Monday, June 28, 2010

[Liputan Khusus] "Kompas", Referensi Sekaligus Guru

Referensi Kaum Intelektual
CPF Luhulima, Peneliti Senior

Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cornelis PF Luhulima (80) masih menyimpan kliping tulisan pertamanya di Kompas. Tulisan berjudul ”Pendidikan Sardjana Sastra pada Djurusan Djerman FSUI” itu dimuat pada 28 Juni 1967.

Sebagai penulis dan peneliti LIPI sejak 1967, Luhulima menjadi pembaca setia Kompas. Bagi dia, level dan kualitas pemberitaan tidak menurun. Kompas tetap menjadi surat kabar nasional yang mewakili masyarakat Indonesia, terutama kelompok intelektual. Artikel atau data yang dimuat dapat menjadi referensi.

Persepsi bahwa Kompas mewakili kelompok intelektual dilihat sejak LIPI berdiri. Bahkan, sebelum LIPI terbentuk Agustus 1967, tulisan intelektual masa itu banyak termuat di Kompas. ”Interaksi kita dengan Kompas erat. Kita libatkan Kompas secara intensif, waktu mau mendirikan LIPI. Kita maunya namanya Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI), bukan LIPI,” kata Luhulima yang waktu itu bersama peneliti Lie Tek Tjeng dan antropolog Koentjaraningrat berada di lingkungan Lembaga Riset Kebudayaan Nasional. Kompas pun terlibat dalam pembentukan LIPI.

Kebiasaan Luhulima sebagai pembaca Kompas, termasuk penulis di Kompas, juga ditularkan kepada anak-anaknya. Pada pagi hari, waktu membaca Kompas di meja makan, biasanya lembaran Kompas bertebaran di mana-mana. ”Anak-anak saya membaca. Saya katakan ada berita yang bagus. Lalu, kami juga membicarakannya,” kata Luhulima. Dari kebiasaan membaca dan akrab dengan Kompas di dalam keluarga, salah satu anaknya menjadi wartawan Kompas.

Kompas berperan dalam mengangkat isu politik luar negeri yang strategis. Kerja sama wartawan muda Kompas tahun 1980-an dengan Departemen Luar Negeri, khususnya Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja, membuat Kompas menjadi ”terdepan” dalam pemberitaan luar negeri, khususnya ASEAN. Tahun 1980-an, liputan Kompas mengenai ASEAN paling lengkap. ”Kalau mau membaca berita ASEAN mutakhir waktu itu, ya, di Kompas,” katanya.

Pada era reformasi, kualitas Kompas tetap bertahan. Namun, dengan makin banyaknya wartawan, berita semakin banyak. Manajemen pemberitaan menjadi semakin sulit. Kini, analisis luar negeri kurang mendapat tempat karena banyaknya berita harian. ”Analisis atau artikel peneliti atau ahli mengenai luar negeri di Kompas sangat jarang,” katanya.

Kompas perlu memberikan tempat bagi peneliti atau penulis luar untuk memperkaya analisis mengenai luar negeri. Dengan demikian, Kompas, khususnya pemberitaan luar negeri, juga menjadi acuan berkaliber internasional.

Dengan adanya analisis luar negeri diharapkan lebih banyak pembaca dari mancanegara yang membaca Kompas. Apalagi, saat ini, Kompas sudah memiliki kelebihan, yaitu akses pemberitaan yang cepat melalui internet.

Kompas, bagi Luhulima, masih menjadi referensi berbagai kajian di UI. Sebagai gambaran, dua tahun lalu, ada proyek studi UI dengan bekerja sama dengan Asia Foundation mengenai Uni Eropa di Jakarta. Kompas menjadi salah acuan untuk melihat sejauh mana Uni Eropa dikenal di Jakarta melalui pemberitaan-pemberitaan.

(FER)



Bukan Hanya Sekadar Logo
Zulkarnain Adin, Dosen

Zulkarnain Adin (65) masih ingat perjumpaan pertamanya dengan Kompas yang dijual pedagang asongan di pinggir jalan pada 28 Juni 1965. Koran dengan judul muka bahasan rencana penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika II itu menarik perhatiannya. Variasi berita lebih beragam, unggul ketimbang koran yang ada saat itu. Namun, justru ”Amanat Hatinurani Rakjat” yang ada di halaman muka yang membuatnya jatuh hati.

”Saya terkejut karena koran yang baru terbit ini percaya diri ingin memperjuangkan masyarakat. Namun, perlahan saya merasakan hal itu tepat karena Kompas terbukti mampu menjadi penyambung lidah masyarakat Indonesia lewat beragam pemberitaan,” ujar pembaca di Bandung.

Tanpa berpikir lama, ia mencari informasi untuk berlangganan. Saat itu, harga langganan Rp 500 per bulan. Kompas terbit setiap pagi kecuali hari Minggu. ”Tidak ada sedikit pun keraguan. Saya yakin Kompas bisa membantu saya dan mungkin rakyat Indonesia,” ujar pengagum Jakob Oetama ini.

Sebagai pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, ia mengibaratkan Kompas sebagai guru tambahan memahami beragam permasalahan yang terjadi di Indonesia dan dunia, khususnya pertanian. Banyak ulasan dan realitas tentang tanah dan pertanian sesuai dengan teori pertanian dibahas Kompas. Itu berguna dalam memberikan contoh dan pemahaman pada mahasiswa tentang teori di kelas.

”Kebiasaan itu masih saya terapkan. Untuk memperkaya bahan pelajaran, saya terbiasa mencari referensi tambahan dari Kompas,” ujarnya.

Pengalaman lain yang membuatnya setia adalah inisiatif Kompas dekat dengan pembacanya. Hal itu diwujudkan dengan terbentuknya Forum Pembaca Kompas (FPK). Di dalam FPK, Kompas memberikan kesempatan pembaca melakukan kritik atau saran tentang pemberitaan.

Istri dan kedua anaknya mendapatkan pengalaman menarik bersama Kompas. Istrinya, Elin Halimah, mengatakan, Kompas seperti mengetahui kegemarannya memasak. Ia belajar tentang sajian dan cara pembuatan makanan lewat Kompas.

Ia meminta semua awak Kompas menjaga kemurnian ”Amanat Hati Nurani Rakyat”. Semboyan itu, bukan sekadar logo pemanis, melainkan memiliki arti sangat dalam. Kompas dituntut selalu ada di samping rakyat dengan tujuan akhir mencerdaskan dan menyejahterakan mereka. Bila hal itu tetap dijaga, Adin yakin, kesejahteraan dan kemajuan yang dicita-citakan bangsa Indonesia pasti tercapai. (CHE)



Menu Sehari-hari
Tan Bie Gian, Pelukis

Tan Bie Gian (62) kenal Kompas sejak Kompas terbit perdana 28 Juni 1965. Awalnya, anak tunggal pasangan mendiang Tan Gwat Liang-Liem Han Nio ini terbiasa membaca Sinpo, koran yang dilanggani ayahnya.

Putusan memilih Kompas didasari pendiri Kompas yang eks pengelola majalah Star Weekly yang sudah diakui bobotnya. ”Sejak awal, sebelum terbit sudah dikasih tahu. Kabarnya ada koran baru yang kelihatannya bagus, pengelolanya eks Star Weekly,” kenang Bie Gian.

Sejak saat itu ia pun menjadi pelanggan setia Kompas. Mulai sekadar membaca Kompas yang terbit ala kadarnya sampai saat ini ketika Kompas sudah tampil sedemikian rupa seperti sekarang. ”Apalagi ulang tahun saya 27 Juni, berdempetan dengan ulang tahun Kompas. Jadi susah lupa,” kata Bie Gian yang sejak 15 tahun terakhir aktif melukis.

Selama 45 tahun, Kompas menemani perjalanan hidup Bie Gian. Karena itu, Bie Gian pun hafal dengan ”masa-masa susah” Kompas. Misalnya, ketika kerusuhan 1965 pecah, Kompas mesti cetak dengan fasilitas seadanya. ”Kertasnya pernah pakai kertas kuning dan biru,” kenang Bie Gian. ”Kalau kertasnya biru, itu paling susah dibaca.”

Bie Gian pun bisa menyandingkan perjalanan hidupnya dengan materi yang termuat di Kompas. Misalnya, masa ketika Bie Gian menemani ibunya yang sakit sampai kemudian meninggal pada 1985. ”Waktu itu, ibu saya membaca cerita Srintil (dalam cerita bersambung Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari),” kata Bie Gian.

Bie Gian menyadari, bagi sebagian kalangan, Kompas mungkin dianggap ”berat”. Hanya kalangan tertentu saja yang bisa memahami Kompas. Namun, tidak susah membuat Bie Gian ”mencandu” Kompas. Terbawa kebiasaan orangtua, sejak kecil Bie Gian pun terbiasa membaca koran serta buku dan bacaan berbobot lainnya.

”Tanpa disuruh, sudah baca dengan sendirinya,” katanya. ”Bagi keluarga kami (waktu itu) yang terbiasa membaca Sinpo, membaca Kompas itu seperti tidak ada peralihan, tidak ada kesulitan,” kata Bie Gian. ”Pas buat kami. Ibarat makanan, ini menu sehari-hari.”

Kebiasaan membaca Kompas itu terbawa kepada istri dan ketiga anak yang beranjak remaja itu pun terbiasa membaca Kompas. Tidak melulu Kompas Muda atau Kompas Anak yang ditujukan buat anak seusia mereka, ketiga anak Bie Gian akrab dengan rubrik umum lainnya di Kompas. ”Tidak mesti anak kecil hanya baca Kompas Muda atau Kompas Anak. Anak-anak saya sudah baca yang umum, dari depan,” kata Bie Gian.

Bie Gian mengakui Kompas konsisten menjaga keseimbangan. Substansi lebih dikedepankan ketimbang sensasi. Sikap kritis, meski ala Kompas, tetap terlihat dalam banyak kejadian, semisal saat kerusuhan 1998. Kompas tetap bisa jadi acuan, dengan gayanya sendiri mengungkapkan fakta, berani menyampaikan hal tersembunyi di saat sebagian menganggap itu tidak ada dan lebih baik ditutup saja. (DIK/WEN)



Hafal Inisial
Nancy Salindeho, Ibu Rumah Tangga

Perempuan kelahiran Surabaya, 53 tahun lalu, sudah membaca Kompas sejak usia 10 tahun, tepatnya ketika dia duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. ”Saya tahu Kompas sejak tahun 1968, artinya mulai membaca sendiri,” kata Anastasia Nancy Salindeho, yang sampai sekarang rutin mengkliping berita dan foto menarik.

”Saya tahu ada Kompas di rumah sejak belum duduk di bangku sekolah. Tapi baru membaca mulai dari berita utama hingga halaman terakhir setelah duduk di kelas IV SD Katolik Santa Maria Jalan Raya Darmo, Surabaya.”

Semua anggota keluarganya, menurut Nancy, begitu setia sebagai pembaca Kompas karena koran ini ibaratnya nasi yang mengenyangkan. Kalau belum membaca Kompas berarti belum kenyang. ”Semua anggota keluarga rela ”berjaga” di depan rumah dengan tujuan agar bisa lebih awal membaca begitu loper melemparkan koran ke teras rumah,” begitu Nancy mengungkapkan kesetiaan keluarga beranggotakan enam orang itu sebagai pembaca Kompas.

Diungkapkan, sang ibu yang kini berusia 84 tahun masih rutin membaca Kompas. ”Sampai sekarang kalau koran telat datang, mama pasti ’ribut’,” ujar perempuan yang menerima Kompas di rumahnya rata-rata pukul 06.00.

Kompas yang begitu bermakna bagi anggota keluarga sehingga hampir seluruh keluarga besarnya di mana pun berada tetap menjadi pelanggan Kompas. ”Ketika kami anak-anak, empat orang masih tinggal bersama, sering Kompas terbitan Minggu dibeli eceran hingga tiga eksemplar. Tujuannya, untuk berlomba mengisi teka-teki silang (TTS) bersama orangtua.

”Bagi yang lebih dulu selesai mengisi TTS, rasa bangga luar biasa karena semua kan pasti baca Kompas, tetapi masih saja ada yang kalah,” ujar Nancy, yang berharap Kompas mampu mempertahankan kualitas, meski di tengah persaingan media yang luar biasa.

(ETA) Bakdi Soemanto

Oleh-oleh untuk Anak

BAKDI SOEMANTO Guru Besar UGM

Begitu akrabnya Kompas bagi keluarga Bakdi Soemanto (68) yang tinggal di Deresan, Sleman, DI Yogyakarta. Setiap kali berkunjung ke rumah putri bungsunya yang tinggal terpisah, budayawan itu membawakan Kompas sebagai oleh-oleh.

Bukannya tak mampu membawa oleh-oleh lebih mahal. Bagi Bakdi, mengetahui informasi dan berita dari sumber yang bisa dipercaya merupakan keharusan. ”Kebetulan anak saya ini tidak berlangganan koran sejak tinggal di rumah sendiri. Jadi, saya bawakan Kompas supaya tetap tahu apa yang terjadi di seluruh Indonesia,” tutur Bakdi.

Puluhan tahun berlangganan, kehidupan keluarga Bakdi memang tidak bisa lepas dari Kompas. Pensiunan Guru Besar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang masih aktif mengajar itu berlangganan Kompas sejak awal terbit, 28 Juni 1965. Sejak Kompas terdiri satu lembar hingga rata-rata terbit 32 halaman.

Perkenalannya dengan Kompas bermula dari rekannya, Sudibyakto, adik WS Rendra, yang menjadi wartawan Kompas. Dia makin sering membaca Kompas saat berita dan aktivitas seni dan budaya menjadi bahan tulisan.

Bakdi menemukan kepuasan setelah membaca Kompas. Melalui Kompas, dia bisa meneropong pemikiran yang berkembang di Indonesia. ”Banyak pemikir yang memilih Kompas untuk menuangkan visi dan pemikirannya. Kompas juga menjadi barometer sastra di Indonesia melalui lembar cerita pendek dan puisinya,” ujarnya.

Bakdi pun pernah mewarnai lembar Kompas dengan cerita bersambung karyanya berjudul Kalung Tanda Silang ataupun berupa tulisan-tulisan mengenai budaya.

Dari sisi pemberitaan, Kompas hingga saat ini masih menjadi pedomannya untuk memperoleh informasi akurat dan netral. Akurasi dan netralitas itu mampu menepis simpang siur pemberitaan media yang makin bebas seperti sekarang ini.

Bakdi berharap, Kompas tetap menjadi pedoman dengan menjaga kredibilitas dan kualitas pemberitaan. Ia berharap Kompas tetap netral, tetap menjaga kejernihan berita, dan tidak turut arus kesimpangsiuran isu pemberitaan yang saat ini mengemuka. ”Saya berharap Kompas bisa berkembang seperti harian Le Monde di Perancis yang menjadi acuan kebijakan pemerintah,” ujarnya.

Satu kritik disampaikan Bakdi adalah soal terbatasnya ruang penulisan pemikiran di Kompas. ”Tulisan orang luar kerap ditolak kalau satu acara sudah ditulis wartawannya. Padahal, topik penulisan sangat berbeda meskipun dari satu acara yang sama. Seharusnya bisa memperkaya pemberitaan,” katanya.

Selama hampir 45 tahun menjadi pembaca setia, Bakdi masih mewarnai hari-harinya dengan Kompas di meja makan keluarganya. Harapan dan kepercayaan itu masih akan terajut lebih panjang. (IRE)



Jangan Lupakan Sejarah
Viator Parera, Pensiunan

Benediktus Viator Parera, warga Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur, yang lahir 6 Februari 1935, ini adalah salah satu dari ribuan penandatangan dukungan berdirinya Harian Kompas. ”Kami diminta Pastor Hendrik Djawa SVD membuat tanda tangan di sebuah buku tulis,” kenangnya saat ditemui di kediamannya di Maumere, Sabtu (5/6).

Beberapa hari kemudian, Frans Seda (alm), yang juga putra Sikka meminta dirinya untuk mengumpulkan tanda tangan. Karena itu, dia bersama dua rekan pemuda lain, yaitu EP da Gomes dan Sius da Cunha, berjalan kaki puluhan kilometer ke setiap paroki. ”Saya sudah lupa banyak hal sekitar ini, termasuk jumlah pasti penandatangan waktu itu, sekitar tahun 1964 atau 1965. Tetapi, ada ribuan orang,” kata Viator yang kini sudah berusia 75 tahun itu.

Viator mengaku membaca Kompas sejak tahun 1969 saat melanjutkan pendidikan di sekolah Pertanian di Pasar Minggu, Jakarta. Menurut dia, tulisan PK Ojong dan Jakob Oetama sangat tajam dan mengingatkan semua pihak waktu itu.

Ia pun berharap, Kompas pada usianya yang ke-45 ini tidak melupakan masyarakat Indonesia Timur. ”Bung Karno mengatakan, jangan sekali-kali melupakan sejarah,” ujarnya. (KOR)




Kehilangan Brouwer
Fajar Asrama Siahaan, Kolumnis

Kompas bagi kolumnis Fajar Asmara Siahaan merupakan koran berkelas. Tulisan yang muncul pun mendalam, cenderung investigatif, dan aktual. Oleh karena itulah dia setia membaca Kompas sejak tahun pertama koran itu terbit.

Dia membaca Kompas sejak tahun 1965 ketika jumlah halaman masih empat dan tulisannya masih buram. Saat itu, dia belum berlangganan, tetapi membelinya secara eceran dari kios. Selain Kompas, ia membaca sejumlah media dengan tujuan memperluas pengetahuan. Pengetahuan yang luas dibutuhkan karena saat itu dia menjadi aktivis Partai Nasional Indonesia dan masih menjadi mahasiswa di Universitas Nasional, Jakarta.

Pada tahun 1970-an, dia pindah ke Medan dan baru tahun 1980-an, Fajar berlangganan Kompas. Saat itu dia juga berlangganan dan membeli koran lainnya. Banyaknya koran yang dibaca itu untuk memperkaya referensi sekaligus membaca situasi politik saat itu.

Dia memutuskan berlangganan Kompas karena isinya mencerahkan. Setelah membaca koran, artikel yang menarik, terutama tentang politik dan ekonomi, dia menggunting dan mengkliping hari itu juga. Kebiasaan itu berlangsung sampai sekarang. ”Kekuatan Kompas yang membuat Saya tertarik adalah karena tidak beropini. Opini diserahkan kepada pembaca melalui kolom khusus,” kata Fajar di Medan.

Penulis opini di Kompas pun bukan sembarang orang. Dia tertarik dengan tulisan dua penulis opini di Kompas, yakni YB Mangunwijaya dan MAW Brouwer. Menurut Fajar, tulisan kedua orang itu sangat bermutu.

Setelah tak lagi menjadi eksportir. Fajar kemudian lebih banyak menulis dan berbicara di seminar dan pertemuan. Dia menggeluti dunia tulis-menulis sambil terus mempertahankan kebiasaannya membaca. Dari kebiasaan membaca itu dia tertarik untuk menulis. Saat ini, telah banyak buku bertema ekonomi dan politik telah ditulis. Dia juga menjadi penulis tetap di sebuah harian lokal ternama di Sumut. ”Kompas membantu saya dalam mencari ide tulisan,” katanya.

Bagi Fajar, kebiasaannya membaca, terutama membaca Kompas, tidak pernah secara khusus diajarkan kepada ketiga anaknya. ”Mungkin karena sering melihat saya membaca, akhirnya ketiga anak saya ikut rajin membaca dan berlangganan Kompas,” ujarnya.

Fajar menceritakan, sejak duduk di bangku sekolah dasar, kebiasaan membacanya terbilang tinggi dibandingkan dengan teman-temannya. Dia kerap berada di warung kopi untuk membaca koran yang biasanya dibaca pembeli. Dia juga meminta salah satu teman sekelasnya untuk membawa koran milik ayahnya ke sekolah. Kebetulan, ayah dari teman Fajar itu seorang kepala sekolah. Hal yang sama juga dia perlakukan kepada temannya yang ayahnya seorang asisten kebun dan berlangganan koran Mimbar Umum. ”Jadi, koran kemarin saya baca hari ini,” ujarnya. (MHF/MAR)



Jatuh Cinta karena Kartun
Yayah Sugihat, Kepala Sekolah

Keterpikatan Yayah Sugihat (61) kepada Kompas bermula dari kartun yang ditampilkan pada edisi Minggu. Kritik sosial melalui kisah Panji Koming, Timun, dan Konpopilan itulah yang pertama kali dibaca Yayah saat remaja.

”Kartun di Kompas merupakan sindiran cerdas. Saya mendapatkan informasi aktual yang menghibur,” tutur perempuan yang saat ini menjadi Kepala Sekolah SMK Telkom Sandhy Putera I Makassar, Sulawesi Selatan, di ruang kerjanya, Rabu (9/6).

Yayah mengenal Kompas dari almarhum kedua orangtuanya, Sutadi dan Etty, yang berlangganan sejak tahun 1965. Beragam informasi yang disajikan membuat Yayah yang kala itu duduk di bangku SMA menyukai Kompas. ”Waktu itu Kompas seperti membuka wawasan saya mengenai berbagai hal baru,” ungkap ibu dari tiga orang putra ini.

Saat diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1968, Yayah menyisihkan sebagian dari uang sakunya untuk berlangganan Kompas. Ulasan Kompas mengenai pertanian serta ilmu pengetahuan dan teknologi semakin menjadi favoritnya ketika bekerja di Pusat Penelitian Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) di Jakarta pada 1974.

Dua tahun kemudian, Yayah menikah dengan seorang pegawai PT Telkom, Anak Agung Gde Bagus (64), yang juga pembaca Kompas. Kegemaran membaca Kompas pun tetap terjaga meskipun Yayah harus mengikuti sang suami yang ditugaskan di Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.

Bekal sebagai sarjana teknologi pangan mendorong Yayah menjadi guru sukarelawan di SMA Negeri Waingapu yang baru saja dibuka tahun 1976. Tinggal di tempat yang terpencil tak menyurutkan niat Yayah tetap berlangganan Kompas yang kala itu tiba dua hari sekali di Waingapu. ”Beberapa berita di Kompas saya butuhkan untuk memperkaya materi pengajaran,” kata Yayah.

Kebiasaan itu berlanjut ketika Yayah dipercaya mengajar di SMK Telkom Sandhy Putera II Makassar pada tahun 1995. Analisis dalam rubrik kesehatan dan pendidikan kadang kala menjadi salah satu acuannya dalam mengajar. Bahkan, koran Kompas langganannya selalu dibawa ke sekolah dan ditaruh di ruang tamu. ”Supaya semakin banyak orang yang mengenal Kompas,” ujar Yayah.

Kebiasaan membaca Kompas juga dikenalkan kepada tiga orang putranya.

”Apa yang sudah disajikan Kompas saat ini sudah bagus. Hanya saja, agar koran ini tidak dicap sebagai koran ’orang tua’, Kompas seyogianya menyediakan juga rubrik untuk remaja,” kata Yayah yang rutin mengikuti kegiatan Forum Pembaca Kompas ini. Selain itu, ia juga berharap Kompas tetap memanggungkan tokoh-tokoh inspiratif yang ada di Tanah Air. (RIZ)



Jangan Hanya Berita Buruk
JB Anggono, Dokter

Dokter JB Anggono MARS (65) membaca Kompas sejak mahasiswa kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, tahun 1965. Ia kenal dengan Kompas pada tahun penuh gejolak menyusul peristiwa G30S. Ia tak ingat bulan pertama kali membaca Kompas. Yang pasti, tahun 1965—tahun terbit Harian Kompas—ketika ia masih kuliah tingkat II.

”Keluarga kami keluarga aktivis dan suka baca. Bapak saya aktivis Partai Katolik, sedangkan saya aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia. Waktu itu yang berlangganan Kompas adalah bapak, saya cuma numpang baca,” kata Anggono.

Beberapa hal membuat ia setia membaca Kompas.

Pertama, ikatan batin. Kedua, berita aktual dan akurat. Ketiga, masih dapat dipercaya posisinya terhadap sesuatu kasus.

”Membaca Kompas membuka wawasan. Membantu saya dalam pekerjaan dan mendapatkan informasi berbagai persoalan hangat. Saya percaya informasi dan analisis Kompas, meskipun kadang saya punya pendapat sendiri,” ungkapnya.

Ada satu alasan lagi yang membuatnya setia, karena Kompas memuat cerita bersambung dan kartun yang kritis. Cerbung membuatnya penasaran sehingga tak pernah ketinggalan membaca. Ia senang karena Kompas kembali memuat cerita bersambung.

Anggono beberapa kali putus langganan Kompas. Semua karena tugas, seperti kursus singkat di Budapest (1972) dan negara lain. Meskipun putus berlangganan, ia tetap membaca Kompas dengan membeli eceran atau meminjam. ”Di Hongaria, saya baca juga. Kompas ada di kedutaan waktu itu,” kata dia. Ia di sana empat bulan untuk kursus yang diadakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Terkait profesinya sebagai dokter, ia memiliki minat besar terhadap artikel kesehatan di Kompas. Sejumlah artikel kesehatan ia kliping lalu ditempelkan di papan pengumuman rumah sakit agar dibaca banyak orang.

Pada era teknologi digital seperti sekarang, posisi koran seakan tergeser televisi, radio, dan internet. Kecepatan informasi tak bisa ditandingi media format cetak.

Bagi dia, Kompas terkadang memuat topik kurang hangat atau terlalu banyak memuat berita buruk. Ungkapan bad news is good news, bagi Anggono, tak selamanya berlaku karena pembaca bisa bosan kalau terus-menerus membaca berita buruk.

Kesan mendalam bagi Anggono selama puluhan tahun membaca Kompas adalah peran media sebagai pembangun karakter bangsa. ”Di Kompas, saya temukan dalam tulisan opini, analisis, dan sosok. Tulisan-tulisan seperti itu harus selalu ada di Kompas,” kata kakek satu cucu itu. (WAD/GSA)



Ketularan Ayah
Willy Ranuhandoko, Manajer

Kehadiran Kompas dalam kehidupan keseharian seorang Uldericus Willy Ranuhandoko, manajer perusahaan manufaktur otomotif, sudah ”mendarah daging”. Willy, begitu dia disapa, mengenal Kompas sejak masih berusia delapan tahun, tahun 1967.

Saat dia masih duduk di kelas II sekolah dasar di Sukabumi, Jawa Barat. Setiap sore, Willy kecil punya kewajiban. Ayahnya yang seorang guru SD memintanya membeli koran Kompas di satu-satunya agen koran di Sukabumi, milik seorang bernama Suryadi. Karena mengenal ayah Willy sebagai seorang guru, sang pemilik agen yang baik itu sesekali menggratiskan korannya.

”Saya senang. Artinya, uang untuk membeli koran bisa saya belikan layang-layang di toko layangan terkenal di gang sebelahnya. Pengalaman membeli Kompas saat kecil boleh jadi pengalaman menyenangkan dan tak terlupakan,” kata Willy tersenyum.

Seiring waktu, Willy mengaku mulai ”ketularan” ayahnya gemar membaca Kompas. Apalagi, setelah sang ayah mengajarinya ”cara membaca koran”, yang benar, dengan menjelaskan apa itu kolom, baris, headline, atau rubrik.

Sekali waktu Willy mengaku pernah membaca berita dan foto Perdana Menteri Israel saat itu, Golda Meir. Golda, menurut pandangan Willy, jauh lebih mirip sebagai seorang laki-laki dengan sosok yang tinggi seperti tampak dari foto yang dimuat di Kompas edisi tersebut. Menurut pemahamannya kala itu, Kompas salah menulis Golda sebagai perempuan.

”Waktu itu saya kirim surat pembaca ke rubrik ’Redaksi Yth.’ Keesokannya, surat itu dimuat dengan jawaban balasan, Golda benar seorang perempuan. Tidak cuma itu, saya malah dikirimi surat oleh pembaca lain, yang di dalamnya terdapat foto Golda berseragam tentara perempuan Israel,” ujar Willy.

Willy senang karena merasa keingintahuannya dihargai dan dia malah banyak mendapat masukan informasi baru. Pengetahuan baru yang beragam juga diperolehnya dari kegemaran Willy mengisi teka-teki silang (TTS). Walau tidak pernah memenangi hadiah uang dari rubrik itu, kebiasaannya mengisi TTS membantu dalam mempersiapkan dirinya setiap akan ikut lomba cerdas cermat antarsekolah di Sukabumi mewakili sekolahnya.

Saat dewasa, Willy diminta terlibat dalam Forum Pembaca Kompas sejak tahun 2002 dan malah sempat sekali menjadi ketuanya. Ada beberapa hal yang menjadi kepedulian. Tidak hanya isi dan cara penulisan berita, Willy mengkritik sejumlah iklan. Beberapa iklan produk mewah tidak pas dengan visi-misi Kompas seperti tertulis dalam mottonya, ”Amanat Hati Nurani Rakyat”.

Dengan perkembangan teknologi informasi, kalau cuma mau cari berita baru dan up to date, hal itu bisa saja dilakukan setiap detik melalui berbagai layanan mobile internet di telepon genggam. ”Buat saya, pemberitaan Kompas menjadi semacam konfirmasi berita terkait kejadian atau peristiwa. Ada kedalaman, akurasi, sudut penulisan berbeda, dan kepercayaan saat membaca berita Kompas,” ujarnya. (DWA)

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juni 2010

No comments: