Jakarta, Kompas - Tradisi, adat-istiadat, dan bahkan sistem kepercayaan masyarakat Dayak di Kalimantan diwarnai dengan relasi mereka yang sangat dekat dengan alam. Karena itu, ketika sumber daya alam mereka dieksploitasi secara berlebihan oleh masyarakat luar, mereka kaget dan sebagian frustrasi.
Pengunjung melihat senjata tradisional mandau dan sumpit khas Dayak, Kalimantan Barat, yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (11/6). Selain senjata tradisional, beragam aksesori, pakaian, dan kuliner Dayak dipamerkan hingga hari Minggu besok. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)
Pembuatan peraturan soal pengambilan sumber daya alam Kalimantan semestinya memerhatikan keyakinan dan filosofi masyarakat Dayak. Menghancurkan lingkungan alam Kalimantan berarti menghancurkan hidup mereka. Sebaliknya, menjaga alam Kalimantan berarti menjaga hidup masyarakat Dayak.
Demikian salah satu pokok persoalan yang mengemuka dalam diskusi dan peluncuran buku, Memahami Tuhan Melalui Alam: Religiusitas Dayak Kalimantan yang ditulis Benediktus Benik di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Jumat (11/6) siang. Peluncuran buku tersebut dalam rangkaian acara Gelar Budaya Dayak Kalimantan Barat yang diselenggarakan Yayasan Santo Martinus de Porres dan berlangsung hingga hari Minggu.
Selain diskusi, juga ada pameran berbagai jenis senjata khas Dayak, perhiasan, kain tenun dan batik, kuliner, atraksi kesenian, serta permainan sumpit dan peragaan busana Dayak.
Bupati Landak Adrianus Asia Sidot mengatakan, budaya Dayak yang bersahabat dengan alam harus tetap dipegang teguh dan dipertahankan. Namun, dalam pelaksanaannya harus mengalami perubahan.
Misalnya, sekitar 30 tahun lalu, masyarakat Dayak sangat mudah mendapatkan ikan di sungai, buah-buahan dan hewan buruan di hutan. Namun, dengan rusaknya lingkungan, masyarakat Dayak harus mulai membiasakan budi daya ikan, buah-buahan, dan hewan peliharaan.
Benediktus Benik mengatakan, masyarakat Dayak senantiasa hidup dan bersahabat dengan alam. Mereka sangat menghormati air, pohon, batu dan lingkungan sekitar. Namun, penghormatan ini sering diartikan masyarakat lain sebagai animisme. ”Padahal, masyarakat Dayak menyembah Tuhan yang disebut Jubata, atau nama lain sesuai dengan subsuku masing-masing,” kata Benik. (THY)
Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Juni 2010
No comments:
Post a Comment