-- Wagiman
• Judul Buku: Dekonstruksi Hukum: Eksplorasi Teks dan Model Pembacaan • Penulis: Anthon F Susanto • Penerbit: Yogyakarta, Genta Publishing • Cetakan: Maret, 2010 • Tebal: xv + 165 halaman • ISBN: 978-602-96598-1-8
WAGIMAN
Dekonstruksi merupakan satu cara untuk mengurai teks atas struktur-struktur yang ada di dalamnya. Dengan dekonstruksi tersebut, suatu tanda akan senantiasa dinamis dan tanpa henti. Apakah mungkin dekonstruksi dilakukan terhadap teks hukum?
Teks yang telah didekonstruksi akan melahirkan ampas dan berada dalam ranah yang gamang atau kabur. Mengutip Derrida, penulis buku ini, menyebutnya bukan sebagai penghancuran, melainkan suatu usaha positif untuk menjaga kenyataan yang tidak tersuarakan (hal 17).
Kaum legistik (di Indonesia) sering kali hanya membaca secara harfiah. Hasilnya, teks hukum menjadi statis, mati, dan kaku (hal 18). Sebelumnya juga dengan sangat hati-hati dikeluarkan suatu tanggapan, apakah dekonstruksi tidak mungkin dalam teks hukum? Pembacaan hukum yang disebut penulis dengan istilah ”cair” atau ”chaos” tak mungkin membumi dalam hukum.
Teks undang-undang menjadi sentrum dari dekonstruksi, bahkan penulis buku ini menyebut Indonesia sebagai negara undang-undang. Tidak ada aspek kehidupan yang tidak diatur oleh undang-undang. Mengutip Ali Harb, filsuf asal Lebanon, teks memiliki gagasan dan dunianya sendiri. Teks lepas dari pembuatnya. Teks menjadi milik siapa pun terkait dengan pemaknaannya. Demikian pula dengan hukum, teks yang ditinggalkan pembuat undang-undang. Pada posisi seperti itulah teks dari suatu undang-undang telah menyerahkannya kepada siapa pun untuk menulis dan menafsirkannya. Apa maknanya? Dari pembacaan atas suatu teks undang-undang dimungkinkan adanya pembongkaran.
Penulis buku ini dengan tegas mengatakan bahwa suatu teks undang-undang tidak berkata kebenaran yang terdapat di dalam teksnya, tetapi aturan (hal 8). Oleh karena itu, perlu setiap orang untuk memahami bahwa teks merupakan ”dunia makna”. Setiap orang berkenalan dan bercengkerama, bahkan harus selalu bergumul dengan teks. Teks juga tidak hanya rangkaian huruf semata. Bahasa hukum harus diposisikan sebagai bahasa yang terkontak dengan konteks sosialnya dan dari sinilah akan berimplikasi pada penafsiran.
Bahasa hukum
Bahasa hukum menerjemahkan realitas sosial ke dalam suatu terminologi dan peristilahan hukum (hal 13). ”Pada posisi seperti inilah teks telah mendorong pembaca untuk merenung dan berpikir, mengajak mewaspadai kekuatan-kekuatannya, menjajal kemampuannya sekaligus menunjukkan bakat-bakatnya (hal 19). Teks hukum akhirnya menjadi sangat plural. Ia akan melahirkan tidak hanya persamaan, tetapi pada saat yang bersamaan akan menemukan perbedaan-perbedaan yang ekstrem.
Topik menggugat fondasi filsafat ilmu hukum tampaknya terlalu wah. Akan tetapi, sedari awal penulisnya memberikan klarifikasi dengan menyebutnya untuk mengisi ruang kosong di tengah dominasi dan hegemoni positivisme (hal 24). Kenapa digugat? Tentunya penulis buku memiliki argumen yang memadai bahwa begitu banyak perubahan dan begitu cepat pergerakan. Tidak hanya itu dalam perspektif filsafat ilmu, penulis buku ini dengan peka mengikuti terjadinya pergeseran paradigma dari ketundukan ala Cartesian-Newtonian. Sejak kuasa cyberspace menyeruak, realitas telah mengalami dekonstruksi besar-besaran. Hukum dalam kondisi seperti itu, hukum juga harus mengalami pergeseran.
Positivisme hukum esensinya memaknai hukum sebagai norma-norma positif dalam perundang-undangan. Ia sekaligus mendistorsikan antara hukum dan moral (hal 29). Celakanya, sampai saat ini, menurut penulis buku ini, ilmu hukum Indonesia masih mengekor pada positivisme hukum lahir yang beribu kandung positivisme ilmu. Hukum dipotret sebagai otonom serta merupakan sesuatu sistem normatif yang berlaku dalam komunitas. Ia terlepas dan terpental dari segala sesuatu yang berada di baliknya atau istilah penulis buku ini yang bersifat metafisik. Dalam konteks positivisme, hukum dibulatkan menjadi tunggal dari sejatinya yang plural.
Teori kuantum
Penulis buku ini mencoba menawarkan paradigma ”hukum non-sistematik”. Hal itu didasarkan atas esensi hukum dalam perspektif yang chaos. Ia terilhami dari teori kuantum yang memahami chaos sebagai pijakan dari realitas kealaman. Teori chaos dalam hukum baru berkembang tahun 1980-an. Berdasarkan pemaknaan yang demikian, hukum tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang kaku, mati, dan stagnan. Ia (baca: hukum) menjadi sesuatu yang lunglai, cair, dan banyak muka sehingga lebih banyak kemungkinan untuk dinikmati. Dalam membaca hukum tidak hanya dalam format subyek-obyek. Hukum dilihat lebih utuh lagi karena tidak terkekang oleh kerangkeng yang menyelimuti dan dipandang aib untuk dibuka.
Enam bagian dari buku ini mencakup dua bidikan, yaitu filosofis (lima bab), mulai dari halaman 1 hingga 123), dan sosiologis (satu bab) halaman 127-161. Terobsesi pendapat Harb, penulis menegaskan, sejak awal bahwa kesibukan dalam satu disiplin tertentu akan membentuk suatu hambatan epistemologis. Buku ini pada awalnya merupakan tulisan-tulisan lepas satu sama lain. Namun tulisan-tulisan tersebut dipersatukan oleh satu tema yang sama, yakni seputar dekonstruksi pada hukum.
Mungkin karena kepiawaian penerbitlah tulisan-tulisan tersebut dapat diklasifikasikan dengan apik. Jika ingin mengetahui ringkasan seluruh buku ini, pembaca dapat dengan mudah dengan cara ”menangkap” terlebih dulu membaca pada bagian pengantarnya. Pengantar itu dengan sengaja disusun oleh penulisnya, sepertinya untuk keperluan itu (mulai dari halaman vii-xii). Dengan bantuan pengantar itu, pembaca akan dipertalikan antara satu judul tulisan dan judul-judul lainnya. Seusai membaca seluruh pengantar dan masuk pada daftar isi, pembaca akan mudah dengan segera menangkap bagian isi.
Layaknya sebuah kumpulan tulisan yang kemudian dijadikan buku, maka tidak akan pernah persis sama seorang penulis yang sengaja sedari awal menyusun buku. Mungkin pada sisi itulah buku telah membuat pembacanya seakan pada beberapa topik merasakan keterputusannya. Sebut saja ketika melihat pada daftar isi terdapat subjudul ”Bagaimanakah Hukum Bekerja?”, ternyata pembaca kecewa karena pada bagian isi buku hanya disajikan tidak lebih dari satu halaman setengah saja (hal 142-143).
* Wagiman, Periset pada Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia
Sumber: Kompas, Jumat, 18 Juni 2010
No comments:
Post a Comment