-- Putu Fajar Arcana
PRESIDEN Soekarno dengan gagah memeluk Perdana Menteri Khrushchev, lalu mereka minum sampanye dan bermain angklung bersama. Kejadian 60 tahun silam itu selalu diputar sebagai pembuka pentas rombongan kesenian Indonesia di Rusia.
Setelah itu, kita kemudian menyaksikan bagaimana seni mengambil peran penting dalam menyejajarkan kedua bangsa. Perbedaan ”kelas” sosial, pengaruh politik, pencapaian teknologi dan ekonomi tiba-tiba luluh dalam kelebat tarian atau alunan musik.
Pementasan seni Indonesia yang diwakili oleh Ayoub Dance Group Jakarta, Sanggar Cantika Jakarta, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan kelompok seni dari Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta, serta Indonesia Ethnic Ensamble pimpinan Dwiki Dharmawan, dalam misi Indonesia Cultural Festival, 23-31 Mei 2010 di Rusia, seolah menembus dinding perbedaan dalam banyak hal.
”Perbedaan justru menghadirkan sesuatu yang cantik dan indah. Dan seni meluluhkannya,” kata Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, saat memberi sambutan pada pementasan perdana di Concert Hall Mir, Moskwa, Selasa (25/5).
Seolah menimpali sambutan rekannya, Wakil Menteri Kebudayaan dan Sinematografi Rusia Alexander Golutva mengatakan, ”Misi ini satu cara yang baik untuk mendekatkan rakyat kedua bangsa,” katanya. Tahun 2009 lalu, tambah Golutva, misi kesenian Rusia pun telah berkunjung ke Jakarta dan Yogyakarta. Golutva bahkan yakin, jika misi ini terus berlanjut, Rusia dan Indonesia akan sampai pada penyamaan persepsi dalam banyak hal, termasuk politik dan pariwisata.
Bunga rampai
Pada misi kebudayaan yang menyinggahi kota Moskwa, Tver, dan St Petersburg itu, Indonesia menampilkan bunga rampai seni, dari tradisi sampai kontemporer, bahkan urban. Konsultan artistik yang ditangani dua penari kawakan, Nungki Kusumastuti dan Haryati Abelam, memutuskan menyertakan tarian tradisi dari Jakarta, Sumatera Barat, Jambi, Aceh, Kalimantan, Papua, dan Yogyakarta.
Selain itu, ditampilkan pula tari kontemporer karya Hanny Herlina (IKJ) dan peragaan busana oleh tiga perancang Indonesia, Didi Budiardjo, Stephanus Hamy, dan Tuty Cholid. Sementara di pintu samping menjelang pentas diperagakan teknik membatik dan spa dari Martha Tilaar.
Paket seni dan gaya hidup ini seolah ingin merangkum dan menayangkan kehidupan kebudayaan masyarakat Indonesia sejak masa tradisi, kontemporer, sampai yang populer dan urban. Mungkin inilah cara yang lebih jujur untuk menyampaikan pesan tentang Indonesia: negeri ini membentang dari ranah tradisi, kontemporer, hingga populer. Bukan negeri yang beku dalam gelimang tradisi melulu.
Kebanyakan misi kebudayaan yang didukung Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata atau dinas kebudayaan di daerah ”hanya” menyodorkan tradisi sebagai basis propaganda pariwisata. Padahal tanpa disadari cara itu justru mengingkari misi kebudayaan sebagai perjalanan persahabatan antarbangsa. Apalagi dalam memperingati 60 tahun hubungan persahabatan Indonesia-Rusia, sebaiknya hal-hal yang beraroma bisnis dikemas dengan elegan agar tak merendahkan satu sama lain. Bahwa kemudian kedekatan dan rasa persaudaraan antarbangsa berimbas pada kerja sama industri pariwisata, misalnya, itu bolehlah kita letakkan sebagai ”efek keberuntungan”.
Rasanya memang kurang pantas hadir di Rusia ”hanya” dengan satu tekad meraih wisatawan negeri itu sebanyak-banyaknya ke Indonesia. Itulah mungkin yang agak menyinggung perasaan Golutva, sampai-sampai saat wawancara ia bilang, ”Orang Indonesia selalu melihat orang Rusia sebagai turis. Saya pernah mengunjungi Bali tahun lalu, mereka ramah-ramah.”
Jangan bangga dulu dengan pujian ramah, sebab bisa jadi kata itu mengandung makna: orang Indonesia hanya ramah kepada seseorang yang datang sebagai turis. Dan keramahan jenis itu bukanlah keramahan seorang sahabat! Jadi biarlah misi kebudayaan ini benar-benar hadir lebih jujur, benar-benar menyodorkan persahabatan yang tulus tanpa harus dibebani misi politik-industri.
Sebab, hanya pada kebudayaan, terutama kesenian, perasaan sejajar sesama bangsa itu bisa dicapai. Soekarno dan Khrushchev telah menunjukkan betapa perbedaan negara muda bernama Indonesia dan negara besar seperti Uni Soviet, waktu itu, bisa diatasi dengan saling mengunjungi sebagai sahabat. Kendati semua tahu bahwa misi persahabatan itu untuk menggalang dukungan politik, tetapi cara mereka bersahabat menunjukkan kepada rakyat bahwa mereka benar-benar tulus.
Dan paket bunga rampai kebudayaan Indonesia, yang membentang dari ranah tradisi, kontemporer, populer, dan urban, yang dipentaskan di Rusia, menjadi paket kejujuran kita sebagai bangsa yang berkembang. Indonesia tidak beku dalam tradisi, tetapi juga menjelajah dunia baru yang kontemporer dan urban. Semuanya menjadi lem perekat untuk mengeraskan persahabatan yang telah berjalan sejak 60 tahun silam….
Sumber: Kompas, Minggu, 6 Juni 2010
No comments:
Post a Comment