sebab adanya apa yang membuat uang jadi alat tukar, yakni daya uang, kita tahu ini buah dari kesepakatan sosial, mengukur harga barang dan jasa. Uang membuat barang dan jasa dilekati nilai ekonomi tertentu. Kian tinggi nilai ekonomi barang, kian tinggi nilai ekonomi jasa, kian besarlah maknanya, kian prestisiuslah siapa yang mengonsumsinya.
Oleh karena itu, ramailah orang kota meyakini waktu sebagai pepatah orang Barat, "time is money". Keyakinan ini mendorong pengolahan setiap detik jadi uang. Uang sebanyak-banyaknya. Untuk itu, orang harus membentuk segala, termasuk dirinya, jadi mesin pencetak uang.
Sukses membentuk diri dan apa pun yang berkaitan dengannya jadi mesin pencetak uang memang memungkinkan seseorang bisa terus hidup dengan logika mode, bisa terus mengonsumsi barang-barang dan jasa-jasa terbaru, terus mengonsumsi gaya hidup terbaru, seseorang itu pun lalu bisa terus duduk, berdiri, dan mondar-mandir dengan rasa sebagai seseorang yang memiliki identitas yang mahal, eksklusif, dan trendi. Dengan demikian, ia merasa bahwa hidupnya eksis.
Namun, hidup yang dirasakan eksis itu, seperti telah disinggung, tidaklah gratis. Hidup seperti itu dibeli seseorang dengan menciutkan dirinya jadi sekadar alat pencari uang. Pakaiannya, bentuk tubuhnya, gerak langkahnya, tutur katanya, caranya bernalar, caranya merasa, caranya bergaul dengan keluarga, dengan tetangga, dengan teman, dengan orang-orang di ruang-ruang publik, dengan alam, dan dengan lain-lainnya, disadari atau tidak, semua melulu untuk meraup uang sebanyak-banyaknya dan dengan secepat-cepatnya. Maka waktu baginya jadi seperti garis lurus yang tengah susut dengan sedemikian cepat. Bahkan, waktu baginya jadi seperti peluru. Peluru yang melesat memburu jantungnya.
Selain itu, karena ia menjalin hubungan sosial melulu demi untuk meraup uang sebanyak-sebanyaknya, atau meraup untung sebesar-besarnya, orang lain (liyan), seperti ditulis Emmanuel Levinas, jadi tak berwajah di matanya. Padahal, wajah bukan sekadar gabungan dahi, alis, mata, hidung, mulut, dan dagu. Wajah, menurut Levinas, adalah "cara yang tak bisa direduksikan, dengan apa makhluk dapat menghadirkan diri dalam identitasnya. "Dan makhluk yang disebut manusia itu, ujar penyair Cile, Pablo Neruda adalah "lebih besar daripada laut dan pulau-pulau". Bagi si pemburu uang atau untung, orang lain jadi bukan subjek, tetapi objek. Objek untuk membuat hasrat-hasratnya yang merupakan bentukan iklan-iklan itu terpenuhi. Pengobjekan liyan ini senantiasa disertai prasangka bahwa liyan pun tak beda dengan dirinya. Maka liyan lalu jadi sebagai seteru, jadi sebagai serdadu yang siap membuat hidup hancur. Sendirinya persahabatan dan cinta yang panjang, yang memberi rasa hidup hangat dan mesra bersama liyan, yang tumbuh karena adanya keterbukaan dan saling berbagi jadi lenyap. Yang ada adalah hubungan serupa perang, baik terbuka atau terselubung. Atau hubungan seperti hubungan jual beli di pasar loak, rapuh, singkat, terburu-buru, penuh kecurigaan, penuh tipuan, dan penuh ancaman.
Jika demikian, siapa yang hidup dengan dasar kepercayaan bahwa seseorang adalah pertama-tama konsumen, hidupnya bisa jadi seperti dalam satu sajak Chairil Anwar, yaitu "anjing diburu". Memang jika kita melontar tanya, adakah yang mau jadi anjing diburu, bisa dipastikan tak akan ada seorang pun yang akan menjawab mau. Namun, berapa banyak dari kita sekarang yang merdeka dari cengkraman konsumerisme? Telah dikatakan bahwa kini mayoritas warga kota malah sukacita menyambut rayuan untuk hidup dengan kepercayaan bahwa seseorang pertama-tama adalah konsumen. Dan gaya hidup kota yang seperti inilah yang kini semakin menyebar dan mengakar.
Saya kira itulah salah satu perkara p(g)enting yang selaiknya lebih daripada hanya kita bincangkan.
* Hikmat Gumelar, Koordinator Institut Nalar Jatinangor
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 27 Juni 2010
No comments:
Post a Comment