YOGYAKARTA, KOMPAS - Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X mengusulkan pembangunan museum Dr Yap di bekas lahan Balai Mardi Wuto yang tengah dijadikan pertokoan Yap Square. Museum itu diharapkan berbagi lahan dengan bangunan toko.
”Saya kira kemungkinan dibangunnya museum Dr Yap ini sudah saatnya dipertimbangkan, untuk mengingatkan bahwa tempat itu merupakan embrio pendidikan dan pelatihan tunanetra,” katanya di depan pengelola Yayasan Dr Yap Prawirohusodo saat peresmian gedung baru kamar operasi Rumah Sakit Dr Yap di Yogyakarta, Sabtu (19/6).
Meski sudah dihancurkan, nilai sejarah dan budaya Balai Mardi Wuto sebagai embrio pendidikan penyandang tunanetra dan simbol akulturasi Jawa-Tionghoa diminta tetap dilestarikan.
Menurut Sultan, banyak peninggalan pendiri Rumah Sakit Mata Dr Yap dan Balai Mardi Wuto, Dr Yap Hong Tjoen, yang bisa dilihat publik. Selain peralatan kedokteran mata atau ophthalmology, Dr Yap Hong Tjoen juga meninggalkan foto-foto keluarga dan literatur sebanyak 934 judul.
Sultan juga menyarankan pembangunan kembali gerbang berarsitektur Tionghoa beraksara Jawa yang pernah menghiasi kompleks itu. Gerbang itu sudah dirobohkan akhir 1970. Gerbang simbol akulturasi itu diharapkan menjadi gerbang utama ke pertokoan Yap Square.
Selain itu, arsitektur bangunan induk pertokoan Yap Square yang berlantai dua diharapkan selaras dengan karakteristik khas bangunan rumah sakit. Keselarasan ini diminta menjadi satu kesatuan dengan kompleks itu.
Menurut Sultan, bangunan yang tetap memerhatikan prinsip pelestarian nilai sejarah dan budaya akan memberi nilai tambah pada Rumah Sakit Mata Dr Yap. Solusi itu bisa meredakan polemik terkait pembongkaran balai yang ada di sisi barat Jalan C Simanjuntak tersebut.
Fungsi sosial
Perubahan fungsi lahan menjadi pertokoan Yap Square diharapkan tidak mengubah fungsi sosial Badan Sosial Mardi Wuto. Selama ini badan itu menyediakan pelatihan dan pendidikan bagi penyandang tunanetra.
Sebelum dirobohkan, Balai Mardi Wuto digunakan sebagai pusat pelatihan dan pendidikan penyandang tunanetra. Di lahan itu pernah ada perpustakaan braille, kaset bagi tunanetra, gedung pelatihan, serta tempat penyaluran penyandang tunanetra ke lapangan kerja yang sesuai. ”Fungsi-fungsi sosial ini jangan ditinggalkan karena pemerintah belum punya dana untuk mengatasinya,” ujar Sultan.
Terkait hal itu, Ketua Yayasan Dr Yap Prawirohusodo GPBH Prabukusumo mengatakan, yayasan mendapat Rp 5 miliar dari penyewaan lahan Balai Mardi Wuto selama 30 tahun. Sebanyak Rp 1 miliar dialokasikan untuk meneruskan fungsi-fungsi sosial Mardi Wuto.
Menurut dia, pembongkaran Balai Mardi Wuto tak menyalahi aturan pembangunan benda cagar budaya (BCB). Selama ini status BCB pada bangunan yang didirikan sekitar tahun 1926 itu merupakan kekeliruan yang telah diluruskan. (IRE)
Sumber: Kompas, Senin, 21 Juni 2010
No comments:
Post a Comment