Friday, June 25, 2010

[Pustakaloka] Sisi Gelap Demokrasi Indonesia

-- Ali Usman



Data buku

• Judul: Sisi Gelap Pemilu 2009: Potret Aksesori Demokrasi Indonesia • Penulis: Ramdansyah • Penerbit: Rumah Demokrasi • Cetakan: I, Maret 2010 • Tebal: xxv + 419 halaman • ISBN: 978-602-96285-0-0

PEMILU 2009 telah usai. Tetapi, perbincangan berupa evaluasi dan refleksi atas hajatan besar bangsa tersebut belumlah selesai.

Sebagaimana sebelumnya, Pemilu 2009 menyisakan sejumlah catatan yang mesti diungkap secara terbuka, terang benderang dan tanpa harus ditutupi oleh tekanan-tekanan politik tertentu. Sikap inilah yang sejatinya dijunjung tinggi sebagai konsekuensi logis dari sebuah era reformasi—yang merupakan antitesa Orde Lama maupun Baru.

Ramdansyah, aktivis yang terlibat langsung dalam proses pengawasan/pemantauan penyelenggaraan Pemilu 2009, mendokumentasikan catatan terserak yang kemudian dianalisis secara tajam dan kritis. Pengalamannya sebagai Ketua Panwaslu DKI Jakarta membuat dirinya mudah mendapatkan data penting—atau mungkin tabu dan rahasia—untuk diketahui publik. Itu sebabnya, setiap lembar halaman tampak disesaki oleh data yang dimungkinkan sangat valid kebenarannya.

Meskipun fokus kajian Pemilu 2009, Ramdansyah tampak cerdik dan jeli menganalisis pelbagai tema krusial yang mengitari pelanggaran demi pelanggaran yang memenangkan duet SBY-Boediono. Artinya, walau catatan Pemilu 2009 mendominasi analisis kajiannya, tetapi ia juga mengambil langkah strategis membandingkan dengan bentuk pelanggaran Pemilu Orde Lama maupun Baru. Strategi ini tentu sangat jitu untuk menemukan relevansi sekaligus legitimasi atas apa yang ia uraikan secara kritis. Dan, itulah kelebihan dari buku setebal 419 halaman ini.

Evaluasi pelanggaran

Menurut Ramdansyah, evaluasi terhadap pemilu suatu rezim dapat dilihat dari dua pendekatan. Pertama, terkait dengan proses penyelenggaraan. Kedua, terkait produk yang dihasilkan oleh sistem pemilu itu sendiri. Kita dapat melakukan penilaian terhadap semua prosedur dan produk UU Politik menjelang pemilu diselenggrakan. Kinerja anggota Dewan terpilih dalam menyerap aspirasi masyarakat kemudian jadi barometer keberhasilan suatu pemilu (hal 353).

Itu sebabnya, Ramdansyah tidak melewatkan data sejarah yang amat penting, seperti proses penyelenggaraan Pemilu Orde Lama yang meninggalkan kevakuman sejak tahun 1955. Pengaktifan kembali pemilu terjadi setelah G30S/PKI, di mana MPRS mengeluarkan ketetapan No XI/MPRS/1966. Pasal 1 Tap MPRS tersebut menyatakan bahwa pemilu yang bersifat langsung, bebas, dan rahasia harus dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968. Sejarah terus berjalan hingga pelaksanaan selanjutnya pada 1971, masa pertama rezim Orde Baru, dan berakhir pada Pemilu 1997.

Ironisnya, pemilu pada masa Orde Baru justru tidak jauh berbeda dengan Orde Lama. Bahkan, semakin memperparah kondisi bangsa yang semestinya memupuk subur alam demokratisasi. Kebobrokan sistem pemilu tampak terang secara kasatmata. Ini terlihat, misalnya, pada birokrasi penyelenggara. Birokrasi dipaksa masuk dalam struktur Golkar yang merupakan parpol peserta pemilu. Kecenderungan untuk bersikap nonpartisan menjadi alasan bahwa Pemilu 1997 masih jauh dari kategori jujur dan adil. ABRI, sebagai kekuatan sosial politik, mendapat payung hukum UU yang merupakan catatan buruk demokrasi pada Pemilu 1997.

Pemilu 1999 adalah yang pertama kali yang dilakukan setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Pemilu ini menjadi sangat penting karena menjadi jembatan demokrasi yang hendak dicapai bangsa Indonesia. Apakah transisi politik dengan Pemilu 1999 akan mengantarkan pada demokrasi terkonsolidasi? Sebaliknya, Pemilu 1999 justru menjadi perangkap menuju rezim otoriter kembali. Tidak aneh, keterlibatan lembaga independen pengawas jalannya pemilu pun banyak bermunculan.

Alternatif penyelesaian

Tesis utama buku ini berpangkal bahwa setiap penyelenggaraan pemilu hampir dipastikan terjadi pelanggaran-pelanggaran sistemik. Ini terjadi pada Pemilu 2004 dan 2009 lalu. Fakta-fakta seperti penggelembungan suara, kesemrawutan, dan ketidaksiapan panitia menyiapkan perangkat pemilihan serta praktik pelanggaran lainnya sudah pasti berstempel—meminjam istilah di judul buku ini—”sisi gelap Pemilu 2009”.

Lalu, bagaimana penyelesaiannya? Sayangnya, menurut Ramdansyah, hukum terasa lumpuh menyelesaikan berbagai pelanggaran Pemilu 2009 meskipun telah dibekali oleh ratusan pasal pidana dan ancaman hukumannya. Teks hukum yang tertulis, meskipun bagus, tampak tidak utuh ketika tidak tecermin dalam praktik di lapangan. Hukum tidaklah hidup di ruang hampa, berkutat pada teks-teks yang disusun dengan bahasa kekuasaan Istana dan Senayan. Teks-teks hukum yang dikunyah tidak berbanding sejajar dengan realitas penegakan hukum yang memberi kepastian terhadap rasa keadilan, hanya mempertontonkan ”telenovela”. Enak ditonton, namun pahit dalam realitas (hal 23).

Karena itu, apa yang diungkap Ramdansyah soal pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam Pemilu 2009, termasuk pula pada ajang pemilihan kepala daerah (pilkada), sering kali berujung di Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya, tetap saja ”blunder”, tidak menemukan arah kejelasannya. Ramdansyah mengistilahkan fenomena yang demikian layaknya menunggu Godot datang ke bumi untuk menegakkan demokrasi.

Pemecahannya, menurut Ramdansyah, ada beberapa alternatif yang harus ditempuh. Pertama, sorotan publik dalam pengawasan partisipatif perlu ditingkatkan. Tidak lagi dijejal dalam wacana normatif tetapi juga mesti segera direalisasi secara riil di lapangan. Daya kritis masyarakat lokal terutama yang jauh dari pusat kekuasaan terasa lemah. Maka untuk mendapatkan kontrol publik yang lebih luas, mau tak mau keinginan pilkada serentak di tingkat provinsi perlu didukung.

Kedua, pilkada serentak di tingkat provinsi tidak saja mengefisiensikan APBD, tetapi juga menguntungkan dari segi pengawasan. Jadi, kalau pelaksanaan pilkada digelar secara serentak, menurut Ramdansyah, akan dapat memudahkan koordinasi Bawaslu, Panwas Pilkada provinsi/kabupaten/kota untuk membantu KPU provinsi/kabupaten/kota dalam penyelenggaraan manajemen pilkada.

* Ali Usman, Aktivis Sosial dan Peneliti Utama Civil Society Institute Yogyakarta

Sumber: Kompas, Jumat, 25 Juni 2010

No comments: