Sunday, June 13, 2010

[Lipsus] RSBI: Peningkatan Kualitas atau Komersialisasi Pendidikan?

-- Endang Sukarelawati

BEBERAPA puluh tahun silam tidak banyak anak negeri yang bisa bersekolah hingga mencapai jenjang pendidikan tinggi, bahkan untuk jenjang SMA saja jumlahnya juga tidak terlalu banyak.

Namun kini, jumlah lulusan sekolah yang hendak melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi selalu melebihi kuota sekolah negeri. Peminat sekolah negeri, terutama sekolah-sekolah yang "difavoritkan", seperti sekolah yang berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI) selalu membludak, jauh melebihi kapasitasnya.

Akhirnya RSBI dan SBI menjelma sebagai sekolah favorit yang eksklusif, yang menjadi pusat perburuan anak-anak, bahkan orang tua. Mereka semua berlomba-lomba mampu menembus RSBI yang ada di daerahnya.

"Secara hukum RSBI ini legal dan diperbolehkan, sehingga sekolah-sekolah yang secara kualitas mampu dan ditunjang dengan berbagai fasilitas yang mendukung penyelenggaraannya tidak dilarang mengajukan status RSBI bagi sekolahnya. Tentu juga ada ketentuan yang harus dipenuhi untuk bisa mendapatkan surat keputusan (SK) RSBI ini," tegas Kepala Dinas Pendidikan Nasional (Kakandiknas) Kota Malang Dr M Sofwan.

Pada dasarnya, kata Sofwan, RSBI ini untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan siswa dibidang akademik maupun nonakademik, sehingga siswanya juga diseleksi secara ketat dan benar-benar mampu dan itu berlaku untuk semua jenjang pendidikan, mulai SD-SMA.

Kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terlama di lingkungan Pemkot Malang itu mengatakan, seleksi siswa baru terutama untuk jenjang SMP dan SMA, tidak hanya berpatokan pada nilai ujian nasional (NUN) saja, tapi juga hasil tes wawancara siswa dalam Bahasa Inggris, psikotes dan tes akademik serta rapor siswa kelas I dan kelas II.

Hanya saja, lanjutnya, hasil tes yang diperoleh para calon siswa baru di sekolah dengan status RSBI khususnya SMA, memang tidak dicantumkan karena sistem yang digunakan seperti seleksi nasional mahasiswa perguruan tinggi negeri (SNMPTN) yang tidak mencantumkan nilai masing-masing siswa.

Penggunaan sistem SNMPTN itu sudah disepakati bersama antara Diknas dan musyawarah kerja kepala sekolah (MKKS) RSBI sebelum dilaksanakannya PSB mandiri.

Namun, kebijakan yang dianggap paling baik oleh Diknas dan MKKS sekolah RSBI tersebut ternyata justru membelit kedua institusi tersebut, bahkan dihadapkan pada sejumlah kritis "pedas" dan protes dari orangtua siswa yang merasa anaknya pintar, tetapi tidak diterima di sekolah pilihannya.

"Anak saya memiliki IQ 140 dan nilai rapor serta NUN-nya cukup tinggi, bahkan berasal dari sekolah favorit di Malang. Tapi, kenapa ketika mengikuti tes di SMAN 3 kok tidak lolos, justru anak yang dalam kesehariannya biasa-biasa saja diterima. Apa ini tidak terjadi permainan," ucap salah seorang orang tua siswa Dian, warga Jalan Panggung Kota Malang mempertanyakan.

Ketidakberesan sistem PSB mandiri beberapa RSBI di Kota Malang itu cukup menyentak berbagai pihak, apalagi dengan kewajiban membayar cukup mahal untuk ukuran SMA di kota seperti Malang ini.

"Masak sih bayarnya sampai jutaan, gak mungkinlah kalau sampai segitu. Coba saya cek dulu ke Pemkot Malang, apa benar sekolah di RSBI harus membayar segitu, seharusnya untuk menyukseskan program wajib belajar 12 tahun, pendidikan itu gratis," tegas Wakil Gubernur Jawa Timur Syaifullah Yusuf.

Menurut dia, APBD di Jawa Timur ini rata-rata sudah mengucurkan anggaran untuk pendidikan 30 persen dan itu pun masih ditunjang dengan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan-bantuan lainnya. Tapi, kenapa masih ada biaya sekolah yang mencapai jutaan rupiah.

Di Kota Malang calon siswa baru yang diterima di sekolah berstatus RSBI minimal menyiapkan dana tunai sebesar Rp6 juta-Rp6,9 juta untuk jenjang SMA. Sedangkan untuk jenjang SMP dan SD masih belum ada pengumuman, namun pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya tidak jauh berbeda (selisihnya hanya sedikit), yakni antara Rp4 juta-Rp5 juta.

Jenjang SD di Kota Malang yang berstatus RSBI adalah SDN Kauman I dan SDN Tunjungsekar I, jenjang SMP adalah SMPN 1, 3 dan SMPN 5. Sedangkan untuk jenjang SMA ada enam, yakni SMAN 1, 3,4, 5,8, dan 10.

Polemik sistem yang digunakan dalam PSB mandiri dan biaya awal di SD-SMA RSBI membuat parawakil rakyat daerah itu "gerah", sehingga memanggil Kakandiknas setempat Dr M Sofwan untuk mempertanggungjawabkan kebijakan yang telah dibuat dan disepakati bersama MKKS tersebut.

Ketua Komisi D DPRD Kota Malang Syaiful Rusdi mengatakan, polemik ini harus segera diakhiri dan mencari solusi yang tidak merugikan masyarakat dan pihak sekolah juga tidak terbebani.

"Kalau tidak ada solusi polemik akan terus berlanjut, padahal sekolah harus mempersiapkan tahun ajaran baru dan orang tua siswa juga harus mencari sekolah bagi anaknya," ucapnya menegaskan.

Komersialisasi pendidikan

Dibukanya program sekolah dengan status RSBI dengan harapan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Tanah Air itu sah-sah saja. Tapi apakah RSBI harus menjadi sekolah yang eksklusif, tak terjangkau oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah, sementara anak-anaknya mampu dan tergolong pintar.

Haruskah RSBI hanya bisa dinikmati oleh kalangan yang berduit saja. "RSBI tidak seperti itu, banyak anak-anak tidak mampu tetapi pintar juga diterima di RSBI. Mereka juga tidak sedikit yang mendapatkan keringanan, bahkan bebas biaya (nol rupiah)," kata Wali Kota Malang Peni Suparto.

Persyaratan bagi yang tidak mampu dan ingin mendapatkan keringatan di sekolah-sekolah RSBI, katanya, juga tidak susah. Cukup menyodorkan surat keterangan tidak mampu yang ditandatangani RT dan RW serta dilegalisasi kelurahan.

Berbeda dengan Peni, pengamat pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Suparto mengatakan, kalau sekolah-sekolah RSBI itu sistem yang digunakan masih seperti sekarang ini, tidak menutup kemungkinan lambat laun justru akan "terdegradasi" dan menjadi sekolah yang tidak diminati.

"Sekarang memang masih `milik` RSBI. Berapa pun biaya yang dipatok oleh pihak sekolah tetap menjadi rebutan, karena masih menjadi primadona. Dari sinilah pihak sekolah mencari cara bagaimana mendulang keuntungan dari status RSBI yang disandang," tuturnya.

Sekolah-sekolah berstatus RSBI, tegasnya, dengan mudah mengeruk dana sebesar-besarnya dari orang tua siswa. Nilainya pun jutaan rupiah, bahkan mengalahkan biaya kuliah di beberapa kampus di daerah ini.

Penerimaan siswa baru apalagi dengan jalur mandiri sebelum jalur "online" dibuka, benar-benar membuka kesempatan bagi sekolah untuk mengkomersialkan pendidikan dan status RSBI yang disandang sekolah bersangkutan.

"Ternyata komersialisasi pendidikan sudah merambah berbagai jenjang, tak terkecuali di TK. Saya benar-benar prihatin, sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas memadai dan bertaraf internasional akhirnya hanya bisa dinikmati anak-anak yang hidupnya berkecukupan saja. Bagi yang tidak mampu cukup jadi penonton saja dan `minggir` ke sekolah yang lebih murah," katanya.

Ia mengakui, RSBI dengan sistem PSB mandiri lambat laun pasti mengarah pada kastanisasi pendidikan, baik dibidang akademik maupun pendanaan dari orang tua siswa. "Memang kita akui untuk saat ini sekolah yang berstatus RSBI kualitasnya rata-rata lebih baik dan tingkat kelulusannya juga jauh dibanding sekolah non-RSBI," ujarnya.

Padahal kalau dicermati, berdasarkan PP Nomor 28 tahun 2009 tentang RSBI, pembiayaannya berasal dari APBN, APBD provinsi dan APBD kota/kabupaten serta partisipasi masyarakat.

Selain itu masih ada dana BOS, dana stimulan dari APBN melalui dana alokasi khusus (DAK). Namun, kenapa sekolah-sekolah RSBI yang berstatus sekolah negeri atau milik pemerintah ini justru memungut biaya cukup besar dari orang tua siswa. Belum lagi dana yang dikumpulkan dari pendaftaran sebesar Rp150 ribu untuk satu siswa.

"Kalau sekolah masih memungut biaya jutaan rupiah itu, terus kucuran dana dari pemerintah termasuk BOS ini kemana larinya, ini yang harus dicermati dan diusut," kata Wagub Jatim Syaifullah Yusuf.

Kota Malang merupakan kota satu-satunya di wilayah Malang Raya yang berpolemik dan menuai banyak protes terkait PSB RSBI. Sementara Kota Batu dan Kabupaten Malang yang juga membuka RSBI sama sekali bebas dari protes, bahkan di SMAN 1 Batu yang berstatus RSBI sama sekali tidak memungut SBPP.

Biaya awal yang dibutuhkan hanya Rp1,3 juta untuk kebutuhan pembayaran seragam, SPP Bulan Juli, buku-buku dan kebutuhan MOS bagi siswa baru. Sedangkan di Kota Malang untuk SBPP di enam SMAN RSBI nominalnya "seragam" sebesar Rp5 juta, ditambah biaya seragam, SPP Bulan Juli, kebutuhan buku-buku dan biaya MOS antara Rp1 juta-Rp2 juta, sehingga total yang harus dibayarkan diawal sebesar Rp6 juta-Rp7 juta.

"Mau bagaimana lagi bu, kalau tidak dibayar takutnya digeser oleh calon siswa lain yang berstatus cadangan, mau tidak mau ya kami bayar biaya awal sebesar Rp6,5 juta," kata Indahwati, orang tua siswa baru SMAN 8 Malang.

Kemelut yang terjadi dalam tubuh sekolah-sekolah RSBI, tidak hanya di Kota Malang dan sekitarnya, tapi secara nasional membuat Komisi X DPR RI mendesak Mendiknas untuk segera membuat payung hukum RSBI untuk menekan pungutan di sekolah tersebut. (ES/E009)

Sumber: Antara, Minggu, 13 Juni 2010

No comments: