-- Iwan Gunadi
CARA Komisaris Jenderal Susno Duadji mengungkapkan kekecewaan terhadap perilaku buruk sejumlah petinggi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengingatkan saya pada cara yang ditempuh Multatuli (nama pena Eduard Douwes Dekker) yang juga kecewa terhadap beberapa petinggi Pemerintahan Hindia Belanda pada pertengahan abad 19. Susno membicarakannya dengan Kapolri, Jenderal (Polisi) Bambang Hendarso Danuri, tapi respons yang diberikan atasannya tak sesuai dengan harapannya. Sebagai Asisten Residen Lebak, Multatuli melaporkan pemerasan dan penindasan yang dilakukan bupati Lebak terhadap rakyatnya sendiri kepada residen dan bahkan gubernur jenderal, tapi mereka tak memercayainya.
Nasib yang dialami Susno Duadji dan Multatuli juga mirip. Setelah berkoar kepada media massa dan Komisi III DPR, Susno diganjar sebagai pelanggar disiplin dan bahkan dijadikan tersangka kasus lain dan dibui. Sedangkan Multatuli dinilai gubernur jenderal tak cakap bekerja, sehingga diputuskan untuk dimutasikan ke tempat lain.
Multatuli malah lebih dulu mengajukan pengunduran diri dan dikabulkan ketika masa kerjanya sebagai asisten residen baru dijalani sekitar empat bulan. Di titik itu, Susno berbeda. Dia terkesan menunggu dipecat dan tak mau mengundurkan diri.
Perbedaan lainnya, Susno mengoceh ke sana-kemari ketika dirinya masih tercatat sebagai anggota polisi. Sedangkan Multatuli menceritakan praktek buruk kolonialisme setelah tak lagi menjadi pangreh praja Hindia Belanda. Susno mengoceh demi menyelamatkan masa depan kepolisian sekaligus ingin menunjukkan kecintaannya kepada lembaga yang menaungi dan membesarkannya. Multatuli mendedahkan sisi buruk praktek kolonialisme bukan karena ingin menghapus kolonialisme, melainkan untuk memperbaiki praktek kolonialisme. Sejatinya, dia tetap tak antikolonialisme.
Cerita Susno ditempatkan pada ranah fakta (berita), sedangkan laporan Multatuli didedahkan dalam bentuk fiksi, yakni roman Max Havelaar, of de Koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-maatschappij. Lika-liku hidup Max Havelaar, tokoh utama roman tersebut, sebangun dengan perjalanan hidup pengarangnya, Multatuli.
Namun, imbas publikasi ucapan Susno dan roman Multatuli sama-sama menggemparkan. Pro-kontra mengemuka. Meski apa yang diungkapkan Susno dianggap sudah menjadi rahasia umum, banyak pihak terperangah. Apa yang dikisahkan Multatuli sesungguhnya juga bukan sesuatu yang baru, tapi ketika diterbitkan pertama kali oleh penerbit J. De Ruyter di Amsterdam pada 150 tahun lalu, roman itu tetap memerahkan telinga para pembesar Kerajaan Belanda.
Maklum, ucapan Susno dan roman Multatuli sama-sama diposisikan sebagai serangan terhadap lembaga. Rongrongan terhadap esprit de corps atau corpsgeest. Apa pun yang dilakukan orang�lebih-lebih pemimpin�atas nama lembaga, lembaga tak pernah dianggap salah dan tak boleh dipersalahkan. Hanya orangnya atau pemimpinnya yang salah.
Tapi persoalannya, kalau anggota atau pemimpin suatu lembaga dituduh bersalah, atas nama esprit de corps, orang-orang yang dinaungi lembaga tersebut cenderung akan melindunginya. Lebih-lebih bila anggota atau pemimpin itu sudah bekerja sesuai dengan peraturan yang berlaku di lembaga tersebut. Maklum, serangan terhadap anggota atau pemimpin suatu lembaga dianggap sebagai serangan terhadap lembaga. Esprit de corps seperti telah dikebiri demi menjaga reputasi anggota atau lebih-lebih pemimpin lembaga. Mending kalau dia benar-benar bereputasi. Tapi, kalau tidak?
Esprit de corps seperti itu tentu berakar dari budaya organisasi yang keliru. Oleh sebab itu, ketika ada anggota atau pemimpin suatu lembaga dituduh bersalah atau bahkan diputuskan bersalah oleh pengadilan, lebih-lebih yang telah berkekuatan hukum tetap, menindak anggota atau pemimpin itu secara organisatoris saja tidaklah cukup. Membuka peluang mengaji ulang budaya organisasi untuk koreksi ke arah yang lebih baik tak selayaknya dilupakan. Sebab, kelaziman tak berbanding lurus dengan kebaikan atau kebenaran.
Kalau berseberangan dengan kebaikan atau kebenaran, citra tak sepantasnya dijaga atau diperjuangkan mati-matian. Jangankan menutupi kesalahan satu dua anggota atau pemimpin lembaga, menutupi kinerja buruk lembaga secara menyeluruh hanya demi menjaga citra bisa menjadi tindakan kontraproduktif. Apalagi jika sampai menyerang balik pihak yang mengendus atau membeberkan kinerja buruk tersebut.
Mengumbar keburukan memang bisa kontraproduktif, karena dapat melemahkan motivasi para penggerak organisasi. Tapi, pada zaman keterbukaan informasi seperti sekarang, tak menutupi keburukan ketika pihak lain mengendus atau bahkan membeberkannya lebih dihargai publik ketimbang mati-matian berkelit. Yang penting, langkah tersebut dilakukan secara terukur dan tak melupakan upaya-upaya konkret untuk memperbaikinya.
Jangan sampai bangsa ini bergerak di tempat atau bahkan mundur hanya gara-gara kekakuan organisasi dan kebekuan budaya korps setiap lembaga, lebih-lebih lembaga publik. Jangan sampai ketika roman Multatuli sudah menyorongkan inspirasi pada tataran yang lebih tinggi kepada publik Belanda pada 200 tahun usia penerbitan roman tersebut kelak, kita masih mempertahankan kekakuan dan kebekuan tersebut. Padahal, tempat kejadian perkara (TKP) roman itu di wilayah republik ini. Paradoks!
* Iwan Gunadi, Peminat sosial budaya
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 19 Juni 2010
No comments:
Post a Comment