-- Teuku Kemal Fasya
AGAK tidak lazim seorang muda menuliskan sebuah memoar. Memoar biasanya dituliskan seseorang yang merasa ”selesai” dengan hidup sehingga harus meninggalkan kata-kata untuk generasi selanjutnya. Begitu pun akhir-akhir ini kurang lazim pula sejarah kekalahan terangkai dalam suatu memoar.
Namun, bagi Indra Jaya Piliang, muda umur tidak menjadikannya mentah. Demikian pula tiga catatan kekalahan dirinya di dunia politik tidak membuatnya enggan memaparkan secara kritis dalam buku ini.
Seandainya Indra lulus pada jurusan Ilmu Meteorologi dan Geofisika Institut Teknologi Bandung (ITB) sembilan belas tahun lalu, mungkin garis hidupnya tidak seperti sekarang. Ia tidak lulus untuk pilihan pertamanya kala ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN). Saat itu, seperti lugunya seorang belia desa, ia tak tahu bahwa jurusan itu tidak berhubungan dengan cita-citanya menjadi astronot (hal 37).
Ia lulus di pilihan kedua, jurusan Sejarah di Universitas Indonesia (UI). Seperti kutipan James Redfield dalam Celestine Prophecy, ”sejarah hidup seperti membuka jendela, ia menjadi pengalaman pertama melihat matahari”. Pengalaman Indra pada dunia sosial-humaniora menjadi jalan mengetahui dunia aktivitas mahasiswa dan tulisan.
Tahun 1991 dikenangnya sebagai masa Orde Baru berada di titik didih tertinggi mengonstruksikan dirinya, tahun-tahun ketika sejarah hanya milik penguasa. Bosan dengan mata kuliah Sejarah karena dosen-dosennya pengikut Nugroho Notosusanto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Orde Baru, ia mengambil jalan lain untuk membahagiakan diri dengan membaca buku-buku Betrand Russel, Peter L Berger, Herbert Marcuse, dan ”sejarawan miring”, seperti Benedict Anderson, Robert Cribb, dan Hary A Poeze.
Menuju kekuasaan
Awalnya, sosok Indra Piliang dikenal sebagai peneliti di sebuah lembaga riset yang era lampau dekat dengan Soeharto, Center for Strategic and International Studies (CSIS). Sejarah intelektualitasnya secara khusus ditulis satu bab, berjudul ”Delapan Tahun yang Hangat”. Tentu saja ia merasa ”berutang banyak” dengan lembaga ini sebab gelar peneliti pada lembaga itu ikut memajukan analisisnya ketika mengulas masalah sosial-politik di pelbagai media nasional.
Akhirnya, ia memutuskan memasuki dunia politik praktis dan meninggalkan wacana. Pilihan Indra untuk bercerai dengan dunia kata-kata yang telah membesarkan namanya dan masuk di dunia baru, dunia politik praktis, merupakan pilihan taktis untuk berbuat lebih. Pada 6 Agustus 2008, ia mendeklarasikan masuk Partai Golkar. Pilihan ini ikut mengganggu, terutama di kalangan aktivis 1998, karena dianggap mendukung partai rezim otoriter masa lalu yang mengganyang reformasi. Ia dianggap telah mati idealisme ketika bergabung dengan Golkar (hal 288).
Sosok yang memengaruhi pilihannya adalah Jusuf Kalla. Menurut dia, Jusuf Kalla lebih besar dari sekadar Ketua Golkar. Dalam pandangannya, Jusuf Kalla adalah tokoh bangsa yang berhasil membangun stabilitas demokrasi bersama Susilo Bambang Yudhoyono dan menginisiasi perdamaian seperti di Aceh. Bahkan, menurut Indra, peran Jusuf Kalla lebih besar dibandingkan Yudhoyono untuk isu krusial, seperti Aceh, bahan bakar minyak (BBM), atau ketika berhadapan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Tiga kekalahan
Ternyata dunia politik yang didambanya tidak begitu berjodoh. Sejak bergabung dengan Golkar, berderet-deret ia menderita kekalahan. Kekalahan pertama terjadi ketika maju sebagai calon anggota legislatif di Sumatera Barat. Kerja kerasnya membangun jaringan, kampanye populis, dan pendidikan politik rakyat tidak begitu berbekas karena ia kekurangan dana.
Sebagian besar pendukung mengharapkan bantuan fisik yang lebih dari sekadar wacana. Ia harus cerdik menghindar atau memberikan bantuan proposal kepada organisasi internal dan eksternal Partai Golkar yang begitu banyaknya. ”Dana adalah darah dalam urat nadi politik” (hal 107). Dengan situasi itu, ia pun terlempar dari pesta politik berbungkus ekonomi itu. Ia tidak terpilih sebagai anggota DPR.
Situasi kekalahan kedua muncul ketika masuk tim sukses pemilihan umum presiden Jusuf Kalla-Wiranto, 9 April 2009. Sejak awal ia menyadari, kekalahan Golkar pada pemilu legislatif memengaruhi asumsi pemilih tentang sosok ideal presiden. Keberhasilan Partai Demokrat pada pemilu legislatif 2009 ikut meningkatkan popularitas Yudhoyono. Belum lagi keberhasilan tim sukses Yudhoyono yang membangun kampanye negatif kepada sosok Jusuf Kalla, seperti yang dilakonkan Ruhut Sitompul (hal 280) sehingga sempurnalah kekalahan ”pasangan nusantara” ini sebelum pemungutan suara dimulai.
Kekalahan ketiga adalah ketika bersatu pandang dengan Yuddy Chrisnandi dalam pemilihan ketua umum Partai Golkar, 7 Oktober 2009. Logika politiknya mendukung Yuddy adalah proses regenerasi agar partai beringin itu tidak terlalu didominasi oleh tokoh tua dan lama. Jika terus dikuasai tokoh tua, Golkar tentu susah berkompetisi pada pemilu datang. Ia melihat Yuddy adalah tokoh muda Golkar ideal.
Namun, dalam hal ini Indra terlihat sangat naif. Pengalaman seharusnya menajamkan naluri politik bahwa politik adalah pertempuran seluruh energi, bellum omnium contra omnes, yaitu kekuatan massa, karisma pribadi, lobi, dan uang. Mendukung Yuddy berarti berpartisipasi pada kekalahan karena dua singa lapar saat itu adalah penantang serius untuk ketua Golkar: Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Terakhir, sejarah politik mencatat, Yuddy melompat ke Hanura.
Mungkin itulah kelemahan buku ini, ketika memasukkan kekalahan tidak perlu ini sebagai tragedi politik hidupnya. Padahal, ada kekalahan yang lebih patut dikenang, yaitu ketika kalah pada pemilihan ketua senat mahasiswa UI, saat bersaing dengan Chandra Hamzah, pemimpin KPK sekarang. Kelemahan lainnya, seperti galibnya sebuah memoar adalah ”menghisap” momen-momen krusial sejarah bangsa ini pada diri pengarang. Namun, kelemahan sikap berlebihan itu (exaggerated opinion) akan tersuling dengan pengetahuan sosial pembaca dan citarasa sastra kuat pengarangnya.
Meskipun demikian, sedikit orang yang bisa menuliskan kekalahan secara non-satiris. Indra salah satunya. Dengan puisi kekalahan ini terangkat semangat juang tanpa henti bahwa ”kita bisa saja tidak memenangi perang, tetapi minimal harus memenangi beberapa pertempuran”.
* Teuku Kemal Fasya, Mantan Aktivis Mahasiswa Yogyakarta 1998
Sumber: Kompas, Minggu, 13 Juni 2010
No comments:
Post a Comment